Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Nilai Tukar Rupiah Anjlok, Ini Bedanya dengan Krisis 1998

Pada 1998, nilai tukar rupiah pernah menembus Rp 16.650, namun setelah itu turun lagi ke level Rp 9.000 per dolar AS.

21 Maret 2020 | 10.42 WIB

Karyawan bank mengitung uang 100 dolar amerika di Bank Mandiri Pusat, Jakarta, Selasa, 17 Maret 2020. Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Selasa, semakin tertekan dampak wabah COVID-19. Rupiah ditutup melemah 240 poin atau 1,61 persen menjadi Rp15.173 per dolar AS dari sebelumnya Rp14.933 per dolar AS. TEMPO/Tony Hartawan
Perbesar
Karyawan bank mengitung uang 100 dolar amerika di Bank Mandiri Pusat, Jakarta, Selasa, 17 Maret 2020. Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Selasa, semakin tertekan dampak wabah COVID-19. Rupiah ditutup melemah 240 poin atau 1,61 persen menjadi Rp15.173 per dolar AS dari sebelumnya Rp14.933 per dolar AS. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, kondisi perekonomian saat ini berbeda dengan krisis ekonomi yang terjadi pada 1998. Saat itu, rupiah memang menembus Rp 16.650 dan setelah itu turun lagi ke level Rp 9.000 per dolar Amerika Serikat.

"Masalahnya di 2020 ini, rupiah konsisten mengalami pelemahan meski fluktuasinya tidak separah 1998," kata Bhima saat dihubungi Tempo pada Jumat, 20 Maret 2020.

Misalnya, kata dia, dalam dua tahun posisi kurs rupiah melemah dari Rp 13.000 ke Rp 16.200 versi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate atau Jisdot Bank Indonesia. Jika depresiasi rupiah konsisten, ia menilai hal ini justru berbahaya. Artinya, kata dia, dalam jangka panjang rupiah terus melemah dan akan sulit kembali ke level Rp 13.000.

Dari sisi kompleksitas faktor, menurutnya saat ini lebih rumit dari krisis ekonomi tahun 1998. Tahun 1998 epicentrum krisis ada di Asia Tenggara, kemudian ada krisis likuiditas dan utang. Sedangkan pada 2020, faktornya lebih banyak lagi. Seperti 38,5 persen surat utang pemerintah dipegang oleh investor asing, kemudian ada perang dagang AS-Cina yang belum selesai, harga komoditas rendah artinya harga CPO, batubara dan komoditas unggulan Indonesia, dan gejolak geopolitik. "Ditambah virus corona, situasi makin gawat," Bhima menuturkan.

Dia mengingat, pada 1996 sebelum krisis moneter, pertumbuhan ekonomi masih mencapai 8 persen. Lalu tahun 1998 turun ke -13,6 persen.

Masalahnya lagi, kata dia, dalam lima tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran 5 persen. Artinya, kekuatan fundamental ekonomi dalam menahan laju krisis lebih rapuh dibandingkan 1998.

Dihubungi terpisah, ekonom Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah mengatakan, Indonesia saat ini menghadapi sebuah kondisi perlambatan ekonomi yang massif. Namun dia menilai belum akan sampai krisis seperti tahun 1997-1998.

"Wabah pandemi corona dampaknya memang sangat besar, skalanya global. Menyebabkan turunnya permintaan dan harga komoditas, dan di domestik menghancurkan hampir semua sektor," kata dia.

Situasi semakin memburuk, kata dia, karena timbul ketidakpastian. Di mana tidak ada yang bisa memprediksi kapan wabah itu berakhir. Akibatnya terjadi kepanikan disektor keuangan.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, kondisi perekonomian dan pelemahan nilai tukar rupiah saat ini berbeda dengan krisis yang terjadi pada 1998 dan 2008. Menurut dia, pelemahan terjadi di seluruh pasar uang global karena sentimen negatif dari virus Corona atau Covid-19.

"Sekarang yang terjadi adalah kepanikan seluruh pasar keuangan global, termasuk pemilik modal, karena begitu cepat merebaknya virus ke Eropa, Inggris, dengan eskalasi yang cepat," kata Perry dalam video conference usai Rapat Terbatas dengan Presiden Joko Widodo atau Jokowi, Jumat, 20 Maret 2020.

Dia mengatakan dalam kondisi ini investor dan pelaku pasar global melepas semua aset yang mereka miliki seperti saham, obligasi, emas, dijual dalam dolar. Akibatnya, di seluruh dunia terjadi permintaan dolar di pasar keuangan global.

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus