Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) sekaligus Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko buka suara soal program penanaman sorgum secara masif di Tanah Air. Ia mengatakan pemerintah telah menargetkan penanaman komoditas tersebut hingga 150 ribu hektare pada 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Karena saya punya komitmen dengan Pak Jokowi untuk menanam sorgum, saya akan terus lanjutkan apa yang saya kerjakan," kata dia saat ditemui di The Westin Jakarta pada Rabu, 12 Juli 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, pemerintah telah memiliki roadmap untuk mengembangkan tanaman sorgum. Dimulai dari penanaman di 15.000 hektare di Nusa Tenggara Timur (NTT), yang akan terus dilakukan hingga 150.000 hektare.
Menurutnya, budidaya sorgum sangat penting karena memiliki banyak manfaat. Khususnya, sebagai subtitusi bahan pokok seperti beras dan gandum. Dia menyebut butir sorgum bisa diolah menjadi banyak varian produk, seperti nasi dan tepung.
Selain itu, menurutnya, sorgum juga dapat dijadikan sumber energi untuk elektrifikasi yakni etanol dan biomassa. Lalu sorgum juga dinilai dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Bahkan, kata dia, sorgum telah menjadi penyelamat bagi Amerika Serikat saat negara itu mengalami krisis ekonomi pada 2027 silam.
"Ini saya kira upaya yang sangat baik ke depan, karena dengan sorgum ini banyak yang bisa digantikan," ujarnya.
Selanjutnya: 3 tantangan yang dihadapi pemerintah jika ingin mengembangkan sorgum
Sementara itu, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan ada tiga tantangan yang harus dihadapi pemerintah jika ingin mengembangkan sorgum, terlebih jika ingin menjadikannya sebagai subtitusi impor gandum.
Tantangan yang pertama adalah skala produksi. Bhima meyakini hanya sebagian wilayah di Nusa Tenggara atau di Indonesia bagian Timur yang bisa ditanam sorgum. Karena masyarakat di wilayah lainnya lebih tertarik menanam beras.
Musababnya, jika menanam beras, petani memiliki jaminan stabilitas harga. Misalnya harga pembelian beras atau gabah dari Perum Bulog. Sehingga, ada kepastian lanjutan bisnis jangka panjang bagi petani beras. "Jadi belum bisa, belum bisa. Skala produksi sorgum masih terlalu kecil," kata dia.
Tantangan yang kedua, Bhima mengatakan, jika pemerintah mau membuat food estate sorgum seharusnya memperbaiki dulu food estate yang sudah ada saat ini. Pasalnya, banyak food estate yang terbukti gagal pada saat pengerjaan maupun pengolahan pasca-panen.
Menurut Bhima, seharusnya kegagalan dalam proyek food estate bisa menjadi evaluasi terlebih dahulu untuk menata kekurangannya. Seperti masalah irigasi, masalah manajemen, hingga kerja sama dengan para petaninya yang banyak terjadi di daerah food estate saat ini. Kegagalan pun terbukti dari ramainya food estate dalam dua tahun terakhir, tetapi berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) ternyata luas lahan panen padi itu turun 2 persen di tahun 2021.
Kemudian tantangan ketiga, Bhima berujar komoditas sorgum memang dapat digunakan untuk bio ethanol atau bahan bakar, sama halnya dengan tebu. Sehingga, sorgum terbagi dua kegunaanya yaitu untuk pangan dan energi. Dengan demikian, pemerintah perlu menentukan ke arah mana pengembangannya.