Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Konflik Iran dengan Israel memicu kekhawatiran seretnya pasokan minyak domestik yang mengandalkan impor.
Konsumsi minyak Indonesia mencapai 1,58 juta barel per hari sepanjang 2022. Sementara itu, produksi dalam negeri hanya 644 ribu barel per hari.
Penambahan stok minyak mentah dan BBM terhambat kapasitas penyimpanan dan pengolahan yang masih terbatas di dalam negeri.
SERANGAN Iran ke Israel pada awal pekan ini menimbulkan sejumlah kecemasan. Salah satunya pasokan minyak domestik yang mengandalkan impor. Berkaca pada konflik lain yang melibatkan produsen minyak, seperti invasi Rusia ke Ukraina, stok komoditas ini menjadi terbatas akibat jalur distribusi yang terganggu perang. Ditambah lagi harganya melonjak tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Risiko ini menjadi salah satu pembahasan dalam rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo pada Selasa, 16 April lalu. Dia mengundang sejumlah menteri untuk mendiskusikan antisipasi dampak konflik Iran dengan Israel. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, serta Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto turut hadir dalam rapat tersebut.
Seusai rapat, Airlangga membeberkan bahwa konflik yang memanas akan mempengaruhi aktivitas perdagangan di Selat Hormuz dan Laut Merah. Kedua lokasi ini merupakan jalur penting distribusi barang, termasuk minyak. “Di Selat Hormuz itu ada 33 ribu kapal minyak dan di Laut Merah 27 ribu,” ujarnya. Saat konflik terjadi, umumnya kapal-kapal akan mengambil rute lain yang lebih jauh untuk menghindari bahaya sehingga bakal berdampak pada kenaikan harga barang.
Indonesia tidak mengimpor minyak dari Iran. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan impor minyak bumi dan hasilnya yang paling besar berasal dari Singapura dengan total nilai US$ 10,4 miliar pada 2023. Di urutan selanjutnya ada Australia dan Malaysia.
Namun, menilik data International Trade Center, impor terbesar Singapura untuk komoditas itu berasal dari Uni Emirat Arab, dengan nilai US$ 87,2 miliar pada 2023. Negara tersebut berada di satu kawasan dengan Iran yang kini berkonflik, yaitu Timur Tengah.
Jika konflik berkepanjangan, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Tutuka Ariadji mengatakan pasokan minyak mentah dan bahan bakar minyak Indonesia bakal terganggu. Artinya, Indonesia harus mencari sumber impor lain agar ketahanan energi tak terancam.
Merujuk pada laporan Energy Institute bertajuk “Statistical Review of World Energy” yang diterbitkan pada 2023, konsumsi minyak Indonesia mencapai 1,58 juta barel per hari sepanjang 2022. Sementara itu, produksinya hanya 644 ribu barel per hari. Dengan konsumsi yang berpotensi meningkat seiring dengan pertumbuhan penjualan kendaraan, produksi minyak justru menurun lantaran tren investasi di hulu migas lesu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi mencatat realisasi produksi atau lifting minyak pada akhir 2023 hanya 605 ribu barel per hari. Adapun data Kementerian Energi menyebutkan, pada Januari 2024, lifting minyak hanya 532,2 ribu barel per hari.
Sejak 2008, Indonesia resmi menjadi net importir minyak akibat tingginya konsumsi yang tidak dibarengi dengan produksi yang ada. Padahal Indonesia sempat mengalami puncak produksi minyak, yaitu pada 1977 dan 1995. Pada 1977, produksi minyak mencapai 1,65 juta barel per hari berkat kegiatan produksi yang dilakukan secara primary recovery. Adapun pada 1995, produksi minyak 1,6 juta barel per hari.
Petugas Pertamina memeriksa pengisian truk tangki untuk distribusi bahan bakar minyak di Depo BBM Pertamina di Plumpang, Jakarta, 2 April 2024. TEMPO/Tony Hartawan
Menurut Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional Djoko Siswanto, pemerintah sudah bergerak untuk mencari sumber pasokan lain. “Sebenarnya Rusia dan Iran pernah menawarkan harga minyak yang jauh lebih murah,” katanya. Namun belum ada keputusan ihwal hal tersebut.
Saat ini pemerintah memastikan stok minyak mentah, BBM, serta elpiji masih dalam kondisi aman. Pasalnya, PT Pertamina (Persero) sudah mengantongi kontrak jangka panjang pembelian komoditas ini.
Pertamina mengkonfirmasi stok minyak mentah dan BBM rata-rata cukup untuk 30 hari. Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso memperkirakan tak ada kendala untuk mendatangkan stok tambahan sejauh ini. Sebab, mayoritas minyak mentah perusahaan didatangkan dari Afrika. Nigeria berada di urutan pertama pemasok minyak mentah Pertamina, diikuti Arab Saudi, Angola, dan Gabon.
Sementara itu, BBM mayoritas datang dari Asia, dengan Singapura, Malaysia, dan India sebagai penyumbang terbesar. Adapun Singapura banyak mendatangkan pasokannya dari Uni Emirat Arab. “Kami harap situasi makin kondusif sehingga kekhawatiran pasokan tidak terjadi,” kata Fadjar.
Untuk menekan biaya produksi dari kenaikan harga bahan baku, Fadjar mengatakan perusahaan mencoba memilih minyak mentah dengan harga terbaik. Perusahaan juga melakukan efisiensi operasional, termasuk biaya pengangkutan dan mengoptimalkan produksi produk bernilai tinggi.
Pemerintah belum mengambil keputusan untuk mengantisipasi dampak naiknya biaya produksi. Tutuka Ariadji mengatakan kenaikan harga memang sudah terlihat, bahkan berpotensi menyentuh kisaran US$ 100 per barel. Sampai Maret lalu, harga minyak acuan domestik atau Indonesia crude palm oil sebesar US$ 83,78 per barel. “Kalau spike (lonjakan harga), tidak perlu direspons segera,” tuturnya. Namun Kementerian ESDM bersama Pertamina saat ini tengah menyiapkan simulasi untuk mengatasi dampak konflik ini berdasarkan beragam skenario.
Pemerintah memiliki opsi untuk menyesuaikan harga BBM. Saat konflik Rusia dan Ukraina meletus, kenaikan harga minyak dunia pada 2022 mendorong pemerintah menaikkan harga Pertalite dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10 ribu per liter dan solar dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter.
Namun Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian Energi Agus Cahyono Adi mengatakan pemerintah perlu mempertimbangkan sejumlah hal sebelum mengambil keputusan yang sama. Faktor seperti kondisi keuangan negara hingga kondisi ekonomi riil terus dibahas lintas sektor. “Kita masih wait and see ihwal perkembangan harga minyak dunia,” ujarnya.
Petugas Pertamina melakukan pengecekan rutin sebuah tangki bahan bakar di Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Plumpang, Jakarta Utara. TEMPO/Tony Hartawan
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan perlu ada diversifikasi sumber impor segera jika melihat kondisi saat ini. Tujuannya, memastikan Indonesia punya banyak opsi untuk menjaga stok minyak. Meski demikian, dia menilai bakal sulit mendapatkan pasokan yang murah di tengah ketegangan politik seperti saat ini.
Komaidi mendorong Pertamina memanfaatkan momentum ini untuk menambah stok minyak mentah dan BBM nasional. Kendalanya adalah kapasitas penyimpanan dan pengolahan yang masih terbatas di dalam negeri.
Menurut Komaidi, idealnya, pemerintah mendirikan sendiri fasilitas penyimpanan cadangan energi nasional. Pasokan minyak mentah dan BBM yang ada di dalam negeri sekarang merupakan milik Pertamina. Sementara itu, di negara lain, seperti di Amerika Serikat dan Jepang, pemerintahnya memiliki fasilitas terpisah dari badan usaha yang bisa menampung stok hingga setidaknya enam bulan. “Kita nol,” katanya.
Konsep menyiapkan cadangan energi milik negara ini sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi. Namun, hingga saat ini, belum ada tindak lanjutnya. Djoko Siswanto mengatakan prosesnya masih tahap penyiapan payung hukum dalam bentuk peraturan presiden. “Perpresnya sedang proses minta paraf menteri terkait,” ujarnya.
Kepala Pusat Kajian Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan Institute for Development of Economics and Finance Abra Talattov menilai pemerintah juga perlu mempercepat transisi energi setelah menghadapi konflik Iran-Israel ini. “Ini momentum untuk sinkronisasi kebijakan energi dalam konteks mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Daniel A Fajri berkontribusi dalam penulisan artikel ini