Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEDUDUKAN Bank Dunia sebagai sumber bantuan dana utama negara-negara Dunia Ketiga memang belum juga tergeser. Bahkan dalam tahun fiskal 1987, dana-dana bantuan bagi negara yang kebanyakan miskin itu mencapai rekor tertinggi, US$ 14,2 milyar atau US$ 10 milyar di atas tahun sebelumnya. Tapi, nasib yang diterima malah kebalikannya. Penghasilan bank milik 151 bangsa itu merosot 12%. "Tahun sebelumnya mencapai US$ 1,24 milyar, tapi kini tinggal US$ 1,11 milyar," ujar Ernest Stern, Wakil Presiden Senior Bank Dunia Bidang Keuangan, pekan silam. Memang, penurunan itu terutama bersumber dari empat negara yang menunggak cicilan utang sampai 180 hari dari batas waktu yang telah disepakati. Padahal, keempat negara itu berutang US$ 780 juta kepada Bank Dunia. Nikaragua, yang masih dilanda pertempuran melawan gerilyawan Contra dukungan Amerika Serikat, adalah yang terparah. Bayangkan, negara satelit Uni Soviet itu sudah menunggak dua tahun lebih, dengan beban utang US$ 200 juta, termasuk bunga, sehingga Bank Dunia harus tombok US$ 41 juta. Sedangkan Liberia, Guyana, dan Syria masing-masing masih berutang US$ 100 juta, US$ 80 juta, dan US$ 400 juta, yang berarti perlu ditomboki US$ 76 juta. Macetnya piutang pada Nikaragua tampaknya tak lepas dari soal konflik politik yang makin tajam dengan Ronald Reagan, di samping kemelut perekonomian yang masih harus dihadapi, gara-gara harus banyak belanja senjata, dan kaburnya sebagian besar modal ke luar negeri di masa revolusi, beberapa tahun silam. Negara itu seperti tak bersedia. menghadapi kenyataan bahwa suara terbesar dalam bank itu berada di tangan pemerintah Amerika Serikat, yang menguasai 20% saham, dengan tidak mengacuhkan semua teguran. Kini, sejak rezim komunis yang dimotori oleh bekas kelompok gerilya Farabundo Marti berkuasa, negara itu lebih suka mengandalkan Uni Soviet sebagai sumber dana dan kekuatan militernya. Di samping itu, pukulan lain datang dari naiknya tingkat bunga, dengan akibat membengkaknya jumlah dana menganggur, dan biaya operasi naik 21% menjadi US$ 1,06 milyar, termasuk US$ 57 juta yang terpaksa dkeluarkan sebagai biaya penciutan pegawai. Jadi, tak mengherankan bila Barber Cornable, presiden bank berusia 43 tahun itu, sering sakit kepala, kendati baru setahun menduduki jabatannya. Apalagi, kalau mengingat tambahan modal yang dikumpulkan merosot hanya tinggal US$ 54 juta dari US$ 367 juta pada tahun sebelumnya. Pemerintahan Reagan ternyata juga sigap menghadapi keprihatinan itu, dengan berinisiatif memberi suntikan dana lewat Asosiasi Pembangunan Internasional (IDA). Tanya saja, rencana itu masih mentok di Kongres yang didominasi politikus Partai Demokrat. Persoalannya, rencana itu bisa dimentahkan kalau ternyata tak ada bank komersial yang bersedia meningkatkan penyaluran dananya ke negara Dunia Ketiga, sementara makin banyak bank besar yang harus menjadi penjamin utang para penunggak pajak. Cara lain pun juga sudah dipersiapkan, dengan me-lobby negara-negara industri lainnya dalam pertemuan tahunan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional, September mendatang. Barber Cornable sendiri juga sudah mengambil ancang-ancang, dengan tak lagi memberi pinjaman lunak berjangka 50 tahun, dan berbunga di bawah 1% per tahun, serta diputuskan menjadi 40 tahun saja. Dan pinjaman terakhir berjangka setengah abad yang sudah ditandatangani Cornable bernilai US$ 3,5 milyar, sementara yang sudah disalurkan Asosiasi Pembangunan Internasional, bernilai US$ 3,1 milyar. Bank Dunia masih bisa bertahan, karena masih mempunyai sumber-sumber andal, yakni negara-negara bekas nasabahnya yang sudah dianggap tak perlu lagi disusui. Misalnya Jepang, Spanyol, dan Yunani. Soalnya, mereka yang sudah dianggap menjadi negara maju itu dengan senang hati mempercepat pelunasan utang yang mereka terima 20 tahun silam. Scmentara itu, imbauan-imbauan, terutama dari negara-negara miskin, juga makin gencar, agar percepatan itu dijadikan kewajiban bagi semua nasabah yang sudah dia Iggap bebas dari kemiskinan. Soal kelancaran pembayaran cicilan dari negara-negara Dunia Ketiga memang masih penuh tanda tanya. Sebab, menurut laporan pembangunan Bank Dunia 1987, masih banyak negara Dunia Ketiga yang kelabakan mengatasi kemerosotan perekonomian mereka. Dari 90 negara sedang berkembang yang ditarik sebagai contoh, pada 1986, utang mereka rata-rata menapai 35,4% dari Produk Nasional Kotor, atau hanya 0,4% lebih baik dari sebelumnya. Tapi kalau dibandingkan dengan pendapatan ekspor, porsi utang mereka malah naik 0,8%, menjadi 144,5%. Dan ketidakseimbangan ini mulai menunjukan peningkatan sejak 1983, ketika masih tercatat 134,8%. Saking parahnya, tahun silam 24 negara terpaksa mengadakan perjanjian restrukturisasi utang dengan para kreditornya, baik yang bersifat komersial maupun pinjaman lunak. Hailnya memang lumayan, total sekitar US$ 71,1 milyar yang dapat disepakati. Sementara itu, 18 negara lainnya -- 13 dari kawasan Sub Sahara, 2 dari Eropa Timur, dan 3 dan Amerika Latin -- mengadakan perundingan utang dengan negara kreditor, untuk mengadakan penjadwalan kembali atas pembayaran cicilan utang beserta bunganya. Tak kepalang tanggung, sebagian besar permintaan mereka terpenuhi: waktu jatuh tempo mereka diperpanjang 5%-10%, bagi utang antarpemerintah maupun kredit ekspor bergaransi. Pukulan-pukulan telak yang membuat negara-negara itu runyam adalah merosotnya harga komoditi metal, mineral, makanan, dan hasil pertanian non-makanan, yang mulai masuk masa kritis pada 1984. Bahkan pada 1985, menurut Bank Dunia, harga berbagai komoditi itu mencatat rekor terendah dalam sembilan tahun belakangan. Sehingga, tak mustahil, peningkatan Produk Nasional Kotor sebenarnya bisa berari penurunan penghasilan, bila dikaitkan dengan harganya. Dalam hal ini, Indonesia termasuk cukup beruntung, karena masih memiliki minyak sebagai penyangga, kendati porsinya tinggal separuh. Bantuan pun terus mengalir, karena terkenal rajin mencicil utangnya. Praginanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo