Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA nama yang bergeser dari masthead Kompas edisi Senin pekan lalu. Sebuah nama tempat sejumlah kepentingan, kebijakan, bahkan masa depan harian nasional terbesar itu bergantung selama 35 tahun terakhir. Jakob Oetama, pemilik nama itu, lengser pekan lalu dari kursi pemimpin redaksi (pemred). Ia digantikan Suryopratomo, 39 tahun, seorang master bidang peternakan yang menjadi wartawan Kompas sejak 13 tahun lalu.
Pilihan Jakob sempat membuat banyak kalangan terpana. Suryopratomo alias Tommy memang tidak termasuk dalam "bursa putra mahkota" yang beredar selama ini. Tapi, bila menilik sejarah Kompas, sesungguhnya tidak ada terobosan radikal dengan penempatan seorang anak muda di kursi pemred. Jakob, misalnya, naik ke kursi pemred dalam usia 34 tahun pada 1965.
Pertanyaannya, mengapa ia memilih Tommy. Kenapa bukan August Parengkuan, Ninok Leksono, atau St. Sularto, yang selama ini santer sebagai calon pengganti? Sayang, mantan pemred itu menolak diwawancarai, bahkan sekadar menjawab pertanyaan tertulis TEMPO. "Bapak tidak bersedia membicarakan soal pergantian ini," tutur Lisa, sekretaris Jakob, menirukan ucapan bosnya.
Tommy sendiri mengaku tidak tahu persis alasannya. "Mungkin Pak Jakob ingin orang muda seperti saya," ia mengira-ngira. Dari segi "jam terbang", Tommy memang kalah dibandingkan dengan para seniornya seperti August Parengkuan (angkatan kedua/1970), Ninok Leksono (1981), atau St. Sularto. Toh, ia optimistis. "Dilihat dari usia dan jenjang, memang ada August, Ninok, atau Sularso yang lebih senior. Tapi di Kompas senioritas tidak menjadi soal. Dan sejak jadi redaktur pelaksana, saya sudah terbiasa memimpin orang yang lebih senior," Tommy melanjutkan (lihat Bintang Baru itu Bernama Tommy).
Selain Tommy, ada pergeseran lain dalam kabinet baru Kompas. Misalnya August Parengkuan. Dari pelaksana harian, wakil pemimpin redaksi, dan penanggung jawab, ia mengisi posisi redaktur senior bersama R.B. Sugiantoro, Ace Suhaedi, dan Ninok Leksono (tadinya wakil pemimpin redaksi). Sedangkan Bambang Sukartiono menempati kursi wapemred bersama St. Sularto (tetap pada posisinya semula). Alhasil, Tommy ibarat bintang baru yang melejit di tengah korporasi media yang kabarnya bertiras sekitar 500 ribu itu.
Sebelumnya, sempat beredar kabar bahwa ada tiga kubu yang punya kans memimpin harian nasional terbesar itu. Namun, "demi kebaikan bersama", Jakob akhirnya memunculkan nama baru: Tommy. Benarkah? Pemred baru itu serta-merta membantah, "Di Kompas, tidak ada faksi-faksian. Semuanya berjalan secara egaliter." Ninok, yang disebut-sebut sebagai calon dari salah satu kubu, juga menolak. "Jelas tidak benar. Tidak ada kubu-kubuan di sini," ia menjelaskan.
Jadi, tidak ada yang kecewa? August Parengkuania banyak diperkirakan menggantikan Jakobyang sedang ke luar kota, tak dapat dimintai komentar. Namun, Tommy memastikan, bekas wakil pemimpin redaksi itu telah memberinya dukungan penuh. Akan halnya Ninok, "Memang, Pak Jakob pernah membisiki saya akan jadi pemimpin redaksi. Tapi, tentu saja, keputusan tergantung Pak Jakob. Dia orang yang bijaksana," ujarnya.
Menurut Ninok, pengangkatan Tommy bukan pilihan main-main. Masa depan Kompas, bagi Ninok, adalah sesuatu yang terlalu berharga untuk dijadikan taruhan. Jadi, kendati organisasi yang baik bergantung pada sistem, pemimpin redaksi tetap saja merupakan suatu posisi yang sangat strategis. "Dan saya yakin Tommy bisa melakukan tugasnya dengan baik," kata Ninok.
Beberapa mantan wartawan Kompas menilai pergantian ini sebagai hal wajar. "Dari segi bisnis, Kompas memerlukan sebuah tim tangguh dan profesional," ujar Sudirman Teba, yang kini bekerja di Anteve. Sedangkan Azkarmin Zaini, yang pernah 20 tahun di Kompas, mengatakan, "Sehebat apa pun Jakob, jika tidak didukung tim redaksi yang hebat, sama juga bohong."
Tommy sendiri tampak antusias dengan tugas barunya. Bekas wartawan olahraga ini merencanakan perubahan dalam isi dan perwajahan. Misalnya, mempersempit 13 desk menjadi 5 desk saja, yang terdiri dari internasional, nasional, ekonomi & bisnis, metropolitan & daerah, serta olahraga. Selain itu, selama tahun 2000, harian yang bermarkas di kawasan Palmerah, Jakarta, itu akan konsisten dengan 24 halaman. Untuk merealisasi semua ini, Tommy dibantu 85 wartawan dan 50 wartawan daerah. Alumni Institut Pertanian Bogor ini mestinya punya lebih banyak waktu membenahi Kompas daripada pendahulunya. Oleh Jakob, ia diserahi tugas mengurusi redaksional Kompas semata-mata.
Lalu, ke mana Jakob Oetama akan pergi? Namanya tetap ada dalam masshead Kompas sebagai pemimpin umum. Namun, dengan seorang anak muda yang mengisi kursinya, sang guru barangkali akan lebih leluasa untuk pergi ke mana pun ia inginkan, nanti.
Hermien Y. Kleden, Setiyardi, Dewi Rina Cahyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo