Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hujan yang mulai mengguyur sejumlah wilayah di Indonesia pada awal November ini menandai berakhirnya tren suhu panas maksimum 2024, demikian hasil analisis iklim tim Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Deputi Klimatologi BMKG Ardhasena Sopaheluwakan di Jakarta, Selasa, 5 November 2024, mengatakan saat ini hujan masuk secara gradual ke wilayah Indonesia yang terjadi karena La Nina sudah mulai aktif kembali dalam kategori lemah.
Selain itu, terus menjauhnya keberadaan beberapa siklon tropis dari wilayah Indonesia juga berkontribusi dalam pertumbuhan awan hujan. Siklon tropis seperti Trami dan Kong-Rey sebelumnya terpantau oleh tim BMKG sejak 21 Oktober 2024, berada di sekitar 14,5 derajat Lintang Utara – 126,0 Bujur Timur Laut Filipina atau sekitar 1.240 kilometer sebelah utara Tahuna, Sulawesi Utara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pergerakan siklon berkecepatan 74 kilometer per jam (kategori II) saat itu telah menarik awan potensial, sehingga suhu di wilayah Indonesia menjadi panas karena tidak ada tutupan awan yang menghalangi paparan sinar matahari yang sedang tepat di atas khatulistiwa.
BMKG sempat mencatat suhu panas maksimum di Indonesia berada pada rentang 37 – 38,4 derajat Celcius pada akhir Oktober 2024, salah satunya di wilayah Larantuka, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Ardhasena mengatakan, periode La Nina ini diprakirakan mulai berlangsung dari November 2024 sampai akhir kuartal pertama 2025, setelah itu diyakini tidak ada gangguan iklim signifikan di Indonesia secara umum.
BMKG menyatakan, terdapat 67 persen wilayah Indonesia yang berpotensi mendapatkan curah hujan tahunan lebih dari 2.500 mm/tahun pada 2025. Wilayah tersebut meliputi sebagian Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau bagian barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Lampung bagian utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah bagian barat, sebagian kecil Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi bagian tengah dan selatan, sebagian Bali, sebagian kecil NTT, Kepulauan Maluku, dan Papua.
Selain itu terdapat sekitar 15 persen wilayah Indonesia yang diprediksi mengalami curah hujan tahunan di atas normal, antara lain sebagian kecil Aceh, Riau, Sulawesi bagian tengah dan utara, sebagian kecil Sulawesi Selatan bagian selatan, sebagian kecil Sulawesi tenggara, sebagian kecil NTT, sebagian kecil kepulauan Maluku, dan sebagian Papua bagian tengah.
Kendati demikian BMKG mendorong semua pihak agar memanfaatkan curah hujan untuk mengisi waduk, bendungan, irigasi, dan embung-embung, demi menjamin ketahanan air dan energi persiapan musim kering yang dapat memicu bencana kekeringan hingga kebakaran kawasan hutan dan lahan (karhutla) tahun depan.
Dalam hal ini BMKG memetakan sebanyak satu persen wilayah Indonesia diprediksi mengalami hujan di bawah normal antara lain Sumatera Selatan bagian barat, Bali, NTT, NTB, Maluku utara, dan Papua Barat bagian utara, pada medio Mei-Juli 2025.
Waspada Banjir
BMKG juga mengingatkan semua pihak di seluruh wilayah Indonesia untuk bersiap menghadapi potensi curah hujan tinggi tahunan periode Januari - Desember 2025, yang sudah mulai berlangsung dari November tahun ini.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati di Jakarta, Senin, mengatakan secara umum sepanjang tahun 2025 hujan diperkirakan melanda sebagian besar wilayah Indonesia dengan intensitas curah hujan berkisar antara 1.000 – 5.000 mm per tahun
"Namun periode ini tidak akan terjadi anomali iklim. Hal ini dikarenakan ENSO (El Nino-Southern Oscillation) dan IOD (Indian Ocean Dipole) berada dalam kondisi netral dan kondisi La Nina lemah diprediksi akan terus terjadi hingga awal 2025," katanya dalam konferensi pers bertajuk "Pandangan Iklim 2025" yang disiarkan secara daring itu.
Gambaran kondisi iklim tahun 2025 ini dianggap oleh para ahli iklimatologi dan geofisika BMKG sebagai kesempatan strategis bagi wilayah-wilayah sentra pangan untuk meningkatkan produktivitas tanaman, guna mendukung ketahanan pangan nasional.
Sementara di sisi lainnya, Dwikorita menggarisbawahi bahwa semua pihak mulai dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, kota, sampai desa dan kelurahan, termasuk kalangan masyarakat untuk pula melakukan upaya dini mencegah bencana hidrometeorologi yang berpotensi terjadi selama periode musim hujan tersebut.
Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terakhir pada tahun 2023 Indonesia mengalami lebih dari 5.400 kejadian bencana, 95 persen di antaranya adalah bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, hingga badai atau angin kencang.
Upaya mitigasi dapat dilakukan seperti memastikan tidak ada penyumbatan saluran pembuangan air atau drainase, membersihkan aliran sungai dari sampah, menghindari daerah rawan bencana dan senantiasa melakukan pemantauan penuh sumber informasi dinamika cuaca dari BMKG dan lembaga terkait lainnya.
Pilihan Editor Tom Lembong Akan Praperadilankan Kejaksaan Agung, Ini Kata Kuasa Hukumnya