Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENTERI Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring menghabiskan sepekan lalu untuk berpamitan. Masa jabatannya di Kabinet Indonesia Bersatu II baru berakhir pada 20 Oktober nanti. Tapi politikus Partai Keadilan Sejahtera itu mesti turun dari kursi menteri lebih cepat. Terhitung 1 Oktober, dia akan disumpah sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2019.
Tak hanya berpamitan, Tifatul juga menyempatkan diri meneken Peraturan Menteri Nomor 30 Tahun 2014. Isinya penataan ulang frekuensi 800 megahertz (MHz), blok tempat beroperasi layanan code division multiple access (CDMA). Bersamaan dengan penataan ulang frekuensi 800 MHz, dia mengumumkan pembagian frekuensi televisi digital bagi sejumlah daerah.
Dari dua aturan frekuensi, yang amat menuai kontroversi adalah frekuensi 800 MHz. Saat dikonsultasikan pada awal September lalu, sejumlah praktisi industri telekomunikasi memprotes peraturan tersebut. Tindakan Tifatul memaraf peraturan pada 10 September lalu itu dianggap tergesa-gesa karena diputuskan menjelang pergantian pemerintahan.
Protes paling keras datang dari Direktur Utama PT Indosat Alexander Rusli. Dia menilai ada perbedaan mendasar antara peraturan menteri yang diteken dan konsep penataan yang disosialisasi dalam rapat-rapat sebelumnya antara operator dan pemerintah. Perbedaan itu menyangkut pita selebar 2,5 MHz yang semula akan dilelang. Ternyata, dalam peraturan menteri, pita tersebut diberikan begitu saja kepada PT Telkom Tbk. Kejanggalan itu membuat Alex meminta penataan frekuensi ditunda dulu dan dikaji lebih mendalam. "Saya berharap pemerintah baru nanti bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan," katanya kepada Tempo.
RAPAT yang dihadiri empat operator telekomunikasi CDMA itu berlangsung di lantai 2 kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, pada pekan ketiga Juli lalu. "Pertemuan itu membahas rencana penataan ulang frekuensi 800 MHz," kata seorang pejabat yang mengetahui pertemuan tersebut.
Menurunnya jumlah pelanggan CDMA beberapa tahun belakangan membuat frekuensi ini dinilai tak optimal penggunaannya. Dulu CDMA bertujuan memperbesar pasar telepon tetap. Teknologi ini kemudian tak berkembang dan jauh tertinggal dari global system for mobile communications (GSM).
Merujuk pada masukan kalangan operator, pemerintah bermaksud menata ulang frekuensi tersebut. Selama ini frekuensi 800 MHz ditempati empat operator penyelenggara layanan CDMA, yakni Telkom, Bakrie Telecom, Smartfren, dan Indosat, di pita selebar 20 MHz. Kecuali Indosat yang 2,5 MHz, masing-masing punya 5 MHz dan 2,5 MHz lagi sebagai guard band atau pagar antar-operator.
Dua operator, yakni Indosat, yang punya layanan StarOne, dan Telkom dengan layanan Flexi, memutuskan mengubah layanan mereka dari CDMA menjadi GSM. Pengguna Flexi, yang pada 2013 mencapai 15 juta pelanggan, melorot jauh menjadi 4 juta pada semester pertama 2014. Adapun StarOne hanya menyisakan 120 ribu pelanggan pada kuartal pertama tahun ini. Dengan kondisi seperti itu, bisnis CDMA tak bisa lagi dipertahankan.
Indosat lantas mengajukan permintaan mengubah layanan CDMA ke GSM. Menurut rencana, ini nanti digabungkan dengan frekuensi GSM yang sudah mereka punyai. Perusahaan yang dimiliki oleh Ooredoo Qatar itu cukup beruntung karena frekuensi CDMA-nya bersebelahan dengan frekuensi GSM.
Yang agak rumit adalah frekuensi CDMA milik Telkom. Karena ingin mengubah layanan ke GSM, Telkom—yang sebelumnya bertetangga dengan Bakrie Telecom—harus bertukar tempat dengan Smartfren, yang bersebelahan dengan Indosat. Karena sama-sama GSM, kaveling Indosat dan Telkom akan bertetangga. Demikian pula Bakrie Telecom dan Smartfren, akan bersisian dan tetap bertahan di layanan CDMA.
Perpindahan kaveling ini tak mengubah lebar pita frekuensi tiap operator. Termasuk Telkom, yang punya 5 MHz, setelah pindah akan tetap punya 5 MHz. Demikian pula Smartfren, yang bertukar tempat dengan Telkom, tetap memiliki 5 MHz. Rapat di Kementerian Komunikasi pada akhir Juli itu bersepakat mempertahankan alokasi pita frekuensi, tanpa ada perubahan atau penambahan.
Adapun sisa frekuensi sebesar 2,5 MHz, menurut nota dinas menteri yang salinannya diperoleh Tempo, akan ditetapkan melalui proses lelang. Disebutkan dalam nota tersebut, kaveling frekuensi ini akan digunakan untuk mengembangkan komunikasi seluler di daerah pelosok. Untuk itu, Kementerian akan membentuk tim yang bertanggung jawab melakukan beauty contest.
Sebenarnya tiga operator lain—Bakrie, Smartfren, dan Indosat—ingin agar frekuensi 2,5 MHz tak dilelang. Menurut mereka, akan lebih baik bila frekuensi tersebut dijadikan guard band atau koridor yang letaknya di antara Bakrie, yang masih menggunakan teknologi CDMA, dan Telkom, yang akan beralih ke GSM. Koridor itu berfungsi agar tak terjadi interferensi atau gangguan sinyal antar-operator.
Menurut pejabat tadi, sesudah rapat pada akhir Juli itu, pemerintah dan kalangan operator telekomunikasi kembali bertemu. Tiga kali rapat digelar untuk mematangkan penataan frekuensi 800 MHz. "Terakhir, pada 1 September lalu, di Hotel Alila Jakarta, pemerintah tetap berpendapat bahwa 2,5 MHz itu akan dilelang," katanya.
Tiba-tiba, keesokan harinya, pada 2 September, Kementerian mengumumkan konsultasi publik rancangan Peraturan Menteri tentang Penataan Frekuensi 800 MHz. Isinya mengejutkan kalangan operator karena muatannya jauh berbeda dengan yang telah disosialisasi selama ini. Dalam rancangan itu, pemerintah memutuskan memberikan 2,5 MHz kepada Telkom. Itu artinya lebar frekuensi Telkom bertambah menjadi 7,5 MHz, tanpa ada guard band antara Telkom dan Bakrie.
Tifatul membantah anggapan bahwa keputusannya menata frekuensi 800 MHz dilakukan terburu-buru pada akhir masa jabatannya. Sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika, kata dia, saban hari pekerjaannya mengurusi frekuensi. "Bukan lima tahun atau setahun sekali, saya tiap hari tanda tangan pengurusan izin frekuensi," ujarnya. "Segini," ucapnya sambil melebarkan kedua tangan.
Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Muhammad Budi Setiawan membantah kabar bahwa sisa frekuensi 2,5 MHz itu akan dilelang. Yang benar, frekuensi itu akan digunakan untuk membangun komunikasi seluler di daerah pelosok. "Itu kewenangan menteri membuat alokasi," katanya. "Jadi tidak disebut akan dilelang."
Karena itulah alokasi 2,5 MHz diberikan kepada Telkom, yang lewat anak perusahaannya, Telkomsel, dinilai terbukti membangun jaringan di daerah rural. Di sinilah, kata Budi, nilai lebih Telkom dibanding yang lain. "Kalaupun ada beauty contest, kecantikan dia di situ karena yang lain tidak membangun," ujarnya.
Menurut Budi, tak perlu dilakukan kontes-kontesan karena kecantikan Telkomsel sudah jelas. "Sudah zahir bisa dilihat," katanya. Dia mencontohkan sinyal Telkomsel yang masih bisa ditangkap di Papua pada saat sinyal operator lain menghilang. Dua operator besar, Indosat dan XL, masih berkonsentrasi di wilayah perkotaan. "Indosat bahkan sudah tak pernah membangun lagi," katanya.
Vice President Public Relations Telkom Arif Prabowo mengatakan wajar bila Telkom mendapat tambahan 2,5 MHz, mengingat jumlah pelanggan Telkomsel kini mencapai 135 juta. "Market share kami terbesar. Jadi wajar bila mendapat tambahan." Nantinya, kata dia, 5 juta pelanggan Flexi akan dipindahkan ke Telkomsel. "Prosesnya sudah kami mulai."
Apa pendapat Budi tentang keinginan operator yang meminta ada guard band di antara Bakrie dan Telkom? Menurut dia, hal itu terjadi karena mereka masih menggunakan pola pikir lama. Dengan penerapan teknologi netral pada frekuensi 800 MHz yang bisa diterapkan untuk teknologi 4G dan LTE, kata Budi, "Tidak relevan lagi berbicara guard band."
Pernyataan Budi disanggah Alexander Rusli. Menurut dia, justru karena teknologi netral, operator bisa menerapkan teknologi apa pun. Karena itu, diperlukan guard band. Ini tecermin dari Bakrie dan Smartfren yang masih tetap menggunakan CDMA.
Alex khawatir sinyal Esia milik Bakrie Telecom yang bersifat uplink, dari perangkat ke base station, akan mengganggu sinyal milik Indosat yang bersifat downlink, dari base station ke perangkat. Uplink mempunyai kekuatan sinyal yang lebih kuat dibanding downlink. Untuk mengatasi adanya kemungkinan gangguan sinyal itu, kata Budi, pemerintah akan menyerahkan kepada tiap operator untuk berkoordinasi agar tak terjadi interferensi sinyal.
Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi punya argumentasi lain. Dia menegaskan, alasan pemerintah memberikan 2,5 MHz kepada Telkom adalah karena terbukti pengembangan daerah rural tak bisa diterima. Bekas anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia itu menuturkan kepada Tempo bahwa Telkom pernah mengembalikan beberapa zona di frekuensi 2,3 GHz kepada pemerintah. "Frekuensi itu tak mereka gunakan," katanya.
Karena itu, menurut Heru, tak ada relevansi antara pemberian frekuensi dan pengembangan daerah rural. Arif Prabowo mengatakan Telkom memang pernah mengembalikan beberapa zona di frekuensi 2,3 GHz. "Saat itu rencananya untuk teknologi WiMAX, tapi kemudian tidak jadi sehingga kami kembalikan," katanya.
Adapun Heru mempertanyakan isi peraturan menteri yang tak sesuai dengan sosialisasi yang sudah dilakukan. "Isi peraturan berubah pada menit terakhir," ujarnya. Dia berharap pemerintah segera merevisi peraturan menteri tersebut. Kalau tidak, dia meminta menteri yang baru nanti bisa merevisi atau membatalkan peraturan ini.
Budi tak menampik kemungkinan peraturan yang diteken Tifatul kelak berakhir dengan revisi. "Bisa saja diubah oleh menteri yang baru," ucapnya.
Iqbal Muhtarom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo