AKHIRNYA apa yang diperkirakan importir datang juga. Pemerintah,
lewat keputusan Menteri Perdagangan Radius Prawiro 17 Mei lalu,
menghapuskan Merchant's Letter of Credit (MLC). Agaknya
pemerintah menganggap serius persoalan ini, mengingat hal
tersebut sebelumnya diputuskan dalam suatu pertemuan khusus
antara Presiden Soeharto Radius Prawiro, Menteri Keuangan Ali
Wardhana dan Jaksa Agung Ali Said.
MLC diperbolehkan oleh pemerintah sejak beberapa tahun berselang
sebagai usaha pemerintah untuk memperlancar arus barang impor
guna memenuhi produksi -- dan sekaligus konsumsi -- dalam
negeri. Sistim MLC itu memungkinkan importir membuka LC dengan
kredit. Artinya: Barang dikapalkan dulu, dan baru tiga atau
empat bulan kemudian dibayar. Sistim ini rupanya sangat
meringankan importir sehingga penggunaannya sangat meluas.
Terutama di kalangan Pengusaha "non-pribumi" yang lebih mendapat
kepercayaan dari para pedagang di luar negeri.
Tapi sialnya, kelicikan beberapa importir menyebabkan pemerintah
terpukul sendiri dengan sistim MLC. Banyak juga importir yang
ternyata tak membayar hutangnya kepada para pensuplainya di luar
negeri. Juga para importir yang tertangkap basah karena
menyelundup tentu membuat para pensuplainya di luar negeri gigit
jari. Maka banyaknya hutang yang ditunggak para importir dan
reputasi Indonesia yang merosot di mata pedagang luar negeri,
menyebabkan pemerintah merasa gelisah sendiri dengan sistim MLC
ini.
Berbagai pembatasan sebelumnya sudah dikenakan terhadap
penggunaan MLC. Dalam pidatonya bulan Januari lalu, ketika
membawakan anggaran belanja ke muka parlemen, Presiden
menyatakan agar mempertinggi pagar-pagar impor di mana mungkin.
Maksud.,ya adalah agar memelihara devisa dan meningkatkan
produksi di dalam negeri. Dalam buku Anggaran Belanja 1977/1978,
pemerintah juga menetapkan untuk mengurangi jumlah impor
sebanyak 5% atau AS$ 6,7 milyar dalam tahun fiskal 1978.
Rantai Sepeda
Tak lama setelah itu, Pebruari yang lalu, lewat keputusan
bersama tiga Menteri -- Perdagangan, Keuangan dan Perindustrian
- ditetapkan pula untuk melarang membuka MLC bagi impor 33 jenis
tekstil, semen, kertas karbon dan stensil sheet, besi beton,
glukose, saniter dan rantai sepeda. Pihak Perdagangan
sendiri--dan beberapa pengusaha tekstil besar seperti H. Djunaid
dari Pekalongan - tak merasa senang dengan adanya sistim
proteksi begitu. Selain tak melihat perlunya proteksi yang
berlebihan, pagar-pagar ketat yang dipasang pemerintah itu
dipandang akan mematikan daya saing dan belum dengan sendirinya
akan mencapai sasaran agar memperluas pasaran dan menurunkan
harga. (TEMPO, 19 Pebruari).
Tapi larangan masuk itu kemudian diperluas untuk kerangka
aluminium dan bahan plastik. Pembatasan ini bukan saja mengenai
jenis bahan yang diimpor. Tapi tarif pajak TEMPO yang mesti
dibayar per dollar AS untuk MLC dibuat dua kali lipat dari tarif
untuk LC biasa. Sedang provisi bank pun untuk MLC sedikit lebih
tinggi dari pada provisi untuk LC biasa.
Cukup Kenyang
Beberapa importir pribumi ada juga yang menyambut baik
penghapusan MLC itu, sekalipun disertai beberapa catatan. Zahri
Ahmad, ketua umum GINZI - yang mengaku punya anggota sekitar
3.000 importir nasional di Indonesia - menilah penghapusan itu
sebagai "usaha untuk membina kesatuan bangsa". Maksud Zahri,
daya saing para pengusaha pribumi dengan begitu diharapkan akan
bertambah kuat. Selama dibukanya kesempatan MLC sejak 17 April
1970, katanya pengusaha "non pribumi", yang punya jaringan di
luar negeri, lebih banyak menikmatinya. "Kita-kita yang tak
punya oom di Hong kong, Singapura dan Taiwan, jadi susah", kata
seorang pengusaha tekstil di pasar Tanah Abang. Arus barang yang
masuk melalui MLC itu, banyak juga terdiri dari jenis kelontong
yang umumnya masuk dari Hongkong, Singapura dan Taiwan.
Buchari, manajer PT Indonesia Nissan Motors juga merasa senang.
"Kemungkinan manipulasi harga patokan dengan begitu dapat
diperkecil", katanya pada Yunus Kasim dari TEMPO. "Impor pun
jadi lebih seragam". Dan Kushartono, Sekjen Gabungan
Elektronika, beranggapan bahwa sistim MLC itu memang tak
mencapai sasaran. "Sudah waktunya untuk dicabut", katanya. Orang
elektronika ini juga tak melihat perlunya pemerintah membuka
kesempatan bagi Industrial L/C sebagai pengganti MLC, seperti
dikehendaki beberapa pihak industri. "Buat orang dagang sudah
cukup dong. Selama tujuh tahun mereka itu sudah cukup kenyang",
katanya.
Kushartono beranggapan dihapusnya MLC itu tak ada problim bagi
industri elektronika. Ini juga dibenarkan oleh T. Surjadjaja,
salah seorang pimpinan Panin Bank. "Hapusnya MLC ini tak banyak
pengaruhnya pada bank devisa", katanya. Adapun sebabnya menurut
Surjadjaja, "impor dengan menggunakan MLC belakangan ini kecil
sekali".
Bankir itu sendiri tak menjelaskan apa sebabnya impor lewat MLC
itu akhir-akhir ini jadi mengecil. Tapi kalau benar begitu,
mengecilnya kran impor MLC itu tentu disebabkan kurangnya animo
dari pihak importir MLC yang umumnya "non pribumi" itu. Beberapa
kalangan pedagang di Kota menduga, mengecilnya arus impor dengan
MLC itu ada hubungannya dengan kekhawatiran terjadinya devaluasi
tempo hari. Sekali pun pemerintah telah berkali-kali menegaskan
hal itu tak akan terjadi, kecungaan di kalangan importir dan
pedagang itu masih juga belum reda rupanya.
Takut Devaluasi
Pernah, beberapa importir yang sudah terlanjur buka MLC, malah
buru-buru membayar hutangnya kepada pensuplainya, sekalipun
belum jatuh waktu. Karena faktur dinyatakan dalam valuta asing -
apalagi biasanya dalam dollar AS -- maka kalau kekhawatiran
devaluasi itu akan terjadi - si importir bisa terpukul karena
untuk pembayaran sejumlah dollar yang sama, mereka mesti
menyediakan lebih banyak rupiah.
Apa akibat penghapusan MLC ini unluk perusahaan yang biasanya
menggunakan MLC? Jelas modal kerjanya akan menjadi lebih ketat
lagi. Dengan MLC si importir cukup menyetor 25% dari nilai
faktur pada waktu LC dibuka. Sebulan kemudian (biasanya), ketika
dokumen barang tiba, uang muka 25 itu bisa diambil kembali. Dari
saat itu importir masih punya waktu dua atau tiga bulan sebelum
dia akhirnya mesti membayar penuh kepada pensuplainya. Dan
jangka waktu tersebut berarti bunga pendapatan bagi importir
yang punya kelebihan dana. Atau penghematan bunga, karena uang
tak perlu buru-buru disediakan. Sedang dengan LC biasa, importir
harus menyetor 40, dari nilai faktur -- tanpa bisa ditarik
kembali - dan 60% sisanya sesudah dokumen barang tiba.
Bagi pemerintah sendiri dihapuskannya MLC itu jelas kurang
begitu menguntungkan dilihat dari segi pemasukan uang. MPO yang
masuk akan berkurang. Dihapuskannya MLC bisa mengurangi impor,
dus bisa mengurangi bea masuk. Tapi berkurangnya impor dinilai
dengan cara apapun rupanya dipandang sebagai perkembangan yang
lebih sehat. Tapi industri dalam negeri yang masih
menggantungkan bahan bakunya dari impor, kini menghadapi dua
pilihan: Terus mengimpor dengan biaya yang lebih besar, atau
mulai memikirkan penggantian bahan impor dengan bahan dalam
negeri secara lebih serius.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini