JAKARTA – Pemerintah diminta memberikan sanksi tegas kepada pengelola pembangkit listrik tenaga panas bumi (
PLTP) yang lalai, sehingga mengakibatkan terulangnya insiden kecelakaan kerja dan
kebocoran gas hidrogen sulfida (H2S). Manajer Advokasi dan Kampanye Koalisi Kawali Indonesia, Lestari Fatmata Juliansyah, juga mendesak pemerintah meningkatkan pengawasan dan syarat perizinan berusaha PLTP.
"Sebab, insiden (kebocoran gas H2S) tak hanya terjadi di PLTP Dieng," kata Lestari, kemarin, 14 Maret 2022. Awal Maret lalu, dugaan kebocoran gas juga terjadi di
PLTP Sorik Marapi, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Insiden di Sorik Marapi juga bukan yang pertama kali. Setahun lalu, tepatnya pada Januari 2021, kebocoran gas mengakibatkan lima orang meninggal, puluhan korban dirawat di rumah sakit, dan ratusan warga sekitar harus mengungsi.
Adapun kebocoran gas di
PLTP Dieng yang terjadi pada Sabtu, 12 Maret lalu, diklaim telah terkendali. Kepala Kepolisian Resor Banjarnegara, AKBP Hendri Yulianto, juga memastikan sumur pengeboran tempat bocornya gas sudah aman. "Saat ini tidak ada percikan api ataupun gas. Jadi, masyarakat tidak perlu panik karena kondisi sudah terkendali."
General Manager PT Geo Dipa Energi (Persero) Unit Dieng, Budi Santoso, menyatakan Satuan Kimia, Biologi, dan Radioaktif Pasukan Gegana Polda Jawa Tengah telah memastikan gas di lokasi kebocoran berada di bawah ambang batas. "Saat ini tim telah meninggalkan lokasi," kata Budi, kemarin, 14 Maret.
Corporate Secretary Geo Dipa Energi, Endang Iswandi, menuturkan peristiwa ini terjadi saat sumur sedang diperbaiki oleh kontraktor. Seorang pekerja menemukan katup pelepas tekanan atau relief valve di sumur terbuka dan ia berinisiatif memeriksanya. Namun pekerja tersebut jatuh pingsan. Korban meninggal dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Umum Daerah Wonosobo. Selain itu, terdapat empat korban lainnya yang menjalani perawatan di rumah sakit.
Warga melintas di lokasi kecelakaan kerja di PAD 28 PT Geodipa Energi Desa Pawuhan, Banjarnegara, 13 Maret 2022 ANTARA/Anis Efizudin
Menurut Direktur Utama Geo Dipa Energi, Riki Ibrahim, penyelidikan awal menunjukkan bahwa kebocoran gas H2S tidak terdeteksi alat sensor. Sebagai mitigasi paparan gas tersebut, kata Riki, wilayah PLTP pasti dilengkapi dengan alat pendeteksi kebocoran. "Untuk memperketat pengawasan, kami akan tambahkan H2S detector di area publik yang terdekat dengan Pad-28," ujarnya.
Selain itu, Riki memastikan kebocoran gas H2S tidak mencemari air. Dia menyatakan air untuk proses mematikan sumur yang kontak dengan HS2 berada dalam sistem tertutup sehingga tidak ada yang keluar dari tangki air dan mencemari lingkungan.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah menerjunkan tim ke lapangan sejak Ahad, 13 Maret lalu, untuk menginvestigasi penyebab kebocoran tersebut. Direktur Panas Bumi Kementerian Energi, Harris, menyampaikan belum ada kesimpulan atas pemeriksaan tersebut. "Penanganan kecelakaan kerja di PLTP akan dilakukan sesuai dengan regulasi, termasuk sanksinya jika terbukti ada kelalaian," tuturnya.
Ketua Umum Asosiasi Panas Bumi Indonesia, Priyandaru Effendi, menyatakan kebocoran gas H2S merupakan salah satu risiko dalam pengembangan panas bumi. Dalam kadar tertentu, senyawa tersebut berbahaya bagi tubuh manusia. Salah satu upaya pencegahan paparan gas dilakukan dengan memasang alat deteksi. Selain tentunya mengatur standar operasi yang mengutamakan keamanan dan keselamatan.
Namun, terlepas dari berbagai upaya pencegahan, risiko tidak bisa dihilangkan. "Sama seperti industri pesawat, sudah dirancang dengan tingkat keamanan tinggi, tapi ada saja peristiwa kalau lagi musibah terjadi," kata Priyandaru. Peristiwa kebocoran gas hidrogen sulfida ini, menurut dia, bakal menjadi momentum untuk kembali memperketat pengawasan dalam kegiatan di PLTP.
VINDRY FLORENTIN | ANT
Baca Juga: