Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CUKUP mahal biaya yang harus dikeluarkan pemerintah untuk mempertahankan swasembada beras. Tahun ini, ketika stok beras berlebih, pemerintah akan mengeluarkan ratusan miliar rupiah untuk membeli gabah petani. Belum lagi panen mendatang, yang diperkirakan jumlahnya akan sama dengan awal tahun ini. Soalnya kini, mampukah Bulog menampung hasil panen petani. Masalah itu timbul karena curah hujan yang terlalu banyak akhir tahun lalu, menyebabkan kandungan air gabah berada di atas batas 25%.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kadar gabah yang hampa juga banyak yang di atas 3%. Pendeknya, syarat untuk bisa mencapai pedoman harga dasar sering tidak terpenuhi. Karena gejala alam serta perilaku petani yang agak menyimpang terdorong suasana menjelang Lebaran harga gabah pun anjlok. Sekilo gabah di Karawang, misalnya, beberapa waktu lalu hanya dihargai Rp 180 atau lebih murah Rp 100 dari harga dasar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak hanya itu. Gabah basah ini ternyata membawa dampak berantai. KUD dan Sub-Dolog, yang membelinya, ikut menanggung kesulitan, sedangkan Bulog menolak tawaran gabah dari Dolog. Barulah setelah keluar instruksi Presiden, akhirnya Bulog bersedia membeli gabah petani, apa pun kualitasnya. Intruksi itu tak dapat tidak akan melambungkan biaya pembelian beras dan gabah. Seperti diungkapkan oleh Wakil Kepala Bulog, Beddu Amang, dalam 3-4 bulan mendatang Bulog akan membeli 1 juta ton gabah petani.
Jika dinilai dengan harga dasar terendah Rp 245 per kilogram (untuk gabah kering pungut), berarti Bulog harus menyediakan dana sekitar Rp 245 miliar. Apakah lembaga penyangga harga beras itu mampu melakukannya? ''Tidak ada masalah. Berapa pun kami mampu menyerap gabah petani,'' kata Beddu. Ia rupanya tidak main-main. Bank Indonesia telah menyediakan kredit pengadaan beras sebesar Rp 1,2 triliun.
Dari jumlah itu yang benar-benar sudah terpakai baru Rp 100 miliar, yakni untuk membeli 186 ton setara beras. Yang merisaukan ialah gara-gara persediaan gabah dan beras begitu besar, perputarannya sangat lambat. Karena produksi melimpah, dan Bulog hampir tidak melakukan operasi pasar, tambahan pasokan itu terasa sangat memberatkan. Hingga akhir bulan lalu stok gabah di Bulog mencapai 1,8 juta ton.
Jika dalam 3-4 bulan mendatang lembaga ini menyerap 1 juta ton lagi, berarti stok gabah sudah mencapai 2,8 juta ton. Berhubung Bulog jarang melakukan operasi pasar karena harga gabah selama ini stabil persediaan itu praktis menumpuk di gudang. ''Biasanya, pada akhir Maret stok kita cukup sebagai buffer stock 1 juta ton. Tapi ada kelebihan hingga 800 ribu ton,'' kata Beddu. Dalam tiga-empat tahun terakhir beras yang keluar dari gudang memang lebih besar dari jumlah yang diserap Bulog (lihat tabel).
Sementara itu jumlah beras yang disalurkan hampir tak berubah, yaitu memasok kebutuhan beras ABRI, pegawai negeri dan pegawai otonom, yang setiap tahun jumlahnya mencapai 1,7 juta ton. Biasanya, ketika Indonesia masih mengimpor beras, jumlah stok itu selalu turun-naik. Sudah bisa ditebak, dengan stok sebesar itu biaya operasional Bulog akan naik.
Untuk penyimpanan dengan cara konvensional saja menghabiskan biaya Rp 10 per kilogram. Sedangkan penyimpanan dengan cara kemas hampa udara mencapai Rp 100 per kilogram. Selain itu setiap kilogram beras masih dibebani bunga bank 16% per tahun atau Rp 120 per kilogram. Belum lagi biaya gudang, penurunan kualitas, atau susut. Memang tidak semua biaya ditanggung Bulog. Untuk memelihara persediaan berasnya, menurut Beddu, pemerintah memberikan bantuan biaya penyimpanan untuk stok di atas 500 ribu ton.
Hingga bulan lalu bantuan yang sudah dinikmati Bulog mencapai Rp 38 miliar. Tapi beban Bulog tak sendirinya menjadi ringan. Tahun lalu defisit Rp 69 miliar. Jika benar tahun ini Bulog melakukan pembelian 1 juta ton, bisa ditebak bahwa defisit itu akan terulang. Persoalannya, bagaimana Bulog menyalurkan surplus stoknya. Selain tetap mensuplai kebutuhan beras orang-orang pemerintahan, ada tiga jalan yang menurut Beddu mungkin akan ditempuh Bulog, yaitu ekspor, operasi pasar, dan menyimpannya di gudang.
Namun dari ketiga alternatif itu tak satuun yang menggembirakan. ''Ketiga-tiganya tak mengenakkan. Karena itu akan kita kombinasikan,'' kata Beddu. Bulog memang serba salah. Jika menjual ke pasar lokal, harga beras akan jatuh, dan itu merugikan petani. Soalnya, pasar lokal sudah kelebihan pasok. Sementara itu, karena harga di pasar internasional lebih murah, surplus itu pun tampaknya akan sulit dijual. Benar, hingga saat ini ekpor beras yang sudah dijanjikan kepada Bulog mencapai 200 ribu ton.
Dari jumlah tersebut 110-120 ribu ton sudah direalisasi beberapa waktu lalu ke Afrika, Sri Lanka, dan Eropa. Tapi, kalaupun dipaksakan, harga yang diterima Bulog hanya Rp 320 per kilogram (FOB). Artinya, untuk setiap kilogram lembaga ini harus merugi Rp 280. Apa boleh buat. Untuk mempertahankan swasembada pangan, pemerintah perlu mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Mungkin usul Bungaran Saragih seorang ahli ekonomi pertanian untuk mengurangi jumlah petani, perlu juga dipertimbangkan. Bambang Aji dan Diah Purnomowati
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Swasembada Itu Ternyata Mahal"