Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Akhir-akhir ini muncul fenomena saldo atau uang di rekening seorang nasabah tiba-tiba hilang tanpa dilakukannya transaksi apa pun. Fenomena itu merupakan modus kejahatan siber yang kerap disebut carding, salah satu dari jenis transaksi tidak sah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Carding dilakukan oleh penjahat siber yang menggunakan data pribadi dari kartu debit atau kartu kredit orang lain untuk melakukan transaksi di online merchants.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Jika kita bicara spesifik hanya berkaitan dengan transaksi yang melibatkan kartu, maka carding adalah salah satunya,” ujar Cyber Security Researcher & Consultant Teguh Aprianto lewat keterangan tertulis dikutip Sabtu, 5 Agustus 2023.
Kejahatan siber yang menggunakan modus operasi transaksi tidak sah seperti carding marak terjadi di seluruh dunia dan bisa terjadi pada siapa saja tanpa terkecuali. Menurut Teguh, salah satu penyebab yang memungkinkan terjadinya modus kejahatan ini adalah social engineering.
Dia menjelaskan social engineering adalah rekayasa sosial yang biasanya digunakan untuk memanipulasi korban. Sehingga tanpa disadari korban akan memberikan sesuatu yang diminta oleh pelaku.
“Dalam proses ini, pelaku akan menggunakan berbagai macam cara dan media agar terlihat sangat meyakinkan,” ucap dia.
Menjual data kartu kredit atau debit curian itu dengan harga murah
Dari modus operasinya, carding bisa terjadi dalam produk perbankan mana pun jika si penipu sudah mendapatkan data informasi pribadi korban; tanpa terkecuali baik bank konvensional maupun digital.
Kejahatan ini bisa dilakukan secara individual maupun berkelompok, bahkan para pelaku cenderung aktif dalam komunitas dan berdiskusi terkait aktivitas mereka.
Teguh mengatakan biasanya pelaku melakukan carding untuk mendukung gaya hidup. Bahkan ada yang menyediakan jasa seperti pemesanan tiket pesawat dan hotel dengan potongan harga hingga 50 persen. “Hingga menjual data kartu kredit atau debit curian itu dengan harga murah,” kata Teguh.
Kasus tersebut juga pernah terjadi di Indonesia. Di mana baru-baru ini, Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Bali menangkap pelaku kejahatan carding yang melakukan pencurian 1.293 data kartu kredit.
Di Amerika Serikat, praktik seperti ini juga pernah terjadi. Salah satunya oleh AlphaBay, sebuah marketplace yang beroperasi di dark web untuk menjual banyak barang dan jasa ilegal, seperti kartu kredit atau debit curian. Situs ini pun akhirnya ditutup dan disegel oleh penegak hukum pada 2017.
Cara memerangi kejahatan siber seperti carding
“Amerika adalah negara dengan kasus kejahatan carding yang paling banyak terjadi,” tutur dia.
Teguh menyitir data laporan Consumer Sentinel Network yang diterbitkan oleh FTC (Federal Trade Commission). Laporan itu menyebutkan total kasus kejahatan carding di Negara Panam Sam itu mencapai 389.737 pada 2021 lalu dan meningkat menjadi 441.822 pada 2022.
Adapun untuk memerangi kejahatan siber seperti carding menjadi tugas bersama sebagai masyarakat global. Ditambah lagi, belum semua merchant di dunia turut memakai fitur 3D Secure—untuk melindungi data kartu kredit pada saat digunakan dalam melakukan transaksi online.
Menurut Teguh, hal yang bisa dilakukan adalah menjaga data pribadi sebaik mungkin agar tidak bisa dicuri oleh orang yang tak bertanggung jawab. Peran aktif dari nasabah juga diperlukan untuk mencegah terjadinya carding. Nasabah perlu waspada akan jenis kejahatan siber terkini yang mengincar data pribadi yang bersifat rahasia.
“Jika para nasabah tidak teredukasi dengan baik atau bahkan lengah, maka dengan mudah mereka menjadi korban dari aksi para pelaku ini,” ujat Teguh. “Sebaliknya, jika sudah teredukasi dengan baik dan teliti, maka mereka bisa terhindar dari berbagai aksi penipuan yang sering terjadi di Indonesia ke depannya.”
Pilihan editor: LPS Ungkap Rekening Jumbo Tembus Rp 4.241,93 Triliun