Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Bandung - Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian meminta daerah untuk meningkatkan pendapatan daerah untuk mengurangi ketergantungannya pada dana transfer pusat. “Saya mendorong supaya pendapatan lebih ditingkatkan lagi di antaranya dengan menghidupkan sektor swasta, jadi dibuat baik untuk pengusaha, bukan hanya besar, sedang, kemudian menengah, ya kecil dan termasuk yang pedagang harian ultra mikro,” kata dia selepas rapat bersama semua bupati/wali kota di Gedung Sate, Bandung, Jumat, 19 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Tito mengatakan, daerah diminta untuk tidak mempersulit pengusaha. “Ini semau kepala daerah mendorong supaya mereka bisa hidup, jangan membuat birokrasi yang berbelit makanya dibentuk mulai dari Mal Pelayanan Publik, kemudian juga diberikan akses kepada perbankan, diperkenalkan,” kata dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Tito mengatakan, dengan menghidupkan sektor riil swasta, maka otomatis retribusi dan pendapatan dari pajak akan meningkat. “Kalau sektor riil swasta hidup maka otomatis retribusi dan pendapatan dari pajak juga akan meningkat, ini menjadi PAD (pendapatan asli daerah) yang akan tinggi,” kata dia.
Tito mengatakan rata-rata realisasi pendapatan kabupaten/kota termasuk pemerintah provinsi di Jawa Barat relatif bagus. “Cukup bagus, di atas nasional. Dari segi belanja juga rata-rata di atas nasional, tapi ada beberapa daerah yang belanjanya di bawah nasional,” kata dia.
Namun Tito menyoroti kapasitas fiskal kabupaten/kota di Jawa Barat. Hanya pemerintah provinsi Jawa Barat dan Kota Bekasi yang memiliki kapasitas fiskal dalam kategori kuat.
Kapasitas fiskal yang dimaksud adalah perbandingan antara Pendapatan Asli Daerah dengan pendapatan yang diperoleh daerah dari dana transfer. Pemerintah provinsi Jawa Barat misalnya porsi PAD berada di angka 70,14 persen sementara dana transfer hanya 29.78 persen. Selanjutnya Kota Bekasi dengan porsi PAD 51,4 persen dan dana transfer 48,53 persen.
“Saya lihat hanya dua yang PAD-nya melebihi dana transfer yaitu, pemerintah provinsi dengan Kota Bekasi, yang lainnya kalah dengan dana transfer,” kata Tito.
Di bawahnya mulai dari Kota Bogor dengan porsi PAD 47,24 persen hingga yang terendah Kabupaten Ciamis dengan porsi PAD 10.65 persen. Kota Bandung yang menjadi ibu kota Jawa Barat memiliki porsi PAD hanya 47,23 persen dari seluruh pendapatannya.
Di level nasional, provinsi Jawa Barat berada di posisi 3 untuk kapasitas fiskal. Di atasnya adalah provinsi Banten dengan porsi PAD 73,08 persen, dan DKI Jakarta dengan porsi PAD 72,33 persen. Dari 38 provinsi di Indonesia hanya 13 provinsi yang memiliki PAD di atas pendapatan dari dana transfer pusat. Yakni Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara, Riau, Lampung, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, serta Kalimantan Timur.
“Dana transfer ini kalau nanti terlalu mengandalkan dari pusat, kalau ada pendapatan pusat berkurang, otomatis nanti akan dipotong di daerah. Di samping itu, kalau seandainya mengandalkan dana transfer, kita tahu PAD-nya kurang, uangnya nanti habis untuk belanja pegawai, gaji, dan lain-lain termasuk operasional pegawai yang nggak perlu, makanya perlu di efisiensikan betul belanjanya,” kata Tito.
Tito juga meminta agar pemerintah daerah mengatur belanja agar jangan dihabiskan di akhir tahun. Dengan mengatur belanja tersebut akan mendorong peredaran uang di masyarakat.
“Karena uang yang beredar ini akan mendorong swasta, sekaligus memperkuat daya beli masyarakat, daya beli masyarakat meningkatkan konsumsi rumah tangga. Kalau konsumsi rumah tangganya turun maka pertumbuhan ekonominya melambat artinya. Oleh karena itulah apa namanya itu belanjanya harus efisien, pendapatannya harus ditingkatkan,” kata Tito.
Kementerian Dalam Negeri mencatat realisasi belanja APBD seluruh provinsi, dan kabupaten/kota di Indonesia hingga 30 Juni 2024 menembus Rp 406,92 triliun atau rata-rata 29,56 persen. Realisasi belanja tersebut turun dibandingkan tahun sebelumnya per tanggal 30 Juni 2023 yakni Rp 412,45 triliun atau rata-rata 31,97 persen.
Pilihan Editor: Thomas Djiwandono jadi Wamenkeu, Apindo: Prabowo Ingin Mitigasi Risiko Fiskal Sejak Dini