Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penyaluran dana bantuan sosial Covid-19 diwarnai kisruh akibat buruknya data pemerintah.
Empat penyakit bansos berpotensi kembali muncul di masa pandemi.
Pembaruan data di masa pandemi juga bermasalah.
GAIRAH Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil langsung surut mendengar agenda rapat dengan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy pada Selasa, 28 April lalu, dibatalkan. Rapat virtual yang semula akan diikuti semua kepala daerah itu semestinya menjadi kelanjutan rapat terbatas kabinet, yang juga dihadiri para gubernur, sehari sebelumnya. “Enggak ada kabar lagi. Ini menurut saya sangat mendesak,” kata Emil—panggilan Ridwan Kamil—lewat conference call pada Kamis, 30 April lalu.
Dalam rapat terbatas, Selasa, 27 April lalu, Emil mengusulkan penyaluran bantuan sosial bagi masyarakat yang terkena dampak pagebluk Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) disatukan di bawah komando Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK). Kalau tidak bisa satu pintu, setidaknya distribusi bantuan mesti satu waktu.
Emil pantas risau. Sejumlah bantuan mulai bergulir ke warga Jawa Barat. Namun masyarakat justru bergejolak lantaran bantuan tidak datang serempak. Tudingan bahwa realisasi bantuan tak tepat sasaran pun menyeruak, menyudutkan pemerintah daerah, gara-gara banyak warga miskin mengeluh tak mendapat bantuan. Padahal, menurut Emil, boleh jadi mereka bakal menerima santunan dari instansi berbeda di lain hari. Total ada sembilan jenis bantuan sosial yang bergulir di Tanah Pasundan.
Tiga kepala daerah lain menyompoh ide Emil. Presiden Joko Widodo pun meminta Menteri Muhadjir menindaklanjuti usul tersebut. Dari situlah datangnya undangan kepada kepala daerah untuk mengikuti rapat virtual yang belakangan dibatalkan. “Sebelum koordinasi dengan pemerintah daerah, mau koordinasi antarkementerian dulu,” ucap Muhadjir kepada Tempo, Kamis, 30 April lalu, tentang alasan pembatalan rapat.
Kekisruhan penyaluran bantuan sosial terjadi di hampir semua daerah beberapa pekan terakhir. Di Ibu Kota, bantuan bahan pangan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta nyasar ke kawasan elite Kelapa Gading dan anggota parlemen provinsi. Di Jawa Barat, yang dua pertiga warganya mendadak jatuh miskin akibat pandemi Covid-19, amuk masyarakat soal bantuan sosial muncul di kabupaten yang menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Media sosial juga diramaikan oleh beredarnya foto botol penyanitasi tangan dari Kementerian Sosial yang malah ditempeli stiker bergambar Bupati Klaten Sri Mulyani.
Centang-perenang penyaluran bantuan ini membuktikan prediksi Komisi Pemberantasan Korupsi. Sejak awal April lalu, tim dari Kedeputian Pencegahan KPK menyoroti rencana pemerintah pusat dan daerah menggulirkan program jaring pengaman sosial untuk mengurangi dampak Covid-19.
Pemerintah pusat mengalokasikan tambahan dana sebesar Rp 110 triliun untuk program yang menyasar keluarga miskin dan rentan miskin tersebut. Pada saat bersamaan, pemerintah daerah juga menyiapkan duit sedikitnya Rp 25,34 triliun untuk program serupa yang diperoleh dari realokasi anggaran daerah. Belakangan, dana desa menjadi sumber pembiayaan baru untuk penyaluran bantuan langsung tunai senilai Rp 22,4 triliun.
KPK khawatir atas berjubelnya program bansos tersebut. Sebab, basis data penerima bantuan yang dipakai pemerintah pusat dan daerah berantakan. “Kami khawatir ketika pemerintah pusat menambah bantuan sosial, daerah ngasih, dan desa juga ngasih,” tutur Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan pada Senin, 27 April lalu. “Bakal ‘meriah’ ini jadinya.”
Dengan kondisi serba darurat seperti ini, kata Pahala, empat penyakit menahun dalam program bantuan sosial berpotensi besar bakal kambuh lagi. Empat masalah tersebut adalah penyaluran fiktif, penerima bantuan terasosiasi dengan penguasa setempat, distribusi tak tepat sasaran akibat kesalahan pemasukan data, dan pemotongan santunan baik kuantitas maupun kualitas. Semuanya dapat merugikan keuangan negara.
Petugas Kantor Pos Indonesia memberikan data warga penerima paket bantuan sosial berupa kebutuhan pokok dari Presiden RI kepada petugas rukun warga sebelum didistribusikan kepada warga yang terkena dampak Covid-19 di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, 28 April 2020. TEMPO/Nita Dian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Potensi bahaya itu bahkan sudah muncul dari Ibu Kota. Ketika pemerintah pusat baru membicarakan angka, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sejak awal April lalu telah mengumumkan rencana menggulirkan bantuan kepada 3,7 juta keluarga miskin dan rentan miskin. Belakangan, angka ini direvisi menjadi hanya 1,25 juta keluarga.
Bantuan ini bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2020 DKI Jakarta. Sejumlah daerah mengikuti langkah serupa. Melihat beberapa bansos kesasar ke penerima yang tak berhak, tim Pencegahan KPK meminta digelar pertemuan darurat dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Kementerian Sosial pada Rabu, 15 April lalu. Rapat berlangsung virtual, diikuti sekitar 30 orang.
Kepala Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik Atika Nur Rahmania beserta Asisten Perekonomian dan Keuangan Sekretariat Daerah Sri Haryati hadir mewakili Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Adapun Kementerian Sosial diwakili tiga pejabat eselon I dan seorang anggota staf khusus menteri. Dalam pertemuan jarak jauh itulah baru diketahui bahwa DKI Jakarta menggunakan data baru yang dihimpun dari perangkat paling bawah, seperti rukun tetangga.
Data warga miskin, rentan miskin, dan yang terkena dampak Covid-19 itu kemudian digabungkan dengan basis data penerima manfaat dalam enam jenis jaring pengaman sosial pemerintah provinsi yang sudah berjalan. Dari data itulah kemudian provinsi menyalurkan bantuan pangan tahap pertama sejak 9 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KPK pun meminta DKI Jakarta menyelaraskan informasi 1,25 juta keluarga hasil pendataan mereka dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) milik Kementerian Sosial. DTKS adalah bank data masyarakat termiskin di republik ini. Hingga Januari 2020, isinya mencapai 29 juta keluarga atau mencakup 97,3 juta jiwa.
Dari hasil pemadanan kedua data itulah baru ketahuan bahwa sedikitnya 200 ribu keluarga penerima bantuan DKI Jakarta sudah masuk Program Keluarga Harapan, jaring pengaman sosial yang saban tahun dianggarkan pemerintah pusat. Sebanyak 100 ribu keluarga lain terdaftar dalam DTKS. Adapun sisanya, yang terbesar, yakni 900 ribu keluarga, masuk kategori orang miskin baru. “Ini yang diduga keluarga miskin mendadak,” kata Pahala.
Kendati tumpang-tindih, masalah data penerima bantuan di DKI Jakarta dapat cepat teratasi karena setiap daftar keluarga memiliki identitas lengkap berupa nomor induk kependudukan. “Jadi penyakit pertama bantuan sosial, penerima fiktif, sudah bisa diatasi,” ucap Pahala.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membenarkan kabar penggunaan basis data lama sebagai acuan penerima santunan. Dia berdalih mengejar waktu agar masyarakat yang terkena dampak Covid-19 cepat mendapat bantuan. “Daripada dibalik, cek dulu di lapangan, semuanya dikumpulkan. Yang terjadi, masyarakat yang butuh tak kunjung mendapat bantuan,” ujar Anies dalam konferensi pers virtual pada Rabu, 22 April lalu. Dia berjanji kelurahan segera memugar data penerima melalui ketua rukun tetangga dan rukun warga.
Masalahnya, belakangan, Presiden Jokowi menyusul dengan keputusan memberikan bantuan pangan serupa bagi warga Ibu Kota. Mengusung judul Sembako Presiden untuk penerima manfaat di Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi, nilai bantuan pangan dan jumlah penerima santunan persis dengan program pemerintah provinsi. “Ini seperti dulu-duluan ngasih bansos,” ucap Pahala. Tim Pencegahan KPK khawatir penerima bantuan pangan pemerintah DKI menerima santunan ganda.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan didampingi Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo (kanan) di Jakarta, 18 Maret 2020. ANTARA/Dewanto Samodro
Melihat kekisruhan rencana penyaluran bantuan sosial ini, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia, yang membawahkan urusan jaring pengaman sosial, menggelar rapat virtual antarkementerian pada 20 April lalu. Agendanya koordinasi penggunaan DTKS dan data non-DTKS dalam pemberian bantuan reguler dan nonreguler. Bantuan reguler mencakup Program Keluarga Harapan dan Kartu Sembako—dulu Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT). Sedangkan bantuan nonreguler meliputi bantuan langsung tunai Kementerian Sosial, Sembako Presiden, dan bantuan langsung tunai dana desa.
Menurut Menteri Sosial Juliari Batubara, rapat yang juga diikuti pimpinan KPK ini menjadi pijakan bagi kementerian yang mengelola bantuan sosial untuk menyalurkan program. Dari situlah disepakati bahwa basis data penerima bantuan harus berawal dari DTKS. Namun pemerintah daerah sebagai pendata boleh menambahkan nama-nama penerima di luar DTKS, asalkan lengkap dengan nama dan NIK. “Awalnya KPK minta yang berhak hanya yang ada di DTKS,” kata Juliari ketika dihubungi pada Jumat, 1 Mei lalu. “Namun kasihan yang di luar DTKS.”
Penggunaan DTKS sebagai basis awal penyaluran bansos itu lalu menjadi kesimpulan rapat. Menurut Pahala, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia meminta kesimpulan rapat tersebut dilegalkan dalam bentuk surat edaran KPK. Sehari kemudian, KPK mengabulkannya dengan menerbitkan Surat Edaran Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penggunaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial dan Data Non-DTKS dalam Pemberian Bantuan Sosial ke Masyarakat. “Intinya, silakan pemerintah daerah memungut data sendiri, tapi harus berawal dari DTKS,” ujar Pahala. “Ini lebih baik daripada menggunakan data buta.”
Petugas pos menata logistik bantuan sosial dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk warga yang terimbas Covid-19 di Kantor Pos Cibinong, Bogor, Jawa Barat, 17 April 2020. ANTARA/Yulius Satria Wijaya
Namun disepakatinya DTKS sebagai data awal penerima bantuan tidak otomatis merampungkan kisruh. Berisi 40 persen warga termiskin se-Indonesia, data tersebut dibuat pada 2015 hasil Pemutakhiran Basis Data Terpadu Badan Pusat Statistik dan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan yang berada di bawah Kantor Wakil Presiden.
Semestinya data dipugar setidaknya setahun sekali oleh pemerintah kabupaten dan kota, lalu diajukan gubernur untuk disahkan oleh Kementerian Sosial. Kenyataannya, selama bertahun-tahun daerah alpa menunaikan tugasnya. Seperti wabah, penyakit malas memugar data itu menyebar ke banyak daerah. Di Kelurahan Tegallega, Kota Bogor, Jawa Barat, misalnya, baru ketahuan ada warga yang masih tercatat dalam daftar penerima bantuan Covid-19 padahal sudah wafat. Rupanya, data yang dipakai berasal dari pemutakhiran 2017. “Tapi sudah kami perbaiki dan segera kami berikan ke Dinas Sosial,” ucap Lurah Tegallega Ervin Yulianto saat dihubungi pada Rabu, 29 April lalu.
DTKS yang sudah ketinggalan zaman juga menjadi catatan Badan Pemeriksa Keuangan. Menurut Anggota III BPK Achsanul Qosasi, dana senilai Rp 2 triliun dari anggaran Program Keluarga Harapan setiap tahun tidak tersalurkan. Dana diam lantaran keluarga penerima manfaat tidak ada lagi, sudah pindah, meninggal, atau menjadi buruh migran. Banyak juga temuan data ganda.
Temuan BPK menunjukkan birokrasi pemutakhiran data menjadi titik terlemah DTKS. Dinas sosial yang berada di bawah pemerintah daerah tidak pernah memugar data yang diwajibkan Kementerian Sosial. Kalaupun ada pembaruan data, daftar penerima bantuan baru biasanya berisi pendukung dan calon pendukung bupati atau wali kota. “Padahal anggaran atas kegiatan pembaruan data dari Kementerian Sosial terus terserap,” kata Achsanul, Rabu, 28 Mei.
Data yang telah bertahun-tahun membusuk itu makin membahayakan di tengah penambahan dana dan perluasan sasaran bantuan di masa pandemi saat ini. BPK pun menggelar rapat dengan Menteri Sosial Juliari Batubara pada Selasa, 21 April lalu, untuk membahas mekanisme bantuan sosial, baik reguler maupun nonreguler.
Khusus untuk santunan reguler, seperti Program Keluarga Harapan, menurut Achsanul, sudah tiga tahun beruntun BPK meminta Kementerian Sosial melaporkan dan mengembalikan dana tak terpakai akibat buruknya pendataan ke kas negara. Selama ini, dana tersebut mengendap di bank penyalur. “Jika Kemensos tidak mengubah cara kerjanya, yang diuntungkan cuma bank karena mendapat dana murah,” tutur Achsanul, menjelaskan isi rapat tersebut.
Banyaknya daerah yang tak memperbarui data DTKS bukannya tak diketahui pemerintah pusat. Menurut Juliari, Kementerian Sosial selaku pemegang DTKS mempersilakan daerah menyetor nama-nama penerima bantuan di luar DTKS. Dia mengakui, untuk setiap bantuan sosial nonreguler dari pemerintah pusat, sebanyak 60 persen penerima diambil dari DTKS. Sisanya dari namanama baru yang disetor pemerintah daerah. “Kami tahu daerah kelabakan mengumpulkan data,” ujar Juliari. “Tapi, kalau pakai full data kami (DTKS), nanti disalahkan lagi.”
Selesai di situ? Ternyata tidak. Pemutakhiran data di luar DTKS oleh pemerintah kabupaten dan kota selama pandemi ini tak kalah robat-rabit. Gubernur Ridwan Kamil membeberkan, gara-gara pemugaran data serampangan, jumlah warga miskin dan rentan miskin se-tanah Pasundan melompat menjadi 38 juta jiwa, atau 67 persen dari total populasi. “Jadi bisa dibayangkan, dua pertiga penduduk Jawa Barat sekarang tangannya di bawah,” ucapnya.
Dari 38 juta penerima bantuan di Jawa Barat itu, kata Emil, sebanyak 1,7 juta keluarga merupakan hasil pendataan yang ngaco. “Ada namanya, tapi NIK-nya enggak lengkap.” Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah mengembalikan data dari 14 kabupaten dan kota. Walhasil, hingga Kamis, 28 April lalu, baru 9,42 juta keluarga di Jawa Barat yang sudah masuk daftar penerima bantuan reguler dan nonreguler.
KHAIRUL ANAM, DINDA LEO LISTY (KLATEN), ACHMAD FIKRI (BANDUNG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo