Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mlc Mengecil, Lalu Ditutup

Pemerintah, lewat Memperdag Radius Prawiro, menghapuskan MLC. Sistem yang baru memungkinkan importir membuka LC dengan kredit, itu menurunkan reputasi Indonesia di mata pedagang luar negeri.

28 Mei 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIRNYA apa yang diperkirakan importir datang juga. Pemerintah, lewat keputusan Menteri Perdagangan Radius Prawiro 17 Mei lalu, menghapuskan Merchant's Letter of Credit (MLC). Agaknya pemerintah menganggap serius persoalan ini, mengingat hal tersebut sebelumnya diputuskan dalam suatu pertemuan khusus antara Presiden Soeharto Radius Prawiro, Menteri Keuangan Ali Wardhana dan Jaksa Agung Ali Said. MLC diperbolehkan oleh pemerintah sejak beberapa tahun berselang sebagai usaha pemerintah untuk memperlancar arus barang impor guna memenuhi produksi -- dan sekaligus konsumsi -- dalam negeri. Sistim MLC itu memungkinkan importir membuka LC dengan kredit. Artinya: Barang dikapalkan dulu, dan baru tiga atau empat bulan kemudian dibayar. Sistim ini rupanya sangat meringankan importir sehingga penggunaannya sangat meluas. Terutama di kalangan Pengusaha "non-pribumi" yang lebih mendapat kepercayaan dari para pedagang di luar negeri. Tapi sialnya, kelicikan beberapa importir menyebabkan pemerintah terpukul sendiri dengan sistim MLC. Banyak juga importir yang ternyata tak membayar hutangnya kepada para pensuplainya di luar negeri. Juga para importir yang tertangkap basah karena menyelundup tentu membuat para pensuplainya di luar negeri gigit jari. Maka banyaknya hutang yang ditunggak para importir dan reputasi Indonesia yang merosot di mata pedagang luar negeri, menyebabkan pemerintah merasa gelisah sendiri dengan sistim MLC ini. Berbagai pembatasan sebelumnya sudah dikenakan terhadap penggunaan MLC. Dalam pidatonya bulan Januari lalu, ketika membawakan anggaran belanja ke muka parlemen, Presiden menyatakan agar mempertinggi pagar-pagar impor di mana mungkin. Maksud.,ya adalah agar memelihara devisa dan meningkatkan produksi di dalam negeri. Dalam buku Anggaran Belanja 1977/1978, pemerintah juga menetapkan untuk mengurangi jumlah impor sebanyak 5% atau AS$ 6,7 milyar dalam tahun fiskal 1978. Rantai Sepeda Tak lama setelah itu, Pebruari yang lalu, lewat keputusan bersama tiga Menteri -- Perdagangan, Keuangan dan Perindustrian - ditetapkan pula untuk melarang membuka MLC bagi impor 33 jenis tekstil, semen, kertas karbon dan stensil sheet, besi beton, glukose, saniter dan rantai sepeda. Pihak Perdagangan sendiri--dan beberapa pengusaha tekstil besar seperti H. Djunaid dari Pekalongan - tak merasa senang dengan adanya sistim proteksi begitu. Selain tak melihat perlunya proteksi yang berlebihan, pagar-pagar ketat yang dipasang pemerintah itu dipandang akan mematikan daya saing dan belum dengan sendirinya akan mencapai sasaran agar memperluas pasaran dan menurunkan harga. (TEMPO, 19 Pebruari). Tapi larangan masuk itu kemudian diperluas untuk kerangka aluminium dan bahan plastik. Pembatasan ini bukan saja mengenai jenis bahan yang diimpor. Tapi tarif pajak TEMPO yang mesti dibayar per dollar AS untuk MLC dibuat dua kali lipat dari tarif untuk LC biasa. Sedang provisi bank pun untuk MLC sedikit lebih tinggi dari pada provisi untuk LC biasa. Cukup Kenyang Beberapa importir pribumi ada juga yang menyambut baik penghapusan MLC itu, sekalipun disertai beberapa catatan. Zahri Ahmad, ketua umum GINZI - yang mengaku punya anggota sekitar 3.000 importir nasional di Indonesia - menilah penghapusan itu sebagai "usaha untuk membina kesatuan bangsa". Maksud Zahri, daya saing para pengusaha pribumi dengan begitu diharapkan akan bertambah kuat. Selama dibukanya kesempatan MLC sejak 17 April 1970, katanya pengusaha "non pribumi", yang punya jaringan di luar negeri, lebih banyak menikmatinya. "Kita-kita yang tak punya oom di Hong kong, Singapura dan Taiwan, jadi susah", kata seorang pengusaha tekstil di pasar Tanah Abang. Arus barang yang masuk melalui MLC itu, banyak juga terdiri dari jenis kelontong yang umumnya masuk dari Hongkong, Singapura dan Taiwan. Buchari, manajer PT Indonesia Nissan Motors juga merasa senang. "Kemungkinan manipulasi harga patokan dengan begitu dapat diperkecil", katanya pada Yunus Kasim dari TEMPO. "Impor pun jadi lebih seragam". Dan Kushartono, Sekjen Gabungan Elektronika, beranggapan bahwa sistim MLC itu memang tak mencapai sasaran. "Sudah waktunya untuk dicabut", katanya. Orang elektronika ini juga tak melihat perlunya pemerintah membuka kesempatan bagi Industrial L/C sebagai pengganti MLC, seperti dikehendaki beberapa pihak industri. "Buat orang dagang sudah cukup dong. Selama tujuh tahun mereka itu sudah cukup kenyang", katanya. Kushartono beranggapan dihapusnya MLC itu tak ada problim bagi industri elektronika. Ini juga dibenarkan oleh T. Surjadjaja, salah seorang pimpinan Panin Bank. "Hapusnya MLC ini tak banyak pengaruhnya pada bank devisa", katanya. Adapun sebabnya menurut Surjadjaja, "impor dengan menggunakan MLC belakangan ini kecil sekali". Bankir itu sendiri tak menjelaskan apa sebabnya impor lewat MLC itu akhir-akhir ini jadi mengecil. Tapi kalau benar begitu, mengecilnya kran impor MLC itu tentu disebabkan kurangnya animo dari pihak importir MLC yang umumnya "non pribumi" itu. Beberapa kalangan pedagang di Kota menduga, mengecilnya arus impor dengan MLC itu ada hubungannya dengan kekhawatiran terjadinya devaluasi tempo hari. Sekali pun pemerintah telah berkali-kali menegaskan hal itu tak akan terjadi, kecungaan di kalangan importir dan pedagang itu masih juga belum reda rupanya. Takut Devaluasi Pernah, beberapa importir yang sudah terlanjur buka MLC, malah buru-buru membayar hutangnya kepada pensuplainya, sekalipun belum jatuh waktu. Karena faktur dinyatakan dalam valuta asing - apalagi biasanya dalam dollar AS -- maka kalau kekhawatiran devaluasi itu akan terjadi - si importir bisa terpukul karena untuk pembayaran sejumlah dollar yang sama, mereka mesti menyediakan lebih banyak rupiah. Apa akibat penghapusan MLC ini unluk perusahaan yang biasanya menggunakan MLC? Jelas modal kerjanya akan menjadi lebih ketat lagi. Dengan MLC si importir cukup menyetor 25% dari nilai faktur pada waktu LC dibuka. Sebulan kemudian (biasanya), ketika dokumen barang tiba, uang muka 25 itu bisa diambil kembali. Dari saat itu importir masih punya waktu dua atau tiga bulan sebelum dia akhirnya mesti membayar penuh kepada pensuplainya. Dan jangka waktu tersebut berarti bunga pendapatan bagi importir yang punya kelebihan dana. Atau penghematan bunga, karena uang tak perlu buru-buru disediakan. Sedang dengan LC biasa, importir harus menyetor 40, dari nilai faktur -- tanpa bisa ditarik kembali - dan 60% sisanya sesudah dokumen barang tiba. Bagi pemerintah sendiri dihapuskannya MLC itu jelas kurang begitu menguntungkan dilihat dari segi pemasukan uang. MPO yang masuk akan berkurang. Dihapuskannya MLC bisa mengurangi impor, dus bisa mengurangi bea masuk. Tapi berkurangnya impor dinilai dengan cara apapun rupanya dipandang sebagai perkembangan yang lebih sehat. Tapi industri dalam negeri yang masih menggantungkan bahan bakunya dari impor, kini menghadapi dua pilihan: Terus mengimpor dengan biaya yang lebih besar, atau mulai memikirkan penggantian bahan impor dengan bahan dalam negeri secara lebih serius.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus