SEMANGAT besar saja rupanya tak cukup untuk memungut pajak. Apalagi untuk memenuhi pungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang ditargetkan Rp 247 milyar tahun anggaran ini. Karena jenis pajak yang satu ini bukan main peliknya baik untuk pendidikan maupun operasionalnya. Sampai-sampai Bank Dunia perlu memberikan suntikan dana, berupa pinjaman, US$ 25 juta sebagai biaya pendidikan dan operasional aparat Ipeda. Hal itu diungkapkan Dirjen Pajak Salamun Alfian Tjakradiwirja belum lama ini, kepada anggota DPR Komisi VII. Setelah melalui program pelatihan, begitu diharapkan, kemampuan aparat Ipeda nantinya tak lagi sekadar pelaksana pemungut pajak. "Tetapi mereka juga memiliki keterampilan dalam menaksir tanah dan bangunan," kata Salamun kepada TEMPO. Untuk merencanakan strategi kebijaksanaan penilaian terhadap obyek PBB dalam arti luas, menurut Salamun, masih akan dicari konsultan asing untuk mendampingi pimpinan Direktorat Ipeda. Lengkap? Belum. Untuk langkah awal, yang mengincar sekitar 10 ribu bangunan di tiga kota besar: Jakarta, Medan, dan Bandung, pelaksanaan penghitungan PBB-nya akan diserahkan kepada perusahaan iasa penilai (appraiser) lewat tender internasional. "Pemerintah akan melakukan tender terbuka bagi perusahaan jasa penilai asing dan domestik untuk melakukan penghitungan obyek pajak di sini," kata Salamun. Rencana-rencana tersebut, semestinya disambut hangat perusahaan jasa penilai. Tapi, kenyataannya, mereka khawatir. Soalnya belum-belum mereka sudah takut kalah bersaing dengan perusahaan jasa penilai asing. Bagaimanapun harus diakui bahwa tak semua dari sekitar 50 perusahaan jasa penilai domestik yang ada mampu mengerjakan proyek berskala besar seperti memborong penghitungan PBB itu. "Kondisi dan kemampuan sebagian besar perusahaan jasa penilai domestik masih sangat memprihatinkan," tutur seorang direktur perusahaan jasa. Tapi tak perlu khawatir. Pagi-pagi Dirjen Salamun sudah menyiapkan jalan keluar yang tak kurang pula "canggih"-nya. "Jika perusahaan asing yang menang tender, akan ditempuh cara supaya tetap ada perusahaan penilai swasta nasional yang bisa ikut serta melalui bentuk kerja sama," katanya memberi jaminan. Kebijaksanaan semacam itu, tentunya, tak boleh hanya diartikan sebagai upaya membagi rezeki saja. Perusahaan domestik yang ditunjuk sebagai rekanan harus dapat menimba pengalaman dan pengetahuan dari mitra asingnya. Bagi pihak asing, sebaliknya, peranan partner lokal diharapkan dapat memperlancar pekerjaannya. Sebab, bagaimanapun, menurut Salamun, perusahaan asing memerlukan bantuan untuk menyesuaikan diri terhadap segala aturan maupun kondisi daerah yang bangunannya dinilai. Toh, suara-suara tidak puas masih terdengar. Misalnya dari Gilbert Wiryadinata, Presiden Direktur PT Insal Utama, yang menyatakan bahwa dunia bisnis jasa penilai sebenarnya hampir tak mengenal sistem tender. Instansi yang membutuhkan jasa penilai, lazimnya, memanggil perusahaan jasa penilai untuk dimintai keterangan mengenai penampilan dan kemampuan perusahaannya. "Jika cocok, perusahaan itu dipakai," ujar Gilbert. "Profesi perusahaan penilai 'kan bukan seperti pedagang beras atau sapi, tapi perusahaan jasa," sambung Gilbert, seraya menyatakan bahwa perusahannya tak akan ambil bagian dalam tender Salamun. Ya, bagaimana lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini