Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Nama Titipan di Kotak Pandora

Deputi Kementerian BUMN yang dilantik berbeda dari usulan awal. Ada orang kuat yang memotong di tengah jalan. ”Ini jelas rotasi abnormal,” kata sumber Tempo.

4 Oktober 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA hari terakhirnya sebagai Sekretaris Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, Muhammad Said Didu tidak menyangka bakal menerima rentetan pertanyaan dari Muhammad Saddam Zulfikar. Pagi itu, Jumat dua pekan lalu, ketika Said memberi tahu bahwa dia tidak lagi menjabat orang nomor dua di Kementerian BUMN, putranya yang berusia 10 tahun itu bertanya, ”Katanya Papi kerja baik, selalu pulang malam, tidak pernah libur dengan Saddam, kok diganti?”

Di tengah tanya-jawab itu, Said menjelaskan bahwa ia akan kembali menjadi peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, tempat ia memulai karier sebagai birokrat. Saddam berhenti bertanya setelah diyakinkan bahwa pekerjaan ayahnya tidak kalah hebat daripada sebelumnya. ”Itulah puncak kebahagiaan yang saya alami karena bisa menjelaskan mengapa saya diganti,” ujar Said. Sore harinya, Said resmi diganti oleh Mahmuddin Yasin, Deputi Kementerian BUMN Bidang Privatisasi dan Restrukturisasi.

Setelah berbulan-bulan mengalami tarik-ulur, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Mustafa Abubakar akhirnya merombak total pejabat eselon satu di kantornya. Posisi mereka penting karena berada di lingkaran pertama kementerian. Bersamaan dengan Yasin, sepuluh pejabat lainnya dilantik di kantor Kementerian BUMN pada sore itu. Lima nama menempati posisi deputi, sisanya menjadi staf ahli menteri. Kecuali Deputi Kementerian BUMN Bidang Jasa Keuangan dan Perbankan yang diisi Parikesit Suprapto, empat posisi deputi lainnya diisi nama-nama anyar. ”Saya harap kepengurusan yang baru akan lebih dinamis, full speed, sama seperti saya memimpin Bulog,” ujar Mustafa.

Posisi Deputi Bidang Privatisasi dan Restrukturisasi yang ditinggalkan Yasin kini ditempati oleh Achiran Pandu Djayanto. Sumayanto Widayatin, Komisaris PT Jasa Marga Tbk., menggantikan posisi Harry Susetyo Nugroho sebagai Deputi Bidang Logistik, Pariwisata dan Transportasi (kini bernama Deputi Bidang Usaha Infrastruktur dan Logistik). Irnanda Laksanawan mendapat promosi, menempati jabatan yang sebelumnya dipegang Sahala Lumban Gaol, yakni Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis, Energi, dan Telekomunikasi (kini bernama Deputi Bidang Usaha Industri Strategis dan Manufaktur).

Harry dan Sahala kemudian menjadi staf ahli di kementerian yang sama. Adapun Agus Pakpahan, Deputi Bidang Agro Industri, digantikan Megananda Daryono, yang sebelumnya menjabat Asisten Deputi Bidang Perkebunan. Deputi Bidang Agro Industri kini bersalin nama menjadi Deputi Bidang Usaha Industri Primer. Sedangkan Muchayat, Deputi Bidang Jasa Lainnya, pensiun.

Pergantian deputi di kementerian yang kerap menjadi ladang perebutan oleh partai politik itu selalu menyisakan sekelumit cerita. Seorang sumber di pemerintahan menjelaskan, normalnya, pejabat eselon satu diganti bila memasuki masa pensiun, melakukan kesalahan sehingga dikenai sanksi, dimutasi dan promosi, atau mengundurkan diri. ”Di luar itu abnormal,” katanya.

Bekas pejabat di sana mengatakan, rencana perombakan diagendakan sejak Maret lalu. Pangkalnya, tidak ada kecocokan antara Said dan Mustafa. ”Keduanya kurang bisa bekerja sama,” katanya. Saat Mustafa menjadi Direktur Utama Bulog, Said kerap memarahi Mustafa karena suka membeli harga gabah di atas harga pembelian pemerintah (HPP).

Sumber lain di Bulog mengatakan ketika salah satu direktur Bulog menggelar pesta pernikahan buat anaknya, Mustafa dinilai mendapat perlakuan yang berlebihan. Said yang hadir pada acara resepsi itu memperingatkan Mustafa. ”Tidak elok seperti itu, kita ini pejabat publik,” ujar sumber tadi menirukan Said. Di era Kabinet Indonesia Bersatu II, situasi berbalik. Posisi Mustafa, yang tadinya di bawah Said, berbalik menjadi atasannya.

Mustafa menepis kabar kerenggangan di antara mereka berdua. ”Saya bantah keras, yang bekerja dengan saya cocok semua,” ujarnya. Sebaliknya, Said Didu mengatakan, kalaupun ada orang lain merasa tidak cocok bekerja dengannya, hal itu normal-normal saja.

Di Kementerian BUMN, Said juga tidak bersih dari tudingan. Seorang pengusaha papan atas mendengar, setiap jabatan direksi perusahaan pelat merah itu dikaveling-kaveling dan ada tarifnya. ”Sampai ada istilah, kalau ingin menjadi direksi BUMN, harus lewat Said Didu,” kata pengusaha menirukan koleganya di pemerintahan. Bahkan ada anggapan, siapa pun menterinya, Said Didu yang pegang kunci brankas kementerian itu.

Said tidak ambil pusing terhadap cerita miring itu. ”Mudah-mudahan orang yang bikin fitnah itu diampuni karena sudah memutarbalikkan fakta,” ujarnya. Said mengakui, di masa lalu, untuk menjadi direktur perusahaan pelat merah ada tarifnya. Menjadi Direktur Utama PTPN, misalnya, tarifnya pada 1995 mencapai Rp 6 miliar. Bahkan, di awal-awal masa jabatannya pada 2005, ia menerima usulan 937 nama—sebagian besar usul partai politik—untuk menjadi direktur dan komisaris BUMN. ”Justru praktek itu saya berantas,” katanya.

Dengan membawahkan aset Rp 1.200 triliun, kementerian ini sulit lepas dari beragam tekanan. ”Yang paling sulit ditangani adalah menjaga kementerian ini bebas dari intervensi,” kata Said. Bekas pejabat yang tahu seluk-beluk permainan di kementerian itu menambahkan, agenda yang paling rawan dan mesti diawasi ke depan adalah pembahasan subsidi kewajiban pelayanan publik (PSO), penyertaan modal negara, dan privatisasi perusahaan pelat merah. Dari ketiganya, yang paling rentan menjadi sapi perah adalah privatisasi. ”Terutama saat penetapan harga batas atas-batas bawah dan penjatahan jumlah saham,” katanya.

Apalagi intervensi juga terjadi saat calon deputi diajukan ke Tim Penilai Akhir, yang diketuai Wakil Presiden Boediono, April lalu. Semula, Kementerian BUMN mengusulkan Cahyana Ahmadjayadi (Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Komunikasi dan Informatika), Tirta Hidayat (Deputi Bidang Ekonomi Kantor Wakil Presiden), dan Permana Agung (Bekas Direktur Jenderal Bea dan Cukai). Ketiganya diplot buat posisi deputi. Adapun Mahmuddin Yasin kukuh sebagai calon Sekretaris Menteri BUMN.

Beberapa kali nama itu dikembalikan karena perombakan dinilai belum diperlukan. ”Situasi ini dijadikan kesempatan buat memangkas nama-nama yang sebelumnya diusulkan,” kata sumber di salah satu perusahaan pelat merah. Akhirnya, ”barang” yang tidak laku-laku di kantor Wakil Presiden itu dibawa ke Merdeka Utara—sebutan buat Istana Negara. Pintu masuknya lewat Menteri-Sekretaris Negara Sudi Silalahi. Susunan nama yang disodorkan juga berubah.

Yang membawa nama-nama itu para tokoh yang terafiliasi dengan Partai Demokrat. Ketua Gerakan Pro-SBY, Surato Siswodihardjo, dan anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Hadi Utomo, disebut-sebut berada di balik gerakan ini. Belakangan, nama Aulia Pohan dikaitkan dengan gerakan tadi. Julukan mereka Trio SAH—kependekan dari Suratto, Aulia, dan Hadi Utomo. ”Julukan ini santer di kalangan politikus tertentu,” kata sumber yang dekat dengan Cikeas, lokasi rumah kediaman pribadi Presiden.

Rapat Tim Penilai Akhir rampung sebelum Lebaran. Hasilnya lalu dilaporkan ke Presiden. Keputusan presiden baru keluar pertengahan September karena Presiden mendengar informasi macam-macam tentang Irnanda Laksanawan. ”Dia mendapat catatan paling banyak dari Badan Intelijen Negara,” kata sumber di pemerintahan.

Sumber lain mengatakan Irnanda punya rekam jejak kurang bagus karena suka lobi kiri-kanan. Ia juga dikenal dekat dengan Suratto dan Hadi Utomo. Irnanda ditengarai terlibat dalam Gerakan Pro-SBY yang diketuai Suratto. Karena jaringannya yang luas, kata sumber tadi, ia bisa menjadi Komisaris Pertamina di era Menteri BUMN Sugiharto. Jabatan itu cuma bertahan tujuh bulan karena Sofyan Djalil menggantinya dengan Achmad Rochjadi, Direktur Jenderal Anggaran Departemen Keuangan saat itu.

Adapun Pandu Djayanto—adik Bambang Kesowo, Menteri-Sekretaris Negara era Presiden Megawati Sukarnoputri—dikenal dekat dengan Mustafa sejak ia menjadi Komisaris Bulog. Sedangkan Mahmuddin Yasin sudah bercokol sepuluh tahun di kementerian itu. Bersama Muchayat, ia tergabung dalam Barisan Indonesia (Barindo)—organisasi yang mendukung SBY dalam pemilihan umum tahun lalu.

Irnanda membantah pernah menjadi pengurus maupun anggota Gerakan Pro-SBY. Tapi ia mengakui mengenal Suratto dan Hadi Utomo. ”Saya banyak mengenal tokoh senior dari beragam lapisan, termasuk mereka,” katanya. Perkenalan itu buat memperoleh ilmu dan masukan dari tokoh yang lebih senior.

Sudi Silalahi menepis sinyalemen keterlibatan Demokrat dalam penyusunan nama-nama itu. ”Tidak ada titip-titipan,” kata Sudi kepada Dwi Rianto Agustiar dari Tempo.

Sayang, Aulia Pohan menolak berkomentar. Hingga Jumat pekan lalu, pesan pendek yang dikirim dan panggilan telepon tidak dijawabnya. Begitu pula dengan surat permohonan wawancara yang dilayangkan ke rumahnya. ”Pak Aulia tidak mau diwawancarai,” kata Nico Sompotan, kerabat Aulia, Jumat malam pekan lalu. Lagi pula, menurut dia, tidak mungkin Aulia terlibat dalam gerakan Trio SAH. ”Pak Aulia tidak suka berpolitik,” ucapnya. Menurut dia, Aulia belakangan ini sibuk dengan usaha bagi hasil dengan nelayan di Manado.

Setali tiga uang, Suratto dan Hadi Utomo tidak bisa dihubungi. Pertanyaan melalui pesan pendek tidak dibalas. Panggilan telepon ditolak. Hingga Sabtu sore, surat permohonan wawancara yang dikirim ke rumah Hadi Utomo belum dibalas. Jawaban datang dari Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Partai Demokrat, kata dia, tidak berminat intervensi ke wilayah birokrasi. ”Kami justru menginginkan birokrasi menjadi profesional, bersih, dan cekatan,” katanya.

Yang jelas, Mustafa kini ingin melakukan pembenahan di tingkat eselon dua guna mendukung kerja deputi baru. Namun, sumber Tempo mengatakan Mustafa ibarat memelihara dan membuka kotak pandora. ”Begitu dibuka, tidak bisa dikendalikan karena banyak orang titipan.”

Yandhrie Arvian, Agoeng Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus