Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah mencabut fasilitas bebas visa kunjungan untuk turis dari 159 negara.
Pelaku usaha meminta pemerintah selektif dalam mencabut fasilitas bebas visa.
Dipicu ulah sebagian turis asing.
JAKARTA – Pelaku bisnis pariwisata memprotes pencabutan fasilitas bebas visa kunjungan (BVK) untuk turis dari 159 negara mulai 7 Juni lalu. Ketua Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia Bali, I Putu Anom, mengatakan keputusan itu berpotensi mengusik pemulihan industri pelancongan. Setelah resmi beralih ke status endemi, negara-negara tujuan wisata sedang mengkampanyekan kemudahan akses untuk turis. “Seharusnya jangan diumumkan di tengah masa pemulihan seperti ini,” ujar dia kepada Tempo, kemarin.
Penghentian fasilitas bebas visa itu dilakukan lewat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-GR.01.07 Tahun 2023 pada 7 Juni lalu. Pemerintah hanya menyisakan fasilitas bebas visa untuk wisatawan dari 10 negara anggota ASEAN. Fasilitas bebas visa selama ini bisa dipakai oleh warga negara asing untuk keperluan bisnis, wisata, tugas pemerintahan, ataupun transit. Durasi tinggal pendatang di Indonesia dibatasi maksimal 30 hari tanpa perpanjangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Skema ini dikembangkan dan dipromosikan di banyak forum global oleh Arief Yahya—Menteri Pariwisata di awal era kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Awalnya Indonesia hanya meluncurkan BVK untuk 30 negara lewat Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2015. Jumlah negara penerimanya terus ditambah sejak saat itu. Kebijakan tersebut diklaim untuk menguatkan hubungan Indonesia dengan negara lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski sudah menyetujui pencabutan fasilitas visa kunjungan bagi sebagian besar negara di dunia, pada Rabu lalu, Presiden Jokowi menyatakan masih mengevaluasi kebijakan BVK. "Pasti ada evaluasi. Dulu kita buka total. Evaluasinya memberikan manfaat kepada negara, tidak?” katanya.
Baca juga: Saatnya Serius Garap Ekowisata
Pencabutan Secara Bertahap
Warga negara asing melalui tempat pemeriksaan imigrasi. Dok. Dirjen Imigrasi
Menurut Anom, lebih tepat jika pemerintah mengurangi jumlah negara penerima BVK secara bertahap. Saat ini, jaringan biro pariwisata dari Tanah Air sedang aktif mempromosikan Indonesia ke negara-negara jauh, khususnya di benua Eropa dan Amerika. Pemerintah Indonesia, di satu sisi, hanya mengistimewakan negara anggota ASEAN dalam daftar penerima bebas visa kunjungan.
“Jangan sampai di tengah perjalanan turis menjadi ragu dan mengalihkan perjalanan grupnya ke negara sebelah,” kata guru besar pariwisata Universitas Udayana tersebut.
Ketua Umum Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo), Pauline Suharno, mengeluhkan kebijakan anyar BVK yang tidak mempertimbangkan kinerja para agen wisata. Menurut dia, pengumuman pemerintah sebenarnya belum mempengaruhi komposisi paket biro perjalanan yang biasanya sudah mencakup layanan visa. Namun para agen tetap saja dibanjiri pertanyaan dari konsumen.
“Ini persoalan waktu. Pengumuman yang tidak perlu dan malah membuat kami repot,” tutur Pauline. Pasalnya, para turis jadi mempertanyakan kemudahan akses masuk ke Indonesia. Aturan visa saat kedatangan atau visa on arrival (VoA), sebagai contoh, ikut diragukan meski tidak dievaluasi pemerintah.
VoA merupakan salah satu jenis visa kunjungan yang diatur dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011. Masa berlaku visa ini bisa mencapai maksimal 180 hari setelah diterbitkan. Sedangkan izin tinggalnya hanya untuk sebulan. Selama dua tahun terakhir, VoA diandalkan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk menarik minat wisatawan mancanegara.
Baca juga: Dekat dengan Adat, Erat dengan Alam
Pauline khawatir pencabutan BVK untuk 159 negara akan menggerus minat turis inbound (perjalanan ke Indonesia) pada periode padat Juli-Agustus 2023. Jumlah kunjungan turis asing memang sedang meningkat selama setahun terakhir. Badan Pusat Statistik mencatat jumlah wisatawan yang masuk pada Januari-April 2023 mencapai 3,17 juta; naik 339 persen dibanding pada periode yang sama tahun lalu. “Kenapa harus diumumkan di dekat liburan sekolah dan summer?”
Wakil Ketua Umum Association of The Indonesian Tours and Travel Agencies (Asita), Budijanto Ardiansyah, menganggap evaluasi BVK masih wajar karena tak banyak negara yang berkontribusi terhadap kunjungan turis ke Indonesia. Tapi, sependapat dengan Anom, dia mendesak pemerintah selektif dalam mencabut fasilitas BVK. “Setidaknya untuk Australia, India, dan Cina bisa dipertimbangkan kembali (pemberian BVK),” kata dia.
Dipicu Perilaku Sebagian Turis Asing
Turis asing mengendarai sepeda motor tanpa menggunakan helm di Kuta Utara, Badung, Bali, 29 Mei 2023. ANTARA/Nyoman Hendra Wibowo
Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira Adhinegara, menyebutkan keputusan pemerintah hanya berdampak pada jenis wisatawan kemping alias backpacker. Dia beralasan turis yang menyasar hotel berbintang cenderung berbekal visa dan tak mengandalkan BVK. Seperti para pengusaha biro perjalanan, dia hanya mempersoalkan waktu pengumuman dari pemerintah.
“Cukup mendadak sehingga Indonesia dianggap inkonsisten soal kemudahan wisatawan mancanegara,” ucap Bhima. Dia menengarai pembatasan BVK dipicu oleh sejumlah masalah sosial dan gangguan yang belakangan ditimbulkan pelancong berkewarganegaraan asing. Masalah yang mayoritas terjadi di Bali itu ramai di media sosial.
Direktur Jenderal Imigrasi, Silmy Karim, menyebutkan harus ada keuntungan timbal balik untuk Indonesia dari kebijakan BVK. Menurut dia, pemberian hak BVK juga harus sesuai dengan aspek keamanan. “Masak kita kalau keluar negeri harus pakai visa, sedangkan orang luar masuk ke Indonesia tidak pakai visa?" kata dia di Kompleks Parleman, Senayan, Jakarta, Rabu lalu.
YOHANES PASKALIS | ANTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo