Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Paiton dan Setumpuk Beban PLN

PLN mencapai kesepakatan sementara dengan Paiton I. Tapi, beban keuangan PLN tetap saja tinggi. Bagaimana menguranginya?

19 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GENCATAN senjata dicapai, walau Perusahaan Listrik Ne-gara tetap saja "rugi". Ini kabar terakhir sengketa Perusahaan Listrik Negara (PLN) versus perusahaan listrik swasta PT Paiton Energy Corporation, setelah hampir tiga bulan "perang" antara keduanya berlangsung. PLN akhirnya mencapai kesepakatan sementara (interim agreement) dengan PT Paiton Energy Corporation. Tak jelas betul bagaimana isinya, tapi Dirut PLN, Kuntoro Mangkusubroto, Senin pekan lalu mengatakan bahwa dalam jangka waktu sepuluh bulan mendatang, kedua belah pihak tidak akan saling menuntut.

Kesepakatan lain, negosiasi jangka panjang disiapkan. "Ruginya" untuk PLN: perusahaan negara itu tetap punya kewajiban membeli listrik dari Paiton I, walaupun, "Hanya biaya tetap (fixed cost) yang harus dibayar," kata sumber TEMPO.

Itu berarti, sumber TEMPO itu memperkirakan, PLN harus mengeluarkan sekitar US$ 110 juta untuk sepuluh bulan ke depan. Kalau dihitung harga per kWh-nya sekitar US$ 0,057, itu masih lebih kecil dari tarif normal Paiton I, yang US$ 0,0847. Angka sumber TEMPO itu tidak dikonfirmasi oleh Kuntoro. Alasannya?

"Kerahasiaan ini bagian dari kesepakatan sementara itu," kata Kuntoro kepada Wenseslaus Manggut dari TEMPO. Dia menambahkan, PLN bisa saja membeli listrik dari Paiton I jika tarifnya masih menguntungkan pabrik setrum negara itu.

PLN rupanya tak mau "habis bensin" meladeni Paiton. Sebab, di luar urusan Paiton, banyak urusan menunggu. Di antaranya tagihan perusahaan asuransi milik pemerintah AS, The Overseas Private Investment Corporation (OPIC), sebesar US$ 220 juta. Masih ada lagi tagihan Lloyd Insurance senilai US$ 70 juta. Total dua tagihan itu kira-kira Rp 2,14 triliun. Dan PLN harus membayarnya karena telah membatalkan kontrak pembelian listrik swasta (PPA) dengan MidEnergy Corp yang membangun pembangkit di Dieng dan Patuha. Jika kas PLN tekor, OPIC meminta pemerintah Indonesia yang menanggungnya.

Beban yang sangat berat. Apalagi, pada tahun anggaran 2000, untuk membayar utang pokok dan bunga saja Indonesia harus mengeluarkan Rp 16,6 triliun. Malah, republik ini merencanakan meminta penjadwalan utang sekitar US$ 2,2 miliar. Jangan kaget kalau Menteri Keuangan Bambang Sudibyo sampai mengatakan bahwa pemerintah juga tak akan mampu membayar klaim dari OPIC tersebut. Bagaimana kalau PLN dan RI ngemplang nanti? Kepala Penerangan Kedubes AS, Karl Fritz, ketika ditanya Agus Hidayat dari TEMPO soal sanksi untuk Indonesia hanya mengatakan, "Rasanya, sih, tidak (ada)."

Untuk sepuluh bulan mendatang, PLN bisa "bernapas", tapi tetap harus membayar Paiton untuk biaya tetap produksi listrik perusahaan itu. Dan sayangnya, harga yang disepakati tim yang dipimpin Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Kwik Kian Gie itu masih lebih tinggi ketimbang tawaran Paiton I kepada tim negosiasi PLN sebelum "Tim Kwik" masuk. Pada negosiasi sebelumnya, Paiton—yang sahamnya dimiliki konsorsium Edison Mission Energy (40 persen), Mitsui & Co Ltd (32,5 persen), PT Batu Hitam Perkasa (15 persen), dan General Electric (12,5 persen)—hanya menawarkan harga sementara US$ 0,033 per kWh. Memang, Paiton I masih membebankan selisih antara harga sementara itu dan tarif normal sebagai utang PLN yang akan ditagih nanti ketika kesepakatan tetap dicapai. Tapi, dengan harga sementara itu, beban PLN tetap saja lebih ringan dibandingkan dengan harga baru yang dicapai "timnya Kwik".

Ada bagian yang belum jelas: apakah PLN diharuskan membayar tagihan dari Paiton I untuk periode Mei 1999-Maret 2000 sebelum meneken kesepakatan sementara tersebut? Berdasarkan catatan TEMPO, tagihan Paiton I kepada PLN untuk periode itu sekitar US$ 460 juta. Inilah yang membuat Dirut PLN, Adhi Satriya, mundur pada pertengahan Desember 1999, ketika PLN hanya bersedia membayar tagihan pertama Paiton I sebesar US$ 7 juta. "Tagihan yang lain diabaikan karena PLN memang tak punya duit," kata sumber TEMPO. Pembayaran itu pun "terpaksa" dilakukan karena Indonesia dalam posisi "sedang minta utang" dari pertemuan CGI di Tokyo, pertengahan tahun lalu.

Belum habis urusan Paiton, datang lagi urusan lain. Tidak lama lagi PLN akan berurusan dengan PT Jawa Power, yang punya pembangkit listrik Paiton II. Saat ini, pembangkit milik konsorsium Siemens (50 persen), PowerGen (35 persen), dan Bumi Pertiwi Tatapradipta milik Bambang Trihatmodjo (15 persen) itu sudah memasuki tahap percobaan. Kemungkinan besar, bulan depan Jawa Power sudah memasuki tahap komersial dan PLN harus membelinya berdasarkan perjanjian yang diteken pada April 1995. Jumlah yang harus dibeli PLN cukup besar, US$ 563,4 juta. Artinya, PLN makin kelelep timbunan utang. Jika skema Paiton I yang dipakai untuk menyelesaikan Paiton II, beban pembelian listrik dari Paiton II bisa di atas US$ 100 juta untuk jangka sepuluh bulan karena kapasitas dua pembangkit itu hampir sama.

Repotnya, PLN tetap akan sulit menegosiasikan kembali harga listrik swasta, paling tidak dari dua pembangkit yang sudah beroperasi tadi. Soalnya, kedua proyek tersebut sudah beroperasi. Berbeda dengan Tanjung Jati B, yang memang belum selesai dibangun, sehingga penyelesaian proyek itu bisa dimundurkan. Jika proyek Tanjung Jati B kelak diteruskan, PLN harus bisa menekan harga beli paling tidak sampai US$ 0,035 per kWh karena harga jualnya ke konsumen hanya satu sen lebih rendah. Menteri Pertambangan dan Energi, Susilo Bambang Yudhoyono, juga sudah memberikan ancar-ancar harga beli maksimum US$ 0,035. Dengan harga jual sebesar itu pun, PLN masih akan kerepotan membayar utangnya, yang mencapai Rp 46 triliun, Rp 20 triliun di antaranya utang jangka pendek.

Di sisi lain, Paiton jelas tak mau tahu semua kerepotan PLN. Paiton I dan II pastilah juga tak akan mundur begitu saja dari tarifnya yang sekarang. Sejauh ini, perundingan PLN dengan Paiton I memang berjalan alot dan telah menghabiskan puluhan sesi, memakan waktu berbulan-bulan. Di tengah-tengah negosiasi tersebut, intervensi dari pemerintah AS begitu kencangnya. Tak cuma pejabat pemerintahan dan senator AS yang ikut campur, Dubes AS di Jakarta, Robert Gelbart, pun sangat "antusias" mengikuti proses negosiasi tersebut.

Kalau PLN harus membatalkan kontrak pembelian listrik dengan swasta, risikonya juga sangat besar. Paiton Energy Corp jauh-jauh hari juga sudah menghitung kerugian yang harus dibayar PLN jika proyek itu dibatalkan, yakni US$ 4 miliar. Jawa Power hampir pasti akan menempuh jalan yang sama jika PLN tak mau membeli listrik dari Paiton II. Jalan ini juga bisa berbelit karena akan melibatkan arbitrase internasional, dan PLN terbukti sudah dua kali kalah di sana. Saat ini, PLN masih harus membayar ganti rugi kepada MidEnergy Corp senilai US$ 572 juta setelah dinyatakan kalah pada pengadilan arbitrase internasional.

Sementara itu, risiko klaim dari OPIC juga sangat besar, seperti kasus Dieng dan Patuha. Untuk kasus Paiton I saja, PLN bisa terkena klaim US$ 805 juta. Angka untuk Paiton II diperkirakan tidak berbeda jauh. Indonesia bisa saja menghindari klaim ini berdasarkan Keputusan Presiden No. 37/1992, karena dalam peraturan ini, pemerintah tidak lagi menjadi penjamin finansial pembangkit swasta. Sedangkan OPIC masih mendasarkan klaimnya pada perjanjian bilateral AS-Indonesia yang diteken pada 1967. Dalam perjanjian itu, pemerintah Indonesia memang akan menjamin setiap investasi AS di Indonesia.

Karena itu, Indonesia mestinya mencoba menempuh jalan lain agar bisa terbebas dari kemelut listrik swasta yang mahaberat ini, yakni jalan hukum. Menteri Yudhoyono, Januari lalu, sudah menyerahkan bukti-bukti awal dugaan korupsi di Paiton I kepada Kejaksaan Agung. Tapi, sampai sekarang kasus itu belum jelas nasibnya di kejaksaan. Yang pasti, sampai akhir pekan ini, Kejaksaan Agung belum memanggil salah satu pihak pun yang mungkin terlibat dalam kasus tersebut.

Kalau jalur hukum bisa berjalan dan bisa dibuktikan ada korupsi di banyak pembangkit listrik swasta itu, seperti disinyalir Menteri Yudhoyono, siapa tahu beban PLN, juga beban kocek Republik, bisa diringankan. Sementara itu, jalur negosiasi boleh saja diteruskan, asal tidak menambah beban terlalu berat karena prosesnya berbelit dan makan waktu. Memang harus dicari jalan seadil-adilnya agar para pemilik listrik swasta—termasuk segelintir manusia Indonesia—itu tak lantas "menari" di atas timbunan utang PLN.

M. Taufiqurohman dan IG.G. Maha Adi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus