Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyoroti minimnya tingkat permodalan di industri pinjam-meminjam berbasis teknologi (fintech lending) atau yang dikenal dengan pinjaman online.
Ekuitas minimum harus mencapai Rp 12,5 miliar pada Juli 2025.
Penguatan modal pun dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pertama, melakukan diversifikasi bisnis setelah mampu meminimalkan biaya operasional dan risiko. Selanjutnya, penyelenggara perlu menggali sumber dana murah.
JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan menyoroti minimnya tingkat permodalan di industri pinjam-meminjam berbasis teknologi (fintech lending) atau yang dikenal dengan pinjaman online. Merujuk pada Peta Jalan Pengembangan dan Penguatan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) 2023-2028, Otoritas mengungkapkan bahwa mayoritas penyelenggara pinjaman online tidak memiliki modal disetor yang memadai. Bahkan, ekuitas tersebut cenderung tergerus hingga menjadi negatif.
Per September 2023, masih ada 33 fintech lending yang terpantau belum memenuhi kapasitas modal sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu minimum Rp 2,5 miliar. Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK, Agusman, mengatakan jumlah itu bertambah dari periode Agustus 2023 yang sebanyak 27 penyelenggara. “Ini terjadi karena terdapat kinerja penyelenggara yang menurun sehingga mengalami kerugian,” ujarnya, kemarin, 14 November 2023.
Sesuai dengan peta jalan yang telah ditetapkan Otoritas, ke depan, seluruh penyelenggara fintech lending wajib meningkatkan permodalannya untuk menguatkan kinerja industri menjadi lebih sehat dan berkelanjutan. Target peningkatannya tercantum dalam Peraturan OJK Nomor 10 Tahun 2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi.
Peluncuran Roadmap Pengembangan dan Penguatan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI/fintech P2P Lending) 2023-2028 di gedung Four Season, Jakarta, 10 November 2023. TEMPO/Tony Hartawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agusman menjelaskan bahwa pemenuhan ekuitas minimum tahap pertama adalah sebesar Rp 2,5 miliar pada Juli 2023, Rp 7,5 miliar pada Juli 2024, dan Rp 12,5 miliar pada Juli 2025. Sebagai solusi, Otoritas juga mendorong penguatan ketahanan industri fintech lending melalui sinergi, yang dapat diwujudkan melalui strategi penggabungan usaha atau merger, pengambilalihan atau akuisisi, dan konsolidasi. “OJK juga telah mengambil langkah proaktif dengan meminta penyelenggara yang belum memenuhi persyaratan menyusun action plan guna memastikan pemenuhan ekuitas minimum.”
Tak cukup sampai di situ, implementasi action plan yang telah disusun pun dipantau ketat oleh Otoritas. Jika terjadi perburukan kondisi, Otoritas bakal melakukan tindakan pengawasan lanjutan untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi dan menjaga stabilitas serta integritas industri fintech lending.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara itu, hingga 9 Oktober 2023, terdapat 101 perusahaan penyelenggara fintech lending yang berizin OJK. Tujuh di antaranya menggunakan prinsip syariah dan sisanya konvensional. Secara agregat, aset fintech lending tumbuh 29,96 persen secara tahunan atau menjadi Rp 7,42 triliun. Adapun per September 2023, outstanding pembiayaan yang disalurkan oleh industri fintech lending tumbuh 14,28 persen secara tahunan, dengan nominal pembiayaan mencapai Rp 55,70 triliun, serta rasio kredit macet atau tingkat wanprestasi (TWP 90) sebesar 2,82 persen.
Peluncuran Roadmap Pengembangan dan Penguatan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi 2023-2028 di gedung Four Season, Jakarta, 10 November 2023. TEMPO/Tony Hartawan
Pengamat perbankan dan praktisi sistem pembayaran, Arianto Muditomo, mengatakan tren pelemahan modal fintech lending tak lepas dari persaingan sengit yang terjadi di industri. Platform bersaing menawarkan suku bunga pinjaman yang kompetitif. Di sisi lain, biaya operasional dan risiko kredit tetap tinggi. Hal inilah yang kemudian menyebabkan margin keuntungan penyelenggara kian menipis hingga menggerus permodalan. “Faktor kualitas kredit tidak secara langsung menggerus modal, tapi mempengaruhi peningkatan risiko gagal bayar yang ujungnya merugikan penyelenggara,” ucapnya.
Menurut Arianto, penguatan permodalan industri fintech lending dibutuhkan untuk mengukur kecukupan penyelenggara dalam mengantisipasi dan menutup biaya dana atau cost of fund terhadap pendanaan yang disalurkan serta risiko yang dihadapi. Penguatan modal pun dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pertama, melakukan diversifikasi bisnis setelah mampu meminimalkan biaya operasional dan risiko. Selanjutnya, penyelenggara perlu menggali sumber dana murah, baik melalui kemitraan strategis maupun pasar modal. “Merger dan akuisisi menjadi pilihan berikutnya bila seluruh opsi di atas belum berhasil memperkuat modal.” Namun hal ini tidak mudah untuk dilakukan mengingat strategi merger dan akuisisi bergantung pada kepentingan pemilik, di luar pertimbangan bisnis serta risiko.
Chief Executive Officer (CEO) Akseleran Ivan Tambunan menyatakan pelaku industri berupaya mematuhi ketentuan permodalan yang disyaratkan Otoritas. “Akseleran sendiri tidak ada masalah soal itu. Bila diperlukan, pemegang saham pengendali juga dapat memberikan tambahan modal,” ujarnya.
Di sisi lain, perusahaan berstrategi untuk memastikan pertumbuhan penyaluran pendanaan berjalan sehat dan berkualitas sehingga berkontribusi positif pada kinerja serta aspek permodalan secara keseluruhan. “Saat ini kami menjaga untuk terus membukukan profit, sehingga ekuitas kami harapannya juga terus meningkat.”
GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo