Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Permintaan upacara pembakaran jenazah secara Hindu Bali atau ngaben di krematorium modern terus meningkat.
Biaya pelaksanaan ngaben di krematorium mencapai belasan hingga puluhan juta rupiah.
Ngaben di krematorium dianggap lebih praktis dan murah daripada ngaben secara tradisional.
DENPASAR – Beberapa orang tampak lalu lalang di sebuah rumah yang berlokasi di belakang kantor Yayasan Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi di Jalan Cekomaria, Peguyangan Kangin, Denpasar. Sebagian orang di rumah itu terlihat serius membuat sarana upakara seperti banten. Upakara itu dipersiapkan untuk ritual ngaben di rumah duka Krematorium Santha Yana. Yayasan Maha Gotra bekerja sama dengan pemilik rumah itu mengelola krematorium tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain tempat membuat upakara, di rumah yang memiliki halaman cukup luas dan memiliki satu bangunan mirip vila ini terdapat lokasi pendaftaran ritual ngaben. Ada satu ruangan mirip kantor. Tempo melihat tiga orang bergantian masuk ke ruangan itu. “Pemilik rumah ini namanya Jro Mangku Alit,” kata Sherli, 30 tahun, pegawai di rumah tersebut, kepada Tempo, beberapa waktu lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama masa pandemi, jumlah masyarakat yang mendaftar untuk ritual pembakaran jenazah alias mengaben anggota keluarga mereka di Krematorium Santha Yana meningkat. Meski pendaftar terus berdatangan, Sherli menerangkan, selama masa pandemi Covid-19, jenazah yang dikremasi di sana dibatasi. Maksimal 10 jenazah pada setiap "hari baik" alias padewasan.
Krematorium Santha Yana didirikan pada 2008. Krematorium ini menjadi tempat pengabenan modern pertama di Pulau Dewata, yang sepenuhnya dikelola dengan konsep Hindu Bali. Meski saat ini jumlah masyarakat yang menggunakan jasa Krematorium Santha Yana lumayan banyak, hal tersebut tidak terjadi begitu saja. “Awalnya hanya beberapa, baru mulai ramai sekitar 2016,” kata anggota staf Yayasan Maha Gotra, Ketut Gede Surya Dharma.
Krematorium ini didirikan dengan latar belakang sebuah kasus adat yang terjadi di sebuah desa di Kabupaten Bangli, beberapa tahun lalu. Saat itu, ada jenazah seorang warga yang dibongkar paksa setelah 16 hari dimakamkan. Pembongkaran kuburan itu dilakukan karena warga menolak keberadaan sang jenazah, yang semasa hidupnya menghadapi sebuah kasus. “Dari sana, ide krematorium ini tercetus,” ujar Ketut.
Pekerja membuat alat upacara ritual di Krematorium Santha Yana, Denpasar, 1 September 2021. TEMPO/ Made Argawa
Saat ini yayasan menyediakan tiga paket upacara dengan harga berbeda-beda. Paling murah adalah ritual mekingsan ring geni, harganya Rp 8 juta. Untuk upacara ngaben ongkosnya Rp 16 juta. Sedangkan ritual ngelanus biayanya Rp 25 juta. “Rata-rata yang diminati masyarakat adalah upacara ngaben dan ngelanus,” Ketut menjelaskan.
Ketiga jenis upacara itu pada dasarnya sama-sama berupa pembakaran jenazah, tapi berbeda secara ritual dan esensinya. Pada mekingsan ring geni, umat Hindu percaya roh dititipkan sementara kepada Dewa Brahma sebelum menjalani upacara yang lebih besar, yakni ngaben, agar bisa menyatu dengan Sang Pencipta. Jeda antara mekingsan ring geni dan upacara ngaben bisa mencapai satu tahun. Adapun ritual ngelanus merupakan rangkaian upacara pembakaran jenazah yang mencakup seluruh rangkaian upacara ngaben yang diselesaikan dalam waktu sehari.
Ketut menyebutkan setiap bulan Yayasan Maha Gotra melaksanakan upacara pembakaran mayat hingga 10 kali sesuai dengan hari baik. Dalam satu hari baik, mereka bisa mengkremasi hingga 10 jenazah. Selama masa pandemi ini, mereka juga menerapkan protokol kesehatan ketat untuk mencegah penyebaran Covid-19. Yayasan membatasi hanya 15 anggota keluarga yang boleh datang ke tempat kremasi.
“Saat awal masa pandemi Covid, kami hanya mengkremasi delapan jenazah di setiap hari baik. Tapi setelah adanya penurunan level pembatasan kegiatan masyarakat, jumlahnya bertambah lagi menjadi 10 jenazah,” ujar pria berusia 34 tahun itu. Kendati meningkat, Ketut mengklaim, selama masa pandemi, yayasan tidak menerima ritual pengabenan untuk jenazah positif Covid-19.
Peningkatan pendaftaran pengabenan dengan cara modern juga terjadi di Krematorium Sagraha Mandrakantha Santhi di Desa Bebalang, Kabupaten Bangli. Sejak berdiri pada Juli 2019 hingga awal Februari 2020, sebanyak 1.300 jenazah telah dikremasi di tempat ini.
Rinciannya, pada 2019, sebanyak 274 jenazah; pada 2020, sebanyak 830 jenazah; dan pada awal 2021, sebanyak 196 jenazah. Krematorium ini juga menerima pengabenan untuk jenazah positif Covid-19. Pada 2020, Sagraha Mandrakantha Santhi mengkremasi 380 jenazah korban Covid-19.
“Hingga awal November 2021, kami sudah mengkremasi sekitar 600 jenazah terkonfirmasi Covid-19,” kata Ketua Yayasan Krematorium Sagraha Mandrakantha Santhi, I Nyoman Karsana, kepada Tempo, 7 Oktober lalu. Ia menerangkan, proses kremasi dengan protokol Covid-19 dilakukan sesuai dengan rekomendasi pihak rumah sakit atau permintaan keluarga. “Walau tidak ada rekomendasi rumah sakit, kremasi dengan prosedur Covid-19 tetap kami layani.”
Biaya ngaben di Krematorium Sagraha Mandrakantha Santhi sebesar Rp 15 juta untuk upacara ritual tergolong kecil atau alit, lalu Rp 19 juta untuk upacara tingkat menengah, dan Rp 25 juta untuk tingkatan utama. “Untuk jenazah korban Covid-19 ada tambahan untuk membeli baju APD sebanyak 9 item dengan harga Rp 200 ribu,” ujar Karsana.
Karsana enggan membeberkan data jenazah korban Covid-19 yang sudah dikremasi di Sagraha Mandrakatha Santhi. Sebab, kata dia, pasti jumlahnya berbeda dengan data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 di Provinsi Bali. “Nanti malah menjadi bumerang karena data berbeda,” ujarnya.
Hal serupa diungkapkan petugas administrasi Krematorium Kerta Semadhi, Yuli, 49 tahun. Pada awal virus corona merebak di Bali, Kerta Semadhi banyak menerima permintaan keluarga korban agar mengkremasi dengan protokol Covid-19. “Meski belum ada surat pernyataan dari rumah sakit,” ujarnya. Rata-rata keluarga ingin segera melakukan kremasi agar tidak menambah biaya penitipan jenazah di rumah sakit.
Biaya kremasi di Krematorium Kerta Semadhi sebesar Rp 5 juta per satu jenazah. Adapun untuk penerapan protokol Covid-19, pihak keluarga diminta menyediakan alat pelindung diri bagi petugas krematorium. “Di tempat kami, 80 persen jenazah berasal dari Denpasar,” ujar Yuli. Hingga Oktober 2021, Krematorium Kerta Semadhi telah mengkremasi 357 jenazah korban Covid-19. Jumlah kremasi korban Covid paling banyak terjadi pada Agustus lalu. Dalam sebulan, mereka membakar 61 jenazah korban Covid.
Patung lembu berisi jenazah dibakar saat upacara Ngaben di Ubud, Gianyar, Bali, 8 Mei 2016. TEMPO/Johannes P. Christo
Mengaben jenazah anggota keluarga di krematorium modern belakangan memang menjadi pilihan banyak warga Bali. Salah satu pendorongnya adalah faktor biaya. Upacara ngaben tradisional bisa menghabiskan ongkos hingga ratusan juta rupiah. Sementara itu, biaya pembakaran jenazah di krematorium hanya belasan hingga puluhan juta rupiah. Ngaben dengan konsep modern di krematorium ini, kini jadi semacam tren bisnis baru di Bali.
Sosiolog Universitas Udayana, I Gede Kamajaya, mengatakan sebetulnya keberadaan krematorium dengan konsep Hindu Bali sudah marak sebelum masa pandemi Covid-19. Kremasi menjadi pilihan karena lebih sederhana dari sisi upacara ritual dan harga yang terjangkau. “Ini pilihan rasional,” ujarnya.
Selain itu, Kamajaya berpandangan bahwa melaksanakan ngaben di krematorium merupakan modernisasi praktik adat dan beragama yang dimotori oleh kelas menengah di Bali, yang berada di tengah-tengah antara kelompok Wedaisme (pemurnian) dan kelompok pemegang tradisi.
Menurut Kamajaya, ramainya pro dan kontra ngaben di krematorium terjadi karena ada kemungkinan saat ini kebanyakan orang Bali baru sempat memperhatikan soal agama dan keyakinannya. “Karena pariwisata tidak jalan, jadinya fokus ke hal lain. Salah satunya soal krematorium,” ujarnya.
Peneliti dari LaporCovid-19, Iqbal Elyazar, menilai Bali perlu mengembangkan sistem administrasi kematian. Kematian dan kelahiran sama pentingnya sebagai peristiwa kependudukan sehingga pelaporan dan pencatatan diatur oleh undang-undang. “Saya pikir pandemi mengajarkan bahwa kejadian kematian adalah hal penting sebagai ukuran dampak pandemi atau bencana. Kematian bukanlah aib,” ujarnya.
Adanya praktik menyembunyikan angka kremasi dan kematian, menurut Iqbal, menunjukkan belum adanya pembenahan menyeluruh. Ia menganggap perlu ada instansi khusus yang mengelola masalah ini seperti di Jakarta. “Bali seharusnya mulai membangun sistem kremasi yang lebih cerdas,” katanya.
Sementara itu, salah satu pengurus Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali Patajuh Panyarikan Agung, I Made Abdi Negara, mengatakan saat ini belum ada data pasti perihal jumlah tempat kremasi yang terdapat di Bali. “Rasanya data itu tidak ada,” ujarnya. Ia menambahkan, dulu lembaganya sempat mengeluarkan instruksi agar pembangunan krematorium dengan konsep Hindu Bali mendapatkan rekomendasi dan persetujuan lebih dulu dari pengurus desa adat setempat.
MADE ARGAWA (DENPASAR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo