Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Menteri Keuangan mengklaim spread imbal hasil SUN berdenominasi dolar Amerika menurun.
Jumlah investor asing di pasar surat berharga negara masih rendah dibanding pemain lokal.
Penerimaan pajak seret, penerbitan surat utang ada kemungkinan semakin besar.
JAKARTA - Pasar surat utang negara (SUN) dan surat berharga negara (SBN) terus membaik meski masih ada sejumlah sentimen negatif dari luar negeri. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan spread imbal hasil (yield) SUN dalam mata uang dolar Amerika tenor 5 dan 10 tahun terhadap US Treasury menurun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Sri, imbal hasil SUN dolar bertenor 5 tahun turun dari 90 basis point pada Januari lalu menjadi 60 basis point pada 23 Agustus. Sedangkan spread imbal hasil SUN dolar dengan tenor 10 tahun turun dari 110 basis point menjadi 94 basis point. "Meski berkali-kali ada sentimen negatif seperti tapering off The Federal Reserve dan kenaikan inflasi di Amerika Serikat, Indonesia bisa terus menurunkan spread," kata dia, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Petugas penukaran mata uang asing tengah menghitung uang pecahan Rp 100 ribu di Jakarta. Tempo/Tony Hartawan
Sri juga menyebut SUN berdenominasi rupiah bergerak positif. Obligasi dengan tenor pendek memiliki permintaan yang kuat dari dalam negeri, terutama dari perbankan. Di tengah volatilitas tinggi akibat pandemi Covid-19, Sri mengklaim instrumen investasi jangka pendek lebih banyak dilirik investor.
Dari sisi kepemilikan, Sri Mulyani mengatakan jumlah investor asing masih rendah. Porsinya menurun dari kisaran 38 persen pada awal tahun menjadi 22 persen per 23 Agustus 2021. Hingga saat ini kepemilikan SBN domestik masih didominasi bank, yang kini naik dari kisaran 20 persen menjadi 25 persen. "Ini berarti kondisi perekonomian masih belum sepenuhnya normal karena perbankan masih banyak meletakkan dana masyarakat di surat berharga," katanya.
Bank Indonesia juga terpantau memiliki andil besar dalam penyerapan SBN. Porsinya naik dari 9,9 persen menjadi 22,9 persen. Hal ini salah satunya disebabkan oleh perjanjian antara BI dan pemerintah untuk berbagi beban pembiayaan penanganan Covid-19.
Economic Research Analyst PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), Ahmad Nasrudin, mengatakan perbaikan ini didukung oleh lonjakan inflasi Amerika Serikat hingga jauh melebihi perkiraan The Federal Reserve. "Dalam beberapa minggu terakhir, sentimen pengetatan kebijakan moneter di Amerika muncul lagi. Karena itu, yield obligasi kita naik," kata dia.
Meski inflasi di Amerika Serikat masih tinggi, Ahmad mengatakan data tingkat pengangguran menurun dari 10 persen pada Juni menjadi 5 persen pada Juli. Angka ini, menurut dia, sudah mendekati tingkat pengangguran alami, yaitu 4,5 persen.
Menurut Ahmad, jika tingkat pengangguran kembali turun, ada potensi kebijakan moneter Amerika Serikat akan diperketat lebih cepat dari perkiraan. Hal ini akan mengancam pasar SBN hingga tahun depan. "Yield akan cenderung naik dibanding sekarang karena sentimen eksternal akan lebih kencang lagi," tutur dia. Dari dalam negeri, ada sentimen negatif seperti kenaikan suku bunga acuan BI Reverse Repo Rate dan nilai tukar rupiah.
Senior Economist Samuel Sekuritas, Fikri C. Permana, mengatakan penerimaan pajak pemerintah juga akan mempengaruhi pasar. "Kemungkinan realisasi pajak tidak memenuhi target tahun ini sehingga ada kemungkinan SBN ditambah sampai akhir tahun, bahkan mungkin di tahun depan," ucapnya.
Fikri memperkirakan kinerja positif pasar obligasi bisa bertahan hingga akhir tahun. Dia mengatakan imbal hasil surat utang dengan tenor 10 tahun akan mendekati 6,06 persen sampai akhir tahun nanti. Sementara itu, tahun depan dia memperkirakan yield obligasi tersebut berada di kisaran 6,2 persen hingga 6,7 persen.
Sampai tahun depan, Fikri menyebut surat utang negara masih akan mendominasi kepemilikan SBN. Alasan keamanan menjadi pertimbangan utamanya. Surat utang korporasi di satu sisi menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi, namun terdapat risiko gagal bayar, khususnya bagi perusahaan yang mengalami masalah arus kas setelah diterpa pandemi Covid-19.
VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo