Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
OJK menargetkan aturan penetapan penyelenggara bursa karbon selesai pada Juni 2023.
Pemilihan penyelenggara bursa karbon diharapkan terbuka.
BEI bersiap mewadahi perdagangan karbon.
JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menargetkan perdagangan perdana di bursa karbon Indonesia terlaksana pada September mendatang. Untuk mewujudkannya, Otoritas akan menentukan penyelenggara bursa karbon dalam waktu dekat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama ini, OJK membuka dua opsi penyelenggara pasar karbon. Salah satunya menugasi PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mewadahi perdagangan karbon. Opsi lainnya, membentuk entitas baru yang khusus mengurus perdagangan komoditas tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika dimintai konfirmasi mengenai pilihan akhirnya, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan belum ada keputusan bulat. "Peraturan OJK (mengenai proses penetapan penyelenggara bursa karbon) masih difinalkan," ujarnya singkat kepada Tempo, kemarin. Dia berjanji aturan main itu bakal terbit pada Juni mendatang.
Kehadiran bursa karbon ini penting untuk mewadahi perdagangan izin emisi hingga kredit karbon di dalam negeri. Pemerintah mengebut pembentukannya karena Indonesia memiliki potensi ekonomi karbon yang tinggi, khususnya dari hutan dan mangrove yang tersebar di dalam negeri.
Selama ini, karbon tersebut diperjualbelikan di bursa di luar negeri. "Jangan negara tetangga yang tidak mempunyai penghasil karbon, tapi dia membuka bursa karbon," kata Menteri Investasi Bahlil Lahadalia seusai rapat bersama Presiden Joko Widodo membahas kebijakan perdagangan karbon, 3 Mei lalu.
PLTU Suralaya di Suralaya, Cilegon, Banten, Jawa Barat. TEMPO/Dasril Roszandi
Pemilihan Diharapkan Terbuka
Mengingat peran bursa karbon yang krusial, anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Misbakhun, berharap OJK menentukan standar tinggi untuk penyelenggara bursa. "Untuk menumbuhkan rasa kepercayaan karena itu kunci dalam perdagangan," ucapnya. Dia mengingatkan bahwa pertarungan untuk menarik minat investor masuk ke bursa karbon bakal sengit karena saat ini beragam pasar telah tersedia.
Selain itu, Misbakhun meminta OJK mengadakan pemilihan terbuka lewat proses lelang. Ia tak terlalu sreg jika Otoritas memberikan kewenangan langsung kepada BEI sebagai penyelenggara bursa karbon. Menurut dia, perdagangan efek dan perdagangan karbon merupakan hal yang berbeda. Dia ragu akan kompetensi perusahaan yang mewadahi perdagangan saham tersebut.
Pendapat serupa diutarakan Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira. Dia menyarankan OJK tidak menunjuk langsung BEI sebagai penyelenggara bursa karbon. Idealnya, Otoritas mengadakan pemilihan terbuka dengan kriteria ketat.
Selain untuk menghindari perlakuan istimewa, penunjukan langsung akan menutup peluang tumbuhnya pasar lain. Bhima mengibaratkan bursa karbon beroperasi seperti lokapasar yang mempertemukan penjual dan pembeli. "Seharusnya beragam institusi bisa ikut serta, dari e-commerce, perusahaan teknologi, sampai koperasi, selama sesuai dengan kriteria," ujarnya.
Alasan lainnya berkaitan dengan praktik perdagangan karbon di negara lain. Bhima mencatat bursa karbon yang telah berdiri saat ini dikelola entitas yang terpisah dengan bursa efek. Di Singapura, misalnya, perdagangan efek digelar Singapore Stock Exchange, sementara bursa karbon mereka dijalankan Climate Impact Exchange dan Air Carbon Exchange. Di Inggris, penyelenggaranya pun berbeda. London Stock Exchange bertanggung jawab atas bursa efek, sementara Carbon Trade Exchange mewadahi jual-beli karbon.
Namun co-founder Indonesia Research Institute for Decarbonization, Paul Butarbutar, menilai BEI memiliki cukup kompetensi untuk menyelenggarakan bursa karbon jika terpilih nanti. "(Volume dan nilai) transaksi harian di BEI sudah besar sekali," katanya. Perusahaan tersebut berpengalaman mengelola pasar.
Dia mengakui adanya perbedaan mekanisme perdagangan antara efek dan karbon. Namun dalam tubuh BEI terdapat sistem penyelenggara pasar alternatif yang, menurut Paul, merupakan landasan perusahaan untuk mengatur perdagangan karbon. "Sama seperti di Malaysia, bursa karbon mereka yang baru diluncurkan berada di bawah bursa efek," ujarnya.
Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Paiton di Probolinggo, Jawa Timur. Dok. TEMPO/Marifka Wahyu Hidayat
BEI Menyiapkan Dua Mekanisme Pasar
Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia, Jeffrey Hendrik, mengatakan hingga saat ini belum ada penunjukan resmi terhadap perusahaan untuk menjadi penyelenggara bursa karbon. Namun, meski belum ada kepastian, BEI tak ingin melewatkan kesempatan untuk mempersiapkan diri.
Dia mengaku perusahaan telah melakukan banyak pengkajian ihwal perdagangan karbon. "Kami merujuk ke bursa karbon yang sudah beroperasi ataupun yang dalam tahap persiapan," tuturnya saat dihubungi, kemarin.
Saat perdagangan karbon antar-pembangkit listrik tenaga uap batu bara terbatas diluncurkan pada Februari lalu, BEI sempat menjabarkan skema perdagangan karbon yang mereka rancang.
Kepala Divisi Pengembangan Bisnis BEI, Ignatius Denny Wicaksono, menjelaskan bahwa perusahaan menyiapkan dua mekanisme pasar. Pertama, perdagangan karbon untuk satu sektor tertentu. Misalnya, khusus penjualan karbon untuk PLTU saja. Mekanisme lainnya bersifat terbuka atau bisa diakses pelaku pasar yang lebih luas.
BEI nantinya memiliki empat jenis perdagangan. Bentuk yang pertama serupa dengan perdagangan di bursa saham. Sedangkan jenis lainnya berupa lelang dengan harga yang dikontrol pemerintah serta negosiasi langsung antara pembeli dan penjual. Opsi terakhir adalah perdagangan lewat lokapasar. "Ini untuk proyek-proyek berskala besar yang sifatnya mungkin tidak ingin disamakan dengan proyek yang sudah ada," ujarnya.
VINDRY FLORENTIN | MOH. KHORY ALFARIZI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo