Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sengkarut Tata Niaga Minyak Goreng

Pemerintah diminta membenahi struktur pasar minyak goreng yang cenderung oligopoli.

27 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Struktur pasar minyak goreng yang cenderung oligarki dianggap merugikan konsumen.

  • Pemerintah punya PR melindungi pabrik minyak goreng yang tak terafiliasi dengan perusahaan sawit.

  • Pelaku industri minyak goreng diminta transparan menyampaikan data stok minyak goreng.

JAKARTA - Sengkarut di industri minyak goreng menjadi pekerjaan rumah pemerintah untuk membenahi struktur pasar. Musababnya, selama ini persoalan struktur tata niaga minyak goreng kerap menyebabkan masalah yang merugikan konsumen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Tentu perlu ada perbaikan tata niaga minyak goreng dan bahan-bahan pokok lain yang selama ini menjadi masalah karena penimbunan, kelangkaan, dan lainnya," kata Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Rizal Edy Halim, kepada Tempo, kemarin, 26 Mei 2023.

Saat ini struktur industri komoditas pangan cenderung oligopoli alias pasar dikuasai hanya oleh beberapa perusahaan tertentu. Pada jenis pasar ini, biasanya jumlah produsen dan konsumen tidak seimbang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam sidang pembacaan putusan perkara minyak goreng, kemarin, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyimpulkan struktur pasar dalam industri minyak goreng adalah oligopoli ketat dengan konsentrasi pasar tinggi dan produk yang bersifat homogen. Musababnya, ada sedikitnya empat perusahaan yang menguasai lebih dari 60 persen pangsa pasar. Perusahaan-perusahaan ini terintegrasi secara vertikal dan unggul secara kekuatan pasar dibanding perusahaan yang tidak terintegrasi secara vertikal.

Berdasarkan penghitungan yang dilakukan KPPU terhadap volume penjualan minyak goreng kemasan pada 2021, empat pelaku usaha ataupun grup usaha menguasai 71,52 persen pangsa pasar atau 2.180 ton dari total 3.048 ton penjualan minyak goreng.

Kondisi ini menjadi salah satu alasan anggota Majelis KPPU, Ukay Karyadi, memberikan pendapat berbeda dalam persidangan mengenai dugaan kartel minyak goreng. Ukay mengatakan struktur pasar tersebut mendukung perilaku perusahaan yang berpotensi melanggar Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang pembuatan perjanjian antara pelaku usaha dan pesaingnya untuk bersama-sama menetapkan harga. 

Pendapat Ukay tersebut berbeda dengan pandangan anggota majelis persidangan lainnya. KPPU akhirnya memutuskan bahwa 27 terlapor yang terseret kasus dugaan kartel penetapan harga tersebut tidak terbukti melanggar Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999. Majelis Komisi memutuskan hanya tujuh perusahaan yang terbukti melanggar Pasal 19 huruf c UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang dugaan persaingan usaha tidak sehat berupa membatasi peredaran atau penjualan barang dan jasa.



Pekerja mengisi minyak goreng dari crude palm oil (CPO) di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan



Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), Yusuf Wibisono, mengatakan struktur pasar minyak goreng cenderung oligopoli karena karakteristik industri ini sangat bergantung pada pasokan minyak sawit mentah atau CPO sebagai bahan baku utamanya.

"Dengan sekitar 80 persen dari biaya produksi minyak goreng adalah CPO, integrasi vertikal menjadi bentuk usaha yang efisien di industri minyak goreng," ujar Yusuf. Integrasi vertikal di industri ini ditandai dengan pemain besar di perkebunan sawit dan industri minyak goreng. Pemilik perkebunan besar sawit juga pemain besar minyak goreng.

Dengan struktur pasar yang sudah lama teridentifikasi oligopoli, kata Yusuf, perilaku kartel sering kali terlihat di pasar minyak goreng. Indikasinya, apabila terjadi kenaikan harga CPO di pasar internasional, terjadi koordinasi anti-persaingan di sebagian besar dari sekitar 74 pabrik minyak goreng di Indonesia tanpa berkomunikasi dan membuat kesepakatan formal.

Akibatnya, ketika harga CPO global naik, produsen minyak goreng segera bersama-sama menyesuaikan harga minyak goreng domestik dengan harga CPO internasional. Namun, ketika harga minyak sawit internasional turun, penurunan harga minyak goreng domestik tidak terjadi secara proporsional. KPPU sebelumnya menangani kasus kartel di industri minyak goreng pada 2010.

Pekerja menimbang tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Bram Itam, Tanjungjabung Barat, Jambi. ANTARA/Wahdi Septiawan

Pemerintah Diminta Lindungi Pabrik Minyak Goreng yang Tak Terafiliasi Perkebunan Sawit

Untuk itu, Yusuf mengatakan salah satu pekerjaan rumah pemerintah ke depannya adalah melindungi pabrik minyak goreng yang tidak terafiliasi dengan perusahaan perkebunan sawit. Musababnya, jaminan ketersediaan dan harga CPO bagi pelaku usaha minyak goreng non-pemilik perkebunan sawit akan mendorong transparansi harga minyak goreng domestik.

"Dugaan perilaku kartel pabrik minyak goreng yang selama ini bersepakat menjadikan harga CPO internasional sebagai referensi penentuan harga minyak goreng domestik sering kali menyamarkan harga riil perolehan CPO oleh pabrik minyak goreng," ujar Yusuf. Ketiadaan transparansi harga beli CPO oleh pabrik minyak goreng inilah yang membuat kewajaran harga minyak goreng domestik sering dipertanyakan.

Tugas pemerintah lainnya, tutur dia, adalah reforma aset bagi petani sawit rakyat melalui kepemilikan pabrik kelapa sawit dan pabrik minyak goreng skala mikro. Dengan kelembagaan ekonomi petani sawit yang telah terbentuk dengan baik, ia menegaskan, tak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak memfasilitasi pendirian pabrik kelapa sawit dan minyak goreng skala mikro yang dikelola secara mandiri oleh petani sawit.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, setuju pemerintah memiliki pekerjaan rumah memperbaiki tata niaga industri minyak goreng. Caranya dimulai dari pemecahan penguasaan pasar oleh produsen sawit dan industri minyak goreng dengan induk usaha yang sama. "Jadi, perlu tetap ada break up untuk menghindari celah oligopoli dari hulu ke hilir," ujar Bhima.

Bhima pun sepakat bahwa transparansi data menjadi kunci pengawasan pasar. Karena itu, ia berujar, para pelaku industri minyak goreng harus transparan menyampaikan data stok minyak goreng. "Setiap selisih data di rantai distribusi harus diverifikasi oleh pemerintah."

Tempo telah menanyakan upaya pemerintah membenahi struktur pasar minyak goreng tersebut kepada Deputi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Perekonomian, Musdhalifah Machmud; Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Isy Karim; serta Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika. Namun, hingga laporan ini ditulis, pesan Tempo tak dibalas dan hanya dibaca oleh Musdhalifah dan Isy.

Adapun Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, sebelumnya menampik tudingan adanya dugaan kartel minyak goreng.

CAESAR AKBAR

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus