Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Sejumlah kalangan memperkirakan tarif layanan jasa kapal penyeberangan tidak naik jika layanannya belum membaik. Direktur National Maritime Institute, Siswanto Rusdi, menyebutkan Kementerian Perhubungan masih menahan kenaikan harga meski didesak oleh pengusaha penyeberangan swasta. "Pemerintah dilema. Jika harga diizinkan naik, hal itu belum tentu memperbaiki performa kapal penyeberangan swasta," ucapnya kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Desakan penyesuaian tarif datang dari Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap), yang beranggotakan lebih dari 60 entitas yang beroperasi di sejumlah trayek padat. Para pelaku industri kapal jarak dekat itu menganggap patokan tarif resmi saat ini tidak lagi cocok dengan kondisi bisnis pada masa pemulihan ekonomi. Hingga kini, harga layanan penyeberangan masih didasari skema harga pokok produksi (HPP) yang ditentukan dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 66 Tahun 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak hanya tertekan oleh tarif murah, Siswanto mengatakan, bisnis penyeberangan swasta di berbagai rute kian tersudut oleh dominasi operator pelat merah, yaitu PT ASDP Indonesia Ferry (Persero). Bila termasuk dengan kapal PT Jembatan Nusantara yang belakangan diakuisisi, PT ASDP Indonesia kini mengelola total 219 kapal serta menjadi pemilik armada feri terbanyak di industri penyeberangan nasional dan global.
Berbeda dengan operator swasta yang pendapatannya ditentukan penjualan tiket, manajemen PT ASDP Indonesia bisa mengeruk pendapatan dari bisnis pelabuhan. "Pemerintah ragu karena operator swasta sulit berkembang dan investasinya lambat," kata Siswanto. "Ada kekhawatiran, bila tarif naik, hanya akan diikuti protes konsumen tanpa perbaikan bisnis."
Peremajaan Kapal Operator Swasta
Alih-alih memperbarui tarif, Siswanto menyarankan penjajakan kerja sama antara Kementerian Perhubungan dan pengusaha kapal swasta. Pemerintah bisa mendukung peremajaan kapal operator swasta. Layanan non-pelat merah pun bisa diintegrasikan dengan ekosistem PT ASDP Indonesia melalui perjanjian bagi hasil.
"Tapi selalu ada 'raja kecil' dalam bisnis angkutan di daerah, sehingga kemungkinan besar operator swasta akan menolak berkolaborasi," ucap Siswanto.
Anggota Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) yang juga dosen di Universitas Sebelas Maret, Dewi Handayani, menengarai tekanan bisnis operator penyeberangan swasta dipicu oleh minimnya permintaan penumpang. Menurut dia, perlu ada pengkajian resmi ihwal keseimbangan permintaan dengan suplai layanan jasa penyeberangan.
Penumpang berada di atas kapal milik ASDP di Dermaga Eksekutif Pelabuhan Merak, Banten, Jawa Barat, 7 Juli 2022. TEMPO/Subekti.
"Jangan-jangan tidak seimbang. Akibatnya, penyedia jasa bermasalah dengan kelayakan finansial," tutur Dewi. "Biaya operasional tidak tertutup oleh tarif penumpang."
Dia mengimbuhkan, tarif angkutan seharusnya bergerak berdasarkan kemampuan bayar (ability to pay) konsumen. "Dipengaruhi besar oleh pendapatan rata-rata masyarakat dan berapa persen konsumsinya untuk transportasi."
YLKI Minta Alasan Kuat jika Tarif Dinaikkan
Pendapat Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, setali tiga uang. Dia menyoroti aspek kemampuan bayar dalam evaluasi tarif angkutan umum, termasuk kapal penyeberangan. Jika tarif layanan penerbangan naik karena kenaikan harga avtur, evaluasi tarif moda lainnya pun harus berbasis alasan yang kuat. "Bukan naik karena faktor iri antara satu sektor dan sektor lainnya."
Wakil Ketua Komisi Transportasi DPR, Andi Iwan Darmawan Aras, mengatakan pengkajian dan keputusan soal tarif jasa penyeberangan sepenuhnya merupakan domain Kementerian Perhubungan. Namun dia menyebutkan Dewan pun mengagendakan rapat ihwal hal tersebut. "Untuk menyampaikan dan membahas masukan, baik dari sisi industri maupun pengguna jasa," kata Andi, tanpa merinci jadwal rencana tersebut.
Direktur Transportasi Sungai, Danau, dan Penyeberangan Kementerian Perhubungan, Junaidi, mengatakan evaluasi tarif dasar layanan penyeberangan berjalan sesuai dengan perkembangan di industri tersebut. Yang pasti, Permenhub Nomor 66 Tahun 2019 mewajibkan regulator mengecek kesesuaian tarif penumpang setiap enam bulan. "Masih kondisional soalnya (urusan) tarif ini agak sensitif."
YOHANES PASKALIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo