Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengepung mahakam

Industri pengolahan kayu berskala besar berkembang di kalimantan timur. untuk memenuhi bahan baku, pemda melarang industri kayu di luar kal-tim mengambil bahan baku berupa logs dari daerah itu. (eb)

27 Maret 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIDAKSTABILAN harga kayu bundar (logs ternyata ada hikmahnya. Para penebang pohon kini tergopoh-gopoh mendirikan industri pengolanan kayu agar tidak kapiran apabila harga log merosot lagi. "Dengan modal 60-75 juta rupiah saja tidak sulit mengembangkan industri sekali menengah", kata Sumarto Sulistio, presdir CV Sumber Baru. "Manajemennya mudah. Dalam waktu 6 bulan sudah habis berproduksi. Bisa menggunakan tenaga kerja Indonesia dan dalam 2 tahun Insya Allah modal sudah kembali", tambahnya lagi. Dia lalu memberikan contoh Malaysia dan Singapura yang telah lama mengayunkan langkah demikian . Sayangnya Indonesia memang bukan Malaysia. Dimulai oleh PT Kayan River Timber Products, belakangan ini yang berkembang di Kalimantan Timur justru industri besar yang memanfaatkan fasilitas PMA dan PMDN. Sedang 90 perusahaan kecil belum mampu bergerak ke situ. Menurut catatan Dinas Perindustrian Kalimantan Timur, kini sudah ada 7 industri besar yang sudah mulai memproduksikan 177 ribu M3 kayu masak tahun dengan nilai investasi Rp 1.6 milyar. Di samping itu masih ada 3 industri serupa yang masih dalam tahap percobaan berkapasitas 82 ribu M3/tahun dengan investasi Rp 1,8 milyar. Dan 10 industri besar lagi kini sedang dalam tahap konstruksi dengan rencana investasi Rp 32 milyar. Belum lagi 40 perusahaan yang sudah bikin rencana akan menanam modal sebesar Rp 19 milyar dalam industri pengolahan kayu. Sepanjang Mahakam Demam baru itu dapat dilihat dengan jelas sepanjang pantai sungai Mahakam yang tiba-tiba saja ditumbuhi bangunan pabrik kayu. Termasuk kepunyaan Sulistio yang agaknya khawatir industri menengahnya sekali waktu kalah bersaing. Di samping itu, ada juga yang sudah terlanjur mendirikan industri di Jawa seperti PT Kutai Timber Indonesia (KTI) dan PT Sumber Mas Timber. Makanya Gubernur Wahab Syahranie minta agar pemerintah Pusat menutup kesempatan mendirikan industri kayu di Jawa bagi pemegang HPH di Kalimantan Timur. Syahranie juga sudah pasang kuda-kuda di wilayahnya sendiri dengan melarang industri kayu di luar Kalimantan Timur mengambil bahan baku berupa logs di Kalimantan Timur. Kalau toh mau beli kayu setidak-tidaknya harus sudah berbentuk setengah jadi, begitu ketentuan SK Gubernur no.82/ 1974. Pelarangan itu memang perlu juga untuk menanggulangi keperluan bahan baku bagi industri kayu di Kalimantan Timur sendiri. Apalagi kalau harga ekspor logs melonjak tinggi kembali. Sekarang saja harga meranti sudah mencapai 50 dollar AS/M3, f.o.b. Mengenai kebutuhan industri lokal itu, Kepala Dinas Perindustrian Kalimantan Timur Rachman Karim memperinci begini. Untuk setiap M3 kayu masak diperlukan 2 M logs. Kalau 2 M3 logs harganya 80 dollar saja (Rp 33.200), ditambah ongkos produksi Rp 8 ribu/M3 dan pengapalan Rp 12 ribu/M3, maka kayu masak harus dijual ke Jakarta paling kurang Rp 53.200/M3. Atau 2 x lipat harga sekarang. Terpaksa si pengusaha yang tidak kebagian kayu bundar mencari jalan lain: membeli kayu afkiran. Menurut kalkulasi Karim. jumlah kayu afkiran rata-rata 10% dari seluruh nilai ekspor, yang tentu saja harganya murah. Tapi mengandalkan pada kayu afkiran saja tentu tidak cukup. Apalagi setelah semua industri besar meraung dengan kapasitas penuh. Pengganti Solar Pada umumnya jenis industri kayu yang banyak disukai adalah penggergajian (sawmill). Sejauh ini industri itu masih memanidatkan ampas penebangan hutan, yakni kayu gelondongan yang tidak memenuhi syarat ekspor. Kayu bundar afkiran itulah yang meliputi 10% dari seluruh nilai ekspor. Penggergajian itu sendiri masih menghasilkan ampas lagi sebanyak 50%. Bagi yang sudah memiliki industri playwood sisa-sisa penggergajian itu bisa dimanfaatkan untuk lapisan dalam plywood. Sampai saat ini yang ada baru rencana di atas kertas untuk mendirikan industri playwood di Kalimantan Timur, yakni dari PT Georgia Pacific Indonesia, PT KRTP dan Inhutani. Kalau mau lebih ekonomis lagi, masih ada ampas lain yang bisa dimanfaatkan. Yakni serbuk gergajian yang bisa dipres menjadi hardboard. Selama ini baik kayu sisa penggergajian maupun serbuk gergajian belum dianggap menguntungkan untuk diolah. Hanya beberapa perusahaan seperti CV Terang dan Sumber Baru memberi kelonggaran kepada masyarakat sekitarnya untuk mengambil sisa-sisa penggergajian itu. Oleh masyarakat dijadikan mebel atau kayu bakar. CV Tri Karya memberikan kayu-kayu sisa itu kepada karyawannya untuk dijual kepada masyarakat. CV Jatim dan beberapa perusahaan besar lain melarang masyarakat mengambil kayu sisanya itu, hanya karena mau dibakar. Sedang KRTP sedang memikirkan untuk memanfaatkan kayu sisa itu untuk menghidupkan generator penggergajiannya, demi menghemat solar yang tidak murah. Di luar semuanya itu, ampas yang terbesar jumlahnya tertinggal di hutan. Menurut ir. Rachman Karim, rata-rata 30-40 kayu tebangan tertinggal mubazir di hutan. Termasuk di situ pokok kayu, cabang, ranting dan ujung pohon yang tergolong cukup gemuk. Makanya Rachman punya gagasan melakukan survei bersama Universitas Mulawarman untuk pembuatan arang dari kayu bekas itu. Rumah Kayu Sulistio sendiri kini tengah mengembangkan industri pengawetan kayu, sebagaimana juga Inhutani. Setiap bulan ia mampu menghasilkan 1260 M3 dengan harga jual Rp 28 ribu/M3. "Kayu yang diawetkan mempunyai daya tahan 5 x lipat", katanya pada koresponden Dahlan Iskan. Untuk membuktikan kebenaran omongannya itu, Sumber Baru sudah setuju membangun 200 rumah murah buat Perumnas di samping membuat rumah kopel percontohan di Depok Jakarta. Berapa harga rumah kayu awet tersebut? "Satu M2 Rp 30 ribu, selesai dalam 1 bulan", katanya bersemangat, sambil menunjuk contoh di Oslo (Norwegia) yang 90% terbuat dari kayu. Adakah penduduk yang kebanyakan terbiasa dengan rumah batu mau ramai-ramai membeli rumah buatan Sumber Baru itu? Jawabnya tentu tergantung pada soal promosi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus