JUMLAH wisatawan meningkat, tapi bisnis hotel lesu. Mana yang benar? Kedua indikator itu benar. Dalam salah satu keterangannya, Gubernur Bali, Ida Bagus Oka, mengatakan bahwa jumlah turis yang mengunjungi Bali mencatat rekor tertinggi tahun lalu, yakni 2,5 juta orang. Tapi bahwa bisnis hotel agak lesu, itu tidak pula bisa disangkal. PHK (pemutusan hubungan kerja) terhadap sembilan karyawan Sheraton Senggigi Beach, Lombok, merupakan tanda awal. Dalam sebuah keputusan, manajemen Sheraton Senggigi bahkan akan memecat sebagian dari 240 karyawannya. Billy Sutedja, manajer personalia, tak membantah hal ini. ''Yang sudah pasti memang baru sembilan orang. Rencananya, kami akan mengurangi karyawan sebanyak 40 orang,'' tuturnya. PHK di Sheraton Lombok ternyata merupakan mata rantai dari gebrakan serupa yang sedang dilakukan jaringan hotel itu di berbagai negeri. Kantor pusatnya di Boston, AS, mencanangkan perampingan jumlah karyawan sejak Mei tahun lalu. Maka, dari 500 hotel Sheraton yang ada di 70 negara, menurut Billy, yang terkena PHK sekitar 4.000 orang. Gebrakan Sheraton itu diduga akibat kelesuan pasar karena resesi yang disebut-sebut melanda dunia. Tapi belum terdengar ada jaringan hotel lain yang mem-PHK-kan karyawannya. Pontjo Soetowo, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), mengatakan, sebaiknya kasus yang sedang melanda Sheraton ditanggapi secara hati-hati. ''Hal itu bisa saja karena hotel di suatu daerah tidak laku, atau mungkin juga karena di kantor utamanya terjadi kemunduran bisnis,'' ujar bos Hilton Indonesia ini kepada Bina Bektiati dari TEMPO. Mungkin Ponco benar, terutama kalau menilik tingkat hunian di hotel Sheraton di Lampung, Bandung, dan Senggigi, Lombok. Diakui oleh Wiwin Suyasa, seorang eksekutif Sheraton di sini, tingkat hunian Sheraton di beberapa daerah masih merugi, rata- rata di bawah target 50%. Sheraton di Lombok, contohnya. Sejak dioperasikan dua tahun silam, dengan investasi US$ 35 juta sebagian besar sahamnya dimiliki oleh Peter Sondakh dari Rajawali Group dari kapasitas 158 kamar yang ada, tingkat hunian hotel ini rata-rata 30% (hanya sekitar 40 kamar yang laku dengan harga US$ 100 per malam). Bahwa Sheraton di Lombok masih mampu bertahan, itu tentu karena dukungan dana dari jaringan satu grup yang sukses meraup laba. Sheraton Lagoon Nusa Dua Beach di Bali, misalnya. Sejak dioperasikan April 1991, dari kapasitas 276 kamar, rata-rata 70% kamar laku dengan harga US$ 165180 per malam. Sekitar 20% laba diperolehnya tiap tahun. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Umum Sheraton Lagoon, Peter Alatsas. Sebenarnya, jumlah wisatawan yang datang ke Lombok selama tiga tahun terakhir meningkat rata-rata 7% setahun. Hingga tahun 1992, jumlah turis mencapai 120 ribu orang. Namun, tingkat hunian (occupation rate)-nya turun rata-rata 7% setahun. Nah, dalam hal ini, laju pertambahan jumlah turis tidak bisa mengimbangi laju penambahan kamar hotel yang rata-rata 25% itu. Gejala serupa lebih dulu terjadi di Bali dan Yogyakarta. Di Bali, menurut data Kanwil Parpostel setempat, gejala oversupply terasa sejak awal dasawarsa ini. Dua tahun belakangan, tingkat hunian turun menjadi di bawah garis pokok 56% (1991) dan anjlok menjadi 48% sepanjang tahun 1992. Tapi kalangan perhotelan berpendapat bahwa bisnis hotel yang lesu di Pulau Dewata tak lain disebabkan oleh perencanaan pembangunan yang tidak beres. Pertumbuhan yang hanya berpusat di Sanur, Kuta, dan Nusa Dua memperkuat hal itu. Dari total 80 hotel berbintang yang ada sekarang dengan kapasitas di atas 25.000 kamar 64 hotel bercokol di tiga kawasan tersebut. Kawasan ini akan terasa lebih sesak lagi bila pembangunan 5.000 kamar segera direalisasi oleh 38 investor, yang kabarnya sudah mengantongi izin dari pemda setempat. Akibatnya, kini timbul persaingan yang tidak sehat. Perang tarif sering terjadi, sehingga pemasukan pemda dari sektor pariwisata terancam melorot. Agar keadaan tidak memburuk, Menteri Parpostel Joop Ave awal bulan lalu memerintahkan aparatnya supaya menghentikan pemberian izin hotel di Bali. Tapi Gubernur Ida Bagus Oka tidak melihat prospek yang sesuram itu. Jumlah wisatawan mencapai rekor tertinggi, maka penghentian izin hotel hanya dibatasi di Kabupaten Badung. Tujuannya, agar keuntungan dari pariwisata merata ke daerah lain. Lain halnya Yogyakarta. Daerah istimewa ini sudah tertutup untuk investasi sektor perhotelan. ''Kami tidak akan merekomendasi investasi hotel baru yang mendapat fasilitas PMDN dan PMA,'' ujar Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Yogyakarta, Pramonohadi. Ada dua alasan kuat mengapa rekomendasi tak diberikan. Pertama, banyak rencana investasi yang disetujui ada 23 hotel tapi baru 8 hotel yang dibangun. Kedua, tingkat hunian hotel di Yogyakarta cenderung menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 1990 tingkat hunian tujuh hotel berbintang rata-rata 71,23%, tahun 1991 turun menjadi 60,53%, dan tahun 1992 hanya 56,40%. Sedangkan tahun 1993 tingkat huniannya diperkirakan merosot menjadi 49%. Barangkali, prospek hotel yang suramlah yang menyebabkan tiga investor membatalkan rencana mereka, sementara tujuh lainnya menunda. Bertolak dari kenyataan itu, BKPMD Yogya seperti dikatakan Pramonohadi tidak akan memberikan rekomendasi untuk pembangunan hotel, biarpun BKPM, misalnya, mengeluarkan izin. Moebanoe Moera, Supriyanto Khafid, dan R.Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini