Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUSU segar di Jawa Tengah bisa dipastikan tak akan banyak terbuang lagi. PT Tirta Amerta Agung di Salatiga sudah menyatakan sanggup menampung sebagian besar dari 50.000 liter dari para peternak, untuk diolah menjadi susu bubuk (skim milk) dan kepala susu (cream milk). Pabrik patungan antara koperasi susu dan Grup Mantrust ini juga bersedia memberikan bimbingan teknis para peternak uttuk meningkatkan mutu dan produksi susu. Para ahli dari perusahaan itu sedang memikirkan, misalnya, bagaimana mengusahakan agar sapi pernah bisa menghasilkan 10 liter susu segar. Kata Tegoeh Soetantyo, presiden direktur Mantrust, produktivitas sapi perah di sana rendah. Sehari hanya bisa diperas sekali dan cuma menghasilkan empat liter. Jika produktivitas sapi perah bisa dinaikkan, "Penghasilan peternak sapi pun bisa ditingkatkan," ujarnya. Tapi hadirnya industri hulu di bidang penolahan susu segar itu pernah dipersoalkan harian Suara Karya, akhir Juli lalu. Kata koran ini mengutip ketu BKPM Suhartoyo pemerintah tela membatalkan dua dari tiga rencana pendirian pabrik itu Beberapa hari kemudian, Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Peternakan dan Perikanan Hutasoit membenarkan bahwa pendirian dua pabrik lainnya di JaBar dan Ja-Tim akan dilakukan secara bertahap, bukan dibatalkan. Dengan hadirnya tiga industri itu, kelak diharapkan para peternak tidak lagi terlalu tergantung pada industri pengolahan susu di hilir dalam memasarkan susu segarnya. Sebab, semakin besar pabrik pengolahan diharuskan menyerap susu segar, semakin besar pula pemerintah harus mengimpor susu bubuk dan kepala susu. Selain dianggap bakal menghabiskan devisa, tindakan seperti itu juga dipandang hanya akan menambah kapasitas tak terpakai pabrik pengolahan susu. Pendapatan para peternak pun belum tentu akan membaik. Karena alasan itulah pemerintah kelihatan berusaha mendorong munculnya industri hulu, yang akan menghasilkan bahan baku, seperti susu bubuk dan kepala susu, bagi industri pengolahan susu di hilir. Soetantyo, yang diberi kesempatan pertama itu, pertengahan Juli lalu dipanggil Presiden Soeharto ke Cendana, Jakarta. Di kalangan industri pengolahan susu, Soetantyo dianggap cukup sukses dalam menjalankan usaha patungannya di PT Friesche Vlag Indonesia. Di tengah resesi hebat tahun lalu, penghasil susu Cap Bendera ini ternyata masih mampu meraih laba bersih Rp 5,78 milyar, naik dari sebelumnya yang hanya Rp 2,71 milyar. APAKAH Tirta Amerta Agung juga akan sukses, tentu, masih harus dilihat. Pabrik ini, yang akan didirikan dengan penyertaan modal Rp 2 milyar dari Mantrust, diharapkan mampu mengolah setiap liter susu segar peternak menjadi 8% susu bubuk dan 3% kepala susu. Jika dihitung secara kasar, pada tahun pertama produksi pabrik ini direncanakan menghasilkan 5.000 ton susu bubuk dan 2.000 ton kepala susu. Karena kedua bahan baku untuk membuat susu kental manis dan pelbagai produk susu itu sudah bisa dibuat di sini, sekalipun dalam jumlah terbatas, Soetantyo minta jaminan agar industri hilir pengolahan susu kelak "diwajibkan" menyerap kedua produk itu. Dia juga berharap, agar keran impor uga diperkecil. Berapa harga susu bubuk lokal tadi akan dijual? Beberapa pengamat menduga, harga susu bubuk lokal tadi bakal lebih mahal dibandingkan yang impor, karena harga pembelian susu segarnya saja sudah Rp 328 aer liter. Tapl Soetantyo berJanJi mengusaha, an agar susu bubuk itu harganya "tidak akan lebih tinggi dari susu murni". Itu tampaknya dimungkinkan, mengingat pembelian susu segar oleh Tirta Amerta akan lebih rendah dari harga eks koperasi yang Rp 328 seliter, karena dipotong biaya pengobatan dan macam-macam yang diberikan pabrik itu. Pada akhirnya, masuknya susu bubuk bikinan Salatiga itu kelak mempengaruhi struktur harga produk akhir industri pengolahan susu di hilir, yang kini diwajibkan menyerap seliter susu segar lokal untuk setiap pemakaian 3,5 liter susu bubuk impor. Tapi, di pihak lain, Dirjen Aneka Industri Sotion Ardjanggi beranggapan bahwa dekatnya lokasi pabrik susu bubuk lokal dengan peternak itu akan membantu menekan biaya produksi. Jadi, besar kemungkinan, "Konsumen tidak akan menjadi korban dalam membeli produk akhir itu nantinya," ujar Sotion.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo