Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
OJK mengkaji usulan Jokowi untuk memperpanjang program restrukturisasi kredit.
Masih banyak sektor industri yang belum pulih sepenuhnya.
Perpanjangan restrukturisasi kredit akan menurunkan kinerja perbankan.
JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan mengkaji usulan Presiden Joko Widodo memperpanjang kebijakan restrukturisasi kredit tanpa batas waktu selama pandemi Covid-19 masih berlangsung. Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso, berjanji terus mendukung upaya pemerintah untuk meningkatkan pembiayaan sektor keuangan dan mempercepat pemulihan ekonomi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Restrukturisasi kredit Covid-19 tetap kami pantau agar dapat segera pulih, termasuk perpanjangannya, agar dapat mempunyai kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi,” ujar Wimboh, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Heru Kristiyana, menyebutkan, OJK tengah mengevaluasi kebijakan restrukturisasi, termasuk untuk mengantisipasi normalisasi kebijakan pasca-pandemi. Menurut dia, kebijakan restrukturisasi selama ini telah direspons industri perbankan dengan sangat baik, di mana restrukturisasi yang dilakukan diikuti dengan pembentukan cadangan yang memadai.
“Sehingga kami yakin, setelah kebijakan restrukturisasi selesai atau akan diperpanjang lagi, perbankan kita akan siap,” ucap Heru.
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto berujar Presiden Jokowi meminta OJK tidak membatasi waktu penerapan restrukturisasi kredit demi mendorong penyaluran kredit dan pertumbuhan ekonomi.
“Peningkatan kredit menjadi penting, termasuk soal stimulus berupa restrukturisasi kredit bagi debitor perbankan yang diharapkan tidak perlu ada pembatasan waktu,” kata Airlangga. Adapun saat ini tenggat kebijakan restrukturisasi kredit diatur hingga 31 Maret 2023.
Aktivitas pelayanan perbankan di Bank Mandiri cabang Jakarta Sudirman, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Ihwal kesiapan untuk memperpanjang masa penerapan kebijakan restrukturisasi kredit juga disampaikan oleh perbankan nasional. Sekretaris Perusahaan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, Aestika Oryza Gunarto, menuturkan, secara umum, relaksasi kredit telah memberikan dampak positif, baik terhadap perbankan maupun para pelaku usaha yang tengah berjuang untuk menyelamatkan dan memulihkan bisnisnya akibat pandemi.
“Apabila kebijakan restrukturisasi tersebut diperpanjang, BRI siap melanjutkannya,” ujar Aestika. Terlebih, pencadangan yang dipupuk BRI senantiasa memadai untuk menekan risiko pemburukan kualitas kredit dan lonjakan rasio kredit macet atau non-performing loan (NPL). Adapun rasio NPL coverage BRI hingga akhir Desember 2021 tercatat sebesar 278,14 persen.
Senada dengan BRI, PT Bank Central Asia Tbk menyatakan komitmennya untuk mendukung kebijakan pemerintah dan regulator dalam pelaksanaan restrukturisasi kredit perbankan. Executive Vice President Secretariat & Corporate Communication BCA, Hera F. Haryn, berujar perusahaan mengkaji secara rutin kemampuan pembayaran utang debitor restrukturisasi.
Hingga Desember 2021, terdapat 10 persen dari total kredit yang merupakan kredit restrukturisasi dengan tingkat kolektibilitas 1 (lancar) atau sekitar Rp 64,9 triliun. “Tren pembayaran normal kami harapkan terus membaik, namun beberapa nasabah di sektor tertentu, seperti wisata, tekstil, dan konstruksi, butuh waktu lebih lama untuk pulih,” ucap Hera.
Sementara itu, Direktur Utama PT Bank Ina Perdana Tbk, Daniel Budirahayu, menyatakan, berdasarkan kondisi terbaru, masih banyak sektor industri yang belum bisa pulih sepenuhnya, khususnya hingga waktu relaksasi kredit berakhir pada Maret 2023.
“Alangkah baiknya apabila kebijakan relaksasi diberikan kepada perbankan yang mengenal dan mengetahui keadaan nasabah. Apalagi dampak pandemi tidak bisa disamaratakan untuk semua industri.”
Di sisi lain, usulan perpanjangan kebijakan restrukturisasi kredit tanpa batas waktu dinilai memiliki risiko yang perlu diwaspadai. Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengungkapkan penerapan usulan itu akan berdampak pada kinerja perbankan.
“Pembayaran kredit yang bisa diterima bank tertunda. Pada kondisi tertentu bahkan nilai bunga kredit yang diterima menjadi lebih kecil. Walhasil, pendapatan bank berkurang,” kata Yusuf.
Kondisi itu pulalah yang, menurut dia, menjadi salah satu alasan pertumbuhan sektor perbankan melambat dalam dua tahun terakhir. Efek bola salju lainnya adalah bank akan lebih selektif dalam menyalurkan kredit, apalagi dengan kondisi likuiditas yang terbatas.
“Dalam kondisi normal saja tidak mudah mengajukan kredit karena suku bunga kredit masih tinggi, apalagi jika suplai kredit terbatas,” ujar Yusuf. Konsekuensinya, peningkatan penyaluran kredit yang berperan mempercepat pemulihan pertumbuhan ekonomi tidak akan tercapai.
GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo