Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tiga BUMN galangan kapal segera dileburkan akibat memiliki beban usaha dan utang besar.
Memburuknya kinerja industri galangan kapal nasional disebabkan minimnya pesanan pembuatan kapal.
Perusahaan pelayaran lebih memilih membangun kapal di luar negeri.
JAKARTA – Penyatuan badan usaha milik negara (BUMN) bidang galangan kapal sudah di depan mata. Sekretaris Perusahaan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) Pongky Afriandita mengatakan tiga perusahaan pelat merah yang melayani jasa perawatan dan pembangunan kapal harus dileburkan agar pulih dari tekanan bisnis masing-masing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Peleburan ini demi meningkatkan sinergi bisnis dalam melayani seluruh titik strategis pelayaran,” ujar Pongky kepada Tempo, kemarin, 12 Januari 2023. Ketiga perusahaan yang akan dilebur adalah PT Dok & Perkapalan Kodja Bahari (Persero) atau DKB, PT Dok dan Perkapalan Surabaya (Persero) atau DPS, dan PT Industri Kapal Indonesia (Persero) atau IKI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana merger galangan kapal digaungkan Menteri BUMN Erick Thohir sejak pertengahan 2023. Rencana ini menjadi salah satu prioritas Kementerian yang beriringan dengan target peleburan kluster BUMN lain, salah satunya perusahaan negara di bidang konstruksi alias BUMN karya. Setidaknya ada 14 BUMN bermasalah yang sedang direstrukturisasi oleh PT PPA.
Menurut Pongky, restrukturisasi menyasar semua aspek vital dalam BUMN, dari karyawan, sistem operasional, keuangan, hukum, hingga arah kebijakannya. Anak usaha Danareksa ini sebelumnya sudah menyiapkan obligasi senilai Rp 2 triliun untuk membiayai restrukturisasi dan revitalisasi BUMN-BUMN yang menjadi pasien PT PPA.
Namun sampai saat ini PT PPA belum merinci besaran pinjaman atau dana talangan yang dibutuhkan belasan BUMN tersebut. Manajemen hanya mengungkapkan soal pengelompokan berdasarkan bisnis inti. “Transformasi DKB, IKI, dan DPS akan menjadi platform galangan kapal nasional,” kata Pongky. Namun ia tak menjelaskan tahapan peleburan tersebut.
Dalam beberapa tahun terakhir, ketiga BUMN galangan kapal itu tak mempublikasikan data kinerja terbaru melalui situs web maupun pernyataan resmi. Meski begitu, nama DKB dan DPS sempat tercantum memiliki ekuitas negatif dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2019. Status permodalan yang minus—bisa akibat utang yang lebih besar daripada aset maupun kerugian beruntun—juga tersemat pada 10 BUMN, dari total 99 BUMN yang diperiksa auditor negara. Pada tahun tersebut, ekuitas minus DKB, yang sahamnya dimiliki 99,95 persen oleh pemerintah, mencapai Rp 1,39 triliun. Sedangkan ekuitas minus DPS berkisar Rp 281,8 miliar.
Komisaris Utama DKB pada periode 2014-2019, Desi Albert Mamahit, mengatakan tanggungan utang perusahaan sudah dibawa selama lebih dari satu dekade. Pengoperasian sembilan galangan DKB, termasuk yang berada di Cilincing, Jakarta Utara, tak bisa menutupi beban usaha perusahaan. Beberapa dok apung DKB bahkan sempat tenggelam karena kurang terurus. “Sampai ada tiga kali pergantian direktur utama dalam lima tahun tidak juga bisa menyelesaikan utang dari masa lalu,” katanya kepada Tempo.
Desi menyebutkan utang DKB sampai pertengahan 2019 hanya berkisar ratusan miliar rupiah. Utang itu sulit ditambal karena kas yang terus merugi. Bila merujuk pada catatan keuangan hingga 2016, galangan kapal yang berdiri sejak 1964 itu sudah merugi hingga Rp 130 miliar saat nilai ekuitas minusnya sudah Rp 1,48 triliun. “Banyak utang dan piutang kepada bank dan penyuplai infrastruktur kami, saat itu, yang sulit dibayarkan.”
Bengkel kapal PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari di Cilincing, Jakarta, 2015. Dok. TEMPO/M. Iqbal Ichsan
Bisnis Galangan Kapal Masih Lesu
Direktur National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi masih pesimistis dengan rencana merger tiga galangan kapal pelat merah itu. Pasalnya, industri galangan kapal di Tanah Air belakangan tertekan karena hanya bergantung pada jasa perawatan alias docking. Arus kas galangan kapal, kata dia, lebih sehat jika bisa mendapat pesanan kapal baru. “Perbandingan harga docking dan bangun kapal itu bisa 1 banding 7,” katanya. “Galangan tidak sehat karena hanya mendapat orderan docking. Itu pun sepi.”
Menurut Siswanto, Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (Iperindo) kini berisi 204 entitas yang berebut pasar agar bisa bertahan. Jumlah itu terdiri atas 118 pengelola galangan kapal, 76 perusahaan penunjang perkapalan, 3 penyedia klasifikasi kapal, serta 7 konsultan perkapalan. Alih-alih mengerjakan kapal baru, para pelaku industri itu hanya hidup dari jasa reparasi rutin kapal. Saat ini, dia meneruskan, pemerintah mewajibkan docking kapal penumpang minimal setahun sekali. Adapun pengecekan rutin kapal barang minimal dua setengah tahun sekali.
Pesanan kapal baru ke galangan kapal di Indonesia ditengarai minim karena biayanya tinggi. Ongkos pembangunan 1 kapal kargo seukuran 1.000 gross tonnage (GT), Siswanto memperkirakan, sebesar Rp 50-200 miliar. Adapun reparasinya hanya sekitar Rp 2-3 miliar. “Banyak yang akhirnya memilih membangun kapal di luar (negeri).”
Direktur Utama PT Samudera Indonesia Tbk Bani Maulana Mulia menyebutkan beberapa alasan perusahaan pelayaran memilih membangun kapal di luar negeri. Salah satunya adalah perusahaan sangat selektif dalam pengadaan kapal baru. Para operator kapal menginginkan pembangunan kapal dan docking yang profesional dan tepat waktu. Galangan lokal pun harus menyediakan jaminan kualitas dan layanan bila ingin menarik minat konsumen.
“Sering juga kapal yang dibutuhkan tidak mampu dibuat di dalam negeri. Belum lagi butuh impor bahan baku, teknologi, dan suku cadang,” kata dia, kemarin. Meski begitu, Bani memastikan entitasnya tetap mencoba memesan kapal melalui galangan kapal di dalam negeri. Saat ini, emiten berkode saham SMDR itu tengah menunggu 4 pesanan kapal dari Cina, 2 dari Jepang, dan 4 dari Indonesia.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Indonesia National Shipowners Association (INSA) Carmelita Hartoto menyebutkan keberhasilan peleburan BUMN galangan kapal tergantung keseriusan pemerintah. Senada dengan Siswanto, dia menyebutkan iklim usaha galangan kapal nasional belum sehat. Salah satu faktor pengganjalnya adalah pertumbuhan industri pendukung, seperti penyedia komponen kapal, yang lambat. “Jadi, (merger BUMN galangan kapal) tergantung political will pemerintah terhadap perusahaan pelat merah.”
YOHANES PASKALIS | ANTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo