Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mereka Yang Pulang Malam

28 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA hari baru terang tanah, Kuntari, buruh wanita pelinting rokok itu sudah berjalan menuju tempatnya bekerja di PT Nojorono, Semarang. Menjelang 40 tahun, telah 20 tahun ia mencurahkan tenaganya di pabrik rokok cap Minak Jinggo. Dulu, setiap hari Kuntari mampu melinting 5.000 batang rokok. Tapi dua tahun belakangan ini hanya 2.000 batang. Sebagai buruh borongan, kini Kuntari hanya bisa berpenghasilan bersih Rp 300 sehari -- sesudah dipotong pelbagai keperluan, dan jajanan Rp 50. Kemunduran produktivitas kerja seperti yang menimpa Kuntari sudah diketahui Subiyanto, manajer Nojorono. Jika empat tahun lalu 2.000 buruh di situ setiap hari rata-rata menghasilkan 11 juta batang rokok, kini mereka mencapai 9,5 juta batang. Untuk mengurangi kejenuhan dan kelelahan, yang diduga bisa menurunkan produktivitas, Subiyanto sedikit melonggarkan disiplin kerja. Juga, "kalau mereka capek, boleh pulang lebih awal," katanya kepada Bandelan Amarudin dari TEMPO. Naikkah produktivitas buruh pelinting kalau diberi sedikit kompensasi? Akhir tahun lalu, selama dua bulan Pusat Produktivitas Nasional (PPN), Dep. Tenaga Kerja, telah melakukan percobaan mengenai kemungkinan itu di 26 perusahaan, termasuk pabrik rokok Gentong Gotri, dan Nojorono di Semarang. Pemberian penyuluhan mengenai hak-hak buruh, penambahan gizi, dan sedikit uang perangsang, ternyata punya akibat lain. Sesudah diberi tambahan teh manis pada siang hari, dan uang Rp 100, buruh Gentong Gotri, misalnya, malah memerlukan waktu 0,092 menit untuk melinting sebatang rokok. Sebelum diberi kompensasi hanya perlu waktu 0,090 menit. Tapi buruh Nojorono sesudah diberi kompensasi memerlukan waktu 0,111 menit untuk melinting sebatang rokok, sebelumnya 0,115 menit. Suatu perbedaan yang tak berarti banyak bagi perusahaan. Apa kesimpulannya? "Ada hubungan antara produktivitas dengan upah," kata Ir. N.P. Lumban Toruan, kepala bidang Pengembangan Produktivitas Industri dan jasa-jasa PPN. Untuk mencapai tingkat produktivitas maksimal, menurut Toruan, buruh pelinting itu sebaiknya digaji berdasarkan jam produksi -- bukan borongan seperti yang berlaku sekarang. Bertambahnya jam produksi dianggapnya belum tentu akan menaikkan produktivitas. Untuk buruh rokok yang kerja borongan, "kini justru diperlukan pengurangan waktu produksi," katanya. Anggapan itu memang selaras dengan kemginan sebagian besar buruh Gentong Gotri, yang bekerja rata-rata 11 jam sehari, sejak pukul 06.00 hingga 18.00. Menurut mereka, sebagai buruh borongan mereka merasa terlalu ngotot mencapai terget. "Kalau bisa, saya ingin pindah sebagai buruh harian, sekalipun upahnya hanya Rp 650," kata Waginah. "Bekerja sebagai buruh borongan seperti tertekan." Mungkin ibu lima anak ini benar. Penghasilan borongan yang diperolehnya Rp 2.000 setiap hari, ternyata tidak cukup membahagiakannya. Anak-anak, yang sejak pagi buta sudah ditinggalkannya, dan dijumpainya kembali lepas magrib, tampaknya lebih memerlukan perhatian. Jangan lupa: sebagian besar buruh pelinting itu adalah wanita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus