Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tersengal Napas Para Pencaus

Badan Nasional Penanggulangan Bencana menghentikan sementara kerja sama pembiayaan layanan isolasi pasien Covid-19 tanpa gejala dan akomodasi tenaga kesehatan. Menyisakan tunggakan pembayaran Rp 140 miliar kepada jaringan hotel yang masih limbung terpukul pandemi.

26 Juni 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Masalah tunggakan pembayaran mengemuka di balik penghentian kerja sama layanan isolasi pasien Covid-19 tanpa gejala dan akomodasi tenaga kesehatan di hotel Ibu Kota.

  • Dua sasaran program layanan isolasi berantakan sejak awal tahun.

  • Sejumlah hotel berakrobat agar tetap bisa beroperasi.

DENGAN cekatan Ahmad Muklis meraih alat penyemprot cairan disinfektan yang terletak di sebelah lift lobi Grand Asia Hotel, Penjaringan, Jakarta Utara. Bunyi mesin itu menderu, menyebarkan cairan yang tabun-menabun di seluruh penjuru area penerimaan tamu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Belum lama sebelumnya, Kamis pagi, 24 Juni lalu, Muklis mengantarkan sejumlah paket barang ke lantai M3, area di antara lantai 5 dan 6. Manajemen Grand Asia menjadikan lantai itu sebagai zona kuning, area peralihan sebelum zona merah di lantai 6-10. Lima lantai paling atas tersebut tak bisa sembarangan dilalui lantaran dipakai untuk layanan isolasi bagi pasien Covid-19 tanpa gejala.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di awal kemunculan Covid-19, tahun lalu, Muklis menjadi salah satu pegawai yang dirumahkan karena Grand Asia berhenti beroperasi akibat lesunya bisnis perhotelan pada masa pandemi. Belakangan, mulai September 2020, pria 48 tahun ini kembali dipekerjakan. Grand Asia menjadi salah satu hotel penyelenggara layanan isolasi dan penginapan tenaga medis yang biayanya ditanggung pemerintah.

Sejak saat itu pula Muklis, yang semula menjabat kepala gudang, kudu merangkap tugas di bagian penerimaan tamu. Dia bisa pulang ke rumahnya di Jakarta Timur hanya sekali dalam tiga bulan “Semenjak kembali buka layanan, hanya ada 20-an orang yang kembali bekerja,” kata Muklis.  

Hari itu, sebanyak 92 kamar di lantai 6-10 Grand Asia Hotel telah terisi oleh tamu isolasi mandiri. Disebut mandiri lantaran layanan karantina hotel tak lagi dibiayai pemerintah. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), yang membiayai program ini, menyetop untuk sementara waktu kerja sama layanan isolasi di hotel sejak 15 Juni lalu.

Muklis mengaku cemas mendengar kabar itu. Dia khawatir Grand Asia kembali limbung. Di kepala Muklis, bayangan tak punya pekerjaan seperti yang dialaminya tahun lalu jauh lebih mengerikan ketimbang tugasnya yang kini berisiko. “Ngeri, tapi lebih ngeri enggak ada pekerjaan kalau kayak gini. Alhamdulillah, sampai sekarang saya belum pernah positif,” tuturnya.

Tamu hotel melakukan check in untuk menjalani isolasi mandiri di Hotel Grand Asia, Jakarta, 25 Juni 2021. TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Beruntung, manajemen Grand Asia punya sederet rencana cadangan. Berbekal sertifikat standar kebersihan, kesehatan, keamanan, dan kelestarian lingkungan (CHSE), Grand Asia melanjutkan layanan isolasi mandiri. Tamu yang hendak menjalani isolasi dikenai tarif paling rendah sekitar Rp 600 ribu per hari. “Ada orang saat diisolasi ingin cari kenyamanan, makanya tak ada masalah kalau harus membayar sendiri,” ujar Tri Nugroho, Manajer Operasional Grand Asia Hotel.

Penghentian kerja sama layanan karantina di hotel juga memaksa Vivien Tan putar otak. Direktur Operasional Hotel Triniti itu sedang menyiapkan sejumlah strategi baru agar hotelnya yang terletak di Petojo Utara, Gambir, Jakarta Pusat, tak kembali merumahkan pegawai seperti tahun lalu.

Beban Vivien lebih berat. Pasalnya, meski menjadi bagian dari 31 hotel penyedia layanan isolasi dan karantina di DKI Jakarta, Triniti selama ini tak bisa menerima tamu pasien tanpa gejala lantaran ditolak oleh warga sekitar hotel. Walhasil, hotel bintang tiga itu praktis hanya mengandalkan layanan penginapan untuk tenaga kesehatan.

Masalah bertambah lantaran penghentian kerja sama dengan BNPB juga menyisakan tunggakan pembayaran kepada hotel-hotel penyedia layanan. Seretnya pembayaran sejak Februari lalu menyebabkan manajemen hotel kalang kabut menghadapi persoalan lain: tumpukan tagihan dari para pemasok berbagai kebutuhan operasional bisnis perhotelan. “Sekarang perlahan utangnya mulai dicicil dan segera lunas,” ucap Vivien.

•••

MULANYA, pembiayaan untuk penyediaan layanan isolasi pasien tanpa gejala dan akomodasi tenaga kesehatan bergulir pada September 2020 di bawah kendali Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Disokong Satuan Tugas Penanganan Covid-19, program ini dirancang untuk menjawab dua masalah sekaligus: terbatasnya kapasitas rumah sakit dan ambruknya bisnis perhotelan yang terpukul pandemi.

Badan Pusat Statistik mencatat, hingga April 2020 atau sebulan setelah kasus Covid-19 pertama kali teridentifikasi masuk ke Indonesia, tingkat keterisian kamar di hotel kelas bintang jeblok, rata-rata tinggal 49 persen. Pada periode yang sama, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mengungkapkan 1.642 hotel berhenti beroperasi.  

Dalam pengelolaan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), program pembiayaan dimulai di sembilan provinsi dengan angka kasus positif Covid-19 paling tinggi. Di Jawa, DKI Jakarta menjadi salah satu lokasi sasaran bersama Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Merujuk pada keterangan Wishnutama, Menteri Pariwisata saat itu, pemerintah menyediakan anggaran sekitar Rp 100 miliar.

Baru berjalan sekitar tiga bulan, program tersebut berhenti sementara mengikuti tutup anggaran tahun berjalan. Pada masa itulah sejumlah hotel yang terlibat dalam program tersebut beralih ke kegiatan serupa yang didanai Badan Nasional Penanggulangan Bencana, yang bekerja sama dengan Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf) DKI Jakarta.

Dalam program pembiayaan BNPB ini ada menu tambahan berupa makanan ringan yang melengkapi penyediaan makanan utama tiga kali sehari. Selebihnya, layanan isolasi pasien tanpa gejala dan akomodasi tenaga medis yang tersedia sama seperti sebelumnya, meliputi penyediaan kamar, jasa penatu, serta tim tenaga kesehatan.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mencoba suling Bali saat mengunjungi pameran kerajinan di Taman Budaya Bali, Denpasar, Bali, 12 Juni 2021. Johannes P. Christo

Kepada Tempo, Sandiaga Salahuddin Uno, Menteri Pariwisata yang baru diangkat sebagai pengganti Wishnutama pada akhir Desember 2020, menyatakan ia mendapat informasi tentang berlanjutnya program pembiayaan di bawah naungan BNPB pada 30 Januari lalu. Informasi ini ia peroleh ketika mengikuti rapat lintas sektor yang dikoordinasi Kementerian Kesehatan. “Terinfo BNPB dan Disparekraf DKI melanjutkan dukungan akomodasi hotel yang sebelumnya bekerja sama dengan Kemenparekraf,” kata Sandiaga, Sabtu, 26 Juni lalu.

Tak ingin tumpang-tindih, pemerintah memutuskan pembiayaan dari Kementerian Pariwisata dialihkan untuk penyediaan layanan penginapan tenaga medis dari sembilan rumah sakit di sepuluh hotel lain di Jakarta dan Bali. Program yang dimulai pada Maret lalu ini menggunakan anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional senilai Rp 59,2 miliar yang dikelola Kedeputian Bidang Pemasaran serta Kedeputian Bidang Pengembangan dan Infrastruktur Kementerian Pariwisata.

Belakangan, pelaksanaan layanan isolasi di hotel yang digelar BNPB dan Dinas Pariwisata DKI Jakarta malah bermasalah. Sejak Februari lalu, pembayaran kepada sejumlah hotel mulai seret.

Kasak-kusuk di antara pengelola 31 hotel penyedia layanan pun memuncak pada 20 Mei lalu. Kala itu, Kepala Suku Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Jakarta Timur Rus Suharto mengabarkan bahwa hasil rapat pemerintah pada hari itu memutuskan program yang selama ini dibiayai menggunakan dana siap pakai BNPB akan dihentikan. Rus adalah pejabat pembuat komitmen penyediaan hotel isolasi orang tanpa gejala dan akomodasi tenaga kesehatan. “Langsung info hasil rapat ke Dinas Kesehatan DKI dan grup WhatsApp penyedia hotel,” tutur Rus, membenarkan.

Rus tak merinci detail rapat 20 Mei itu. Yang jelas, dia mengungkapkan, pertemuan dihadiri perwakilan sejumlah kementerian dan lembaga, juga pemerintah daerah.

Kepala Bidang Komunikasi Publik Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Hery Triyanto menyebutkan masalah tunggakan BNPB kepada hotel penyedia layanan isolasi juga dibahas dalam pertemuan tersebut. Tagihan atas penggunaan kamar hotel sebagai fasilitas isolasi pasien tanpa gejala dan akomodasi tenaga kesehatan akan diverifikasi oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dulu.

Kepastian penghentian kerja sama penyediaan layanan pencaus datang sepekan berikutnya. Lewat aplikasi Zoom, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggelar pertemuan dengan perwakilan hotel. Berlangsung sekitar dua jam, 27 Mei lalu, persamuhan beragendakan evaluasi dan tindak lanjut kerja sama hotel isolasi itu berakhir dengan hasil yang membuat masygul para pengelola hotel.  

BNPB memutuskan menghentikan sementara layanan isolasi pasien tanpa gejala dan akomodasi tenaga kesehatan di hotel-hotel Ibu Kota terhitung mulai 15 Juni 2021. Kerja sama pembiayaan pemerintah berakhir lantaran alokasi dana siap pakai BNPB belum tersedia. Kepada awak media, 8 Juni lalu, pelaksana tugas Deputi Bidang Penanganan Darurat BNPB, Dody Ruswandi, mengungkapkan nilai biaya karantina di DKI yang belum terbayarkan mencapai Rp 140 miliar dari total tagihan sekitar Rp 200 miliar.

•••

BEBAN berat kini dihadapi manajemen hotel penyedia layanan isolasi hasil kerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Meski tak seberapa nilainya dibanding dalam kondisi normal, program karantina yang digagas pemerintah selama ini cukup mampu mendongkrak tingkat okupansi kamar yang jeblok di masa pandemi. Mereka kudu mencari peruntungan lain agar penghentian sementara kerja sama dengan pemerintah tak membuat roda bisnis kembali berhenti.

Grand Asia Hotel memilih melanjutkan layanan isolasi ketimbang memaksakan diri beroperasi normal. “Siapa yang mau nginep di hotel bekas isolasi?” kata Manajer Operasional Grand Asia Hotel Tri Nugroho. Karena itu, manajemen Grand Asia langsung tancap gas mencari peluang kerja sama dengan sejumlah perusahaan untuk penyediaan fasilitas isolasi bagi karyawan.

Beruntung, sehari sejak fasilitas isolasi dengan pembiayaan BNPB berhenti, tawaran kerja sama justru datang dari Samsung dan Honda Prospect Motor. Rumah Sakit Premier Bintaro di Tangerang Selatan, Banten, dan Rumah Sakit Port Medical Center di Jakarta juga menggandeng hotel ini sebagai mitra rujukan isolasi pasien tanpa gejala sejak 10 Juni lalu.

Lain cerita dengan Hotel Triniti, yang selama ini hanya bisa melayani penginapan untuk tenaga medis. Menurut Direktur Operasional Hotel Triniti Vivien Tan, hotelnya kini sedang mencoba peruntungan baru dengan mendaftarkan diri lewat Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia untuk menjadi penyedia layanan isolasi repatriasi atau bagi orang yang baru tiba dari perjalanan luar daerah atau luar negeri sehingga perlu menjalani prosedur karantina. Dalam urusan ini, Vivien menambahkan, Hotel Triniti juga sedang menjajaki kerja sama dengan beberapa perusahaan untuk memfasilitasi karantina pegawai seusai perjalanan dinas. “Ada dua-tiga perusahaan yang sedang dicoba diajak kerja sama,” tutur Vivien tanpa menyebutkan detailnya.

Penghentian kerja sama pembiayaan BNPB juga memaksa pemerintah DKI Jakarta memastikan ketersediaan pengganti fasilitas hotel untuk isolasi pasien tanpa gejala dan akomodasi tenaga medis. Pasalnya, masalah ini muncul hampir berbarengan dengan lonjakan angka kasus positif Covid-19 yang terjadi seusai masa libur Lebaran 2021, pertengahan Mei lalu.

Akhir Mei lalu, Gubernur DKI Anies Baswedan menerbitkan Surat Keputusan Nomor 675 Tahun 2021 tentang Lokasi Isolasi Terkendali Milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam Rangka Penanganan Covid-19. Kebijakan ini berisi rencana penyediaan tempat karantina komunal yang secara bertahap ditargetkan dapat menampung sebanyak total 8.249 pasien Covid-19 tanpa gejala dan 835 tenaga medis.

AISHA SHAIDRA, RETNO SULISTYOWATI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Aisha Shaidra

Aisha Shaidra

Bergabung di Tempo sejak April 2013. Menulis gaya hidup dan tokoh untuk Koran Tempo dan Tempo.co. Kini, meliput isu ekonomi dan bisnis di majalah Tempo. Bagian dari tim penulis liputan “Jalan Pedang Dai Kampung” yang meraih penghargaan Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020. Lulusan Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus