Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berupaya menyusun aturan main dan sistem yang adaptif untuk mengembangkan teknologi keuangan menjadi andalan di tengah masa pandemi Covid-19. Menurut Deputi Komisioner OJK Institute dan Keuangan Digital, Imansyah, perkembangan industri keuangan digital dibayangi risiko yang harus diwaspadai konsumen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia mencontohkan, sektor keuangan dan perbankan digital perlu proteksi yang ketat guna melindungi masyarakat dari kejahatan cyber. “Edukasi dan literasi juga menjadi fokus kami untuk meningkatkan pengetahuan terhadap inovasi digital keuangan,” ujar Imansyah dalam diskusi virtual Ngobrol Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Imansyah, kehadiran beragam platform teknologi finansial (fintech) membuat regulator harus beradaptasi dalam menyusun regulasi dan melakukan pengawasan. “Kami harus tetap akomodatif dengan membuat pedoman atau aturan main dalam inovasi tersebut, namun sesuai dengan ekspektasi publik,” ucapnya.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja menuturkan, investasi pengembangan infrastruktur digital menjadi fokus utama dalam beberapa waktu terakhir. Tak terkecuali yang berhubungan dengan perlindungan konsumen, seperti membangun pusat bantuan atau call center yang berkualitas. “Ini tidak boleh diabaikan, apalagi sekarang semuanya serba online,” kata dia.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Semuel Abrijani Pangerapan, berujar bahwa pemerintah mencoba membentengi risiko cyber, salah satunya melalui Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Saat ini, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat sudah membahas 60 persen daftar inventarisasi masalah Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. “Peraturan ini dirancang untuk menciptakan rasa nyaman dan aman bagi masyarakat untuk beraktivitas di dunia digital,” ujarnya.
Semuel memastikan substansi regulasi itu akan sangat komprehensif dalam mengatur perkara data pribadi di dunia maya. Beberapa hal yang akan tercantum dalam aturan ini antara lain mengenai sanksi penyalahgunaan data pribadi. Sanksi yang dikenakan pada pelanggaran data pribadi direncanakan berkisar Rp 1 triliun atau 4 persen dari pendapatan perusahaan tahun lalu. “Kami ingin semua pengendali data mematuhi aturan ini,” kata Semuel. Selain itu, kemungkinan sanksi lain terbuka apabila masyarakat mengajukan gugatan lantaran merasa dirugikan.
Hal lain yang juga diatur dalam aturan itu adalah mengenai batasan usia. Semuel mengatakan, nantinya data anak-anak di bawah 17 tahun harus diperlakukan seperti data spesifik dan tidak boleh diperlakukan seperti data biasa. “Pengelolaannya sangat terbatas dan tidak boleh dieksploitasi untuk usia di bawah 17 tahun. Ini seperti juga di Australia yang dibatasi di 16 tahun, karena di sana dapat SIM dan KTP di usia 16 tahun,” ujar Semuel. Mengingat urgensi kebutuhan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi kian mendesak, pemerintah dan Dewan pun berupaya segera menyelesaikannya.
Asisten Gubernur Bank Indonesia, Aida S. Budiman, menuturkan perkembangan industri teknologi, informasi, dan komunikasi diproyeksikan akan semakin pesat pada 2021, sejalan dengan upaya pemulihan ekonomi nasional. “Fenomena positif ini harus terus dijaga agar tidak kehilangan momentumnya,” ujarnya. Agar tidak berubah menjadi kontraproduktif, pemerintah harus menjaga regulasi dan ekosistem industri tetap sehat, juga memberikan stimulus tambahan jika diperlukan. Komitmen tersebut diwujudkan salah satunya melalui implementasi Peta Jalan Sistem Pembayaran Indonesia 2025. “Kami mendukung integrasi berbagai keuangan digital yang mudah, terpercaya, dan inklusif.”
GHOIDA RAHMAH
OJK: Keamanan Cyber Jadi Risiko Keuangan Digital
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo