Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Penandatanganan perjanjian bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana atau mutual legal assistance (MLA) Republik Indonesia dengan Konfederasi Swiss tidak serta-merta bakal diikuti eksekusi pengambilan aset hasil tindak pidana. Selain perjanjian itu memerlukan ratifikasi Dewan Perwakilan Rakyat, Kejaksaan Agung sebagai eksekutor bakal melaksanakan sejumlah langkah sebelum memanfaatkan fasilitas tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jaksa Agung M. Prasetyo mengatakan perjanjian MLA pasti akan memudahkan proses penegakan hukum di kedua negara, termasuk untuk mengembalikan aset hasil tindak pidana yang dilarikan ke Swiss. Namun pihaknya perlu lebih dulu mengkaji perjanjian tersebut dan kasus tindak pidana yang ada. Dia menyatakan belum akan mengajukan bantuan pengembalian aset dalam waktu dekat. "Nanti itu ada tahapan berikutnya," ujarnya kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly menandatangani MLA dengan Menteri Kehakiman Swiss, Karin Keller-Sutter, di Bernerhof Bern, Senin, 4 Februari 2019. Perjanjian yang terdiri atas 39 pasal itu antara lain mengatur bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, penyitaan, hingga perampasan aset hasil tindak kejahatan. "Perjanjian MLA ini juga dapat digunakan untuk memerangi kejahatan di bidang perpajakan," katanya melalui keterangan tertulis yang diterima Tempo, kemarin.
Yasonna menuturkan proses negosiasi perjanjian MLA berlangsung alot selama bertahun-tahun. Pemerintah Indonesia dan Swiss telah berunding dua kali sebelum akhirnya perjanjian disepakati. Perundingan dilakukan di Bali pada 2015 dan di Bern pada 2017. "Swiss sangat menjaga keamanan dan kerahasiaan sistem perbankan mereka," ucapnya.
Duta Besar RI untuk Swiss, Muliaman D. Hadad, menyebut perjanjian itu sebagai capaian kerja sama bantuan timbal balik pidana yang luar biasa. Menurut dia, perjanjian MLA juga mencerminkan komitmen Indonesia dalam pemberantasan korupsi dan pengembalian aset hasil korupsi. "Ini adalah follow-up pidato Presiden pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia tahun lalu," tuturnya.
Pemerintah menduga selama ini banyak kekayaan warga Indonesia yang disimpan di luar negeri. Swiss menjadi salah satu yang tersohor karena sistem kerahasiaan perbankannya yang sangat ketat. Dalam sejumlah kasus tindak pidana, pemerintah Indonesia kerap kesulitan mengeksekusi perkara karena tidak memiliki MLA.
Salah satu contohnya ialah perkara terpidana 10 tahun kasus pengucuran kredit kepada PT Cipta Graha Nusantara, Eduardus Cornelis William Neloe. Mantan Direktur Utama Bank Mandiri itu memiliki aset US$ 5,2 juta di Bank Swiss. Pemerintah Indonesia sempat berhasil meminta Swiss membekukan aset tersebut sebelum akhirnya dibuka kembali di Deutsche Bank. Pemerintah Swiss menilai pemblokiran tersebut tidak memiliki landasan hukum meski Neloe sudah divonis bersalah.
Kepala Bidang Pemulihan Aset Transnasional Kejaksaan Agung, Yusfidli Adhyaksana, mengatakan salah satu kunci pengembalian aset di Swiss adalah pembuktian unsur pidana di pengadilan Swiss. Dia menilai, meski MLA akan membuat upaya Indonesia dalam mengembalikan aset di Swiss menjadi lebih terfokus, hasil konkretnya tidak dapat diharapkan dalam waktu dekat. "Belajar dari pengalaman Nigeria, dibutuhkan waktu yang panjang untuk benar-benar mendapat hasil yang nyata," ujarnya.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo, mengatakan perjanjian MLA ini harus dijadikan dasar penegakan hukum dan pembangunan tata kelola negara yang transparan dan akuntabel. Menurut dia, perlu ada pembentukan gugus tugas antara Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, Bank Indonesia, dan Direktorat Jenderal Pajak untuk menindaklanjuti perjanjian tersebut.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak, Hestu Yoga Saksama, mengatakan pihaknya akan memanfaatkan MLA untuk menangani kasus tindak pidana di bidang perpajakan. "Kalau ada satu kasus yang akan disidik atau diselidiki terkait dengan tindak pidana perpajakannya, kami bisa memanfaatkan itu," ucapnya. Selama ini, Ditjen Pajak belum pernah menangani kasus perpajakan yang melibatkan negara lain. VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo