Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Komite Aksi Transportasi Online (KATO) mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Umum. Hal ini dilakukan lantaran para pengemudi ojek sepeda motor merasa minim perlindungan dan kepastian hukum dibanding pengemudi taksi online. "Mayoritas mitra adalah ojek online, tapi justru aturan hukumnya paling bolong," kata Sekretaris Jenderal KATO, Yudi Arianto, di gedung Mahkamah Konstitusi, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KATO mengajukan tiga tuntutan. Pertama, mendesak perusahaan aplikasi transportasi online memberlakukan mitra layaknya karyawan dengan kontrak sah sebagai tenaga kerja. Menurut Yudi, kepastian status mitra pengemudi tersebut bisa terlaksana jika tuntutan utama menjadikan ojek sepeda motor sebagai transportasi legal bisa dipenuhi terlebih dulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kedua, KATO, yang juga didukung oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), menuntut perusahaan transportasi online mau menanggung perlindungan sosial para mitra pengemudi. Selama ini, kata Yudi, para pengemudi harus menanggung asuransi kesehatan secara mandiri sehingga pendapatannya tergerus. Tuntutan ketiga adalah legalisasi angkutan sepeda motor, yang belum diatur dalam Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Umum.
Laporan para mitra pengemudi ke Mahkamah Konstitusi ini menambah panjang deretan polemik transportasi online. Sebelumnya, para pengemudi ojek juga berunjuk rasa menuntut kenaikan tarif di tengah ketatnya persaingan.
Direktur Jenderal Per-hubungan Darat Kementerian Perhubungan, Budi Setiyadi, menyerahkan semua keputusan kepada Mahkamah Konstitusi dan perusahaan penyedia aplikasi. Menurut dia, pemerintah tak menginisiasi lebih dalu ataupun mengkaji upaya untuk melegalkan ojek sepeda motor sebagai transportasi umum. Alasannya, ojek sepeda motor tak memenuhi standar keamanan angkutan orang dan barang.
Karena itu, Kementerian Perhubungan lebih memilih berfokus mengatur taksi online. Peraturan Menteri Nomor 108 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek sedang disempurnakan. "Selain kenyamanan, keamanan jadi pertimbangan kami," kata Budi.
Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, mendukung kebijakan pemerintah yang tak mendukung legalitas ojek. Menurut dia, ojek lebih memiliki risiko terhadap keselamatan penumpang ketimbang mobil berupa taksi. "Kalau sudah terlanjut dibutuhkan masyarakat, pemerintah bisa memacu pembangunan moda transportasi umum massal saja," ujar Tulus.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan mendukung penuh semua pembenahan perizinan dan pengawasan aplikator transportasi online. Meski nanti tak perlu lagi mengurus perizinan di lembaganya, menurut Rudi, hal itu sudah wajar lantaran penerapan teknologi informasi canggih seperti yang dilakukan Go-Jek dan Grab akan menyentuh semua sektor. "Saya sudah usulkan ini sejak 2016, tapi kalau online disamakan dengan yang konvensional tentu pada tidak mau karena model bisnisnya berbeda sekali," ujarnya. LANI DIANA | ANDI IBNU
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo