Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Koalisi masyarakat menggugat aturan pemutihan sawit di kawasan hutan.
Pemerintah diminta tetap menegakkan pidana bagi perusahaan yang menggarap sawit di kawasan hutan.
Pekebun rakyat meminta agar penyelesaian bagi lahan mereka dibedakan.
JAKARTA – Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Komite Pembela Hak Konstitusional mendaftarkan gugatan uji materi atas dua pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan. Adapun pasal yang dipersoalkan adalah Pasal 3 ayat 1 serta Pasal 4 ayat 2 huruf c angka 4 dan 5.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua pasal tersebut dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum karena adanya pertentangan antara Undang-Undang Cipta Kerja, UU Penetapan Perpu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2021. Direktur Sawit Watch—salah satu organisasi yang tergabung dalam koalisi tersebut—Achmad Surambo, mengatakan kendati yang digugat adalah dua pasal, secara umum aturan itu bermasalah karena mengedepankan sanksi administratif dan mengabaikan proses penegakan hukum dalam penyelesaian masalah kelapa sawit di kawasan hutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rambo mengimbuhkan, aturan itu bersama Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja menjadi landasan pemutihan perkebunan sawit yang ditanam ilegal di kawasan hutan. Padahal semestinya perusahaan-perusahaan yang melanggar kawasan hutan tak hanya dijatuhi sanksi denda, tapi juga pidana. Hadirnya kebijakan ini, menurut dia, akan menjadi celah bagi perusahaan melakukan pelanggaran serupa di masa depan. "Perusahaan bisa saja menyerobot lahan dalam kawasan hutan karena ada semacam jaminan akan diputihkan lagi," ujarnya kepada Tempo, kemarin.
Menurut Rambo, gugatan yang dilayangkan kelompoknya itu merupakan upaya memastikan agar perusahaan sawit tidak mengabaikan tanggung jawab atas ketidakpatuhan dan pelanggaran yang dilakukan sejak bertahun-tahun lalu. Pemutihan usaha perkebunan sawit di kawasan hutan juga menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum yang menciptakan dampak tambahan soal penyelesaian permasalahan tanah masyarakat di kawasan hutan. "Proses pidana diabaikan dan diganti dengan memberikan sanksi berupa denda administratif justru sangat merugikan," kata dia.
Lahan Seluas 3,3 Juta Hektare Akan Diputihkan
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memberikan keterangan setelah pembukaan kegiatan Business Matching Program Minyak Goreng Curah Rakyat di Legian, Badung, Bali, 10 Jui 2022. ANTARA/Fikri Yusuf
Pada Juni lalu, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah akan melegalkan atau memutihkan lahan-lahan perkebunan sawit yang berada di kawasan hutan. Hasil audit industri kelapa sawit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan adanya 3,3 juta hektare lahan sawit yang berada dalam kawasan hutan. "Mau kami apakan lagi? Masak, mau kami copot (tanamannya)? Ya, pakai logika saja. Kami putihkan terpaksa," ujar Luhut.
Dia menjelaskan, masalah ini harus diselesaikan sesuai dengan mekanisme Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja. Dengan aturan tersebut, perusahaan yang kegiatan usahanya sudah terbangun di wilayah hutan produksi bisa mengajukan pelepasan atau pemutihan. Artinya, korporasi bisa tetap beroperasi setelah membayar denda administratif. Walhasil, perusahaan yang memiliki lahan sawit di kawasan hutan menjadi legal asalkan menyetor pajak sesuai dengan aturan dalam UU Cipta Kerja.
Baca juga: Waspada Kenaikan Harga Minyak Goreng
Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bambang Hendroyono, mengatakan pemerintah bakal mencabut perizinan perusahaan sawit yang terindikasi berada dalam kawasan hutan dan tidak menuntaskan perizinan sebelum 2 November 2023. "Kalau sebelum 2 November tidak mengajukan perizinan, pasti kena Pasal 110B. Perusahaan dicabut izinnya, sanksi administrasi 15 kali PSDH (provisi sumber daya hutan)," kata dia, 17 Juli lalu.
Kementerian Lingkungan Hidup, tutur Bambang, menerapkan sistem restorative justice dan ultimum remedium atau sanksi pidana sebagai upaya terakhir dalam menegakkan peraturan tersebut. Kementerian pun mengklaim telah meminta semua pengusaha sawit melapor sejak November 2020, ketika UU Cipta Kerja pertama kali diterapkan. Jika pengusaha sawit yang termasuk dalam Pasal 110A mengajukan perizinan, prosesnya dijanjikan selesai dalam enam bulan dengan keluarnya surat keputusan terdaftar memenuhi syarat.
Pihak yang disebut dalam Pasal 110A UU Cipta Kerja adalah setiap orang yang melakukan kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki perizinan berusaha di kawasan hutan sebelum berlakunya UU Cipta Kerja dan belum memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan di bidang kehutanan.
Rambo berujar pemerintah semestinya memprioritaskan penyelesaian desa-desa yang berada di kawasan hutan lebih dulu jika ingin serius menyelesaikan masalah ketelanjuran sawit di kawasan hutan. Menyitir data Kementerian Lingkungan Hidup, ia mengatakan ada sekitar 25.863 desa di dalam dan di sekitar kawasan hutan yang terdiri atas 9,2 juta rumah tangga. "Hingga 2023, jumlah komunitas yang berkonflik di perkebunan sawit sebanyak 1.088 kasus dengan mayoritas konflik tenurial—sebanyak 62,5 persen—yang bisa saja terjadi di kawasan hutan," kata dia.
Pekebun Rakyat Turut Terkena Dampak
Kondisi lahan bekas pembakaran yang sebagiannya ditanami sawit di kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Tebo, Jambi, 19 Mei 2023. ANTARA/Wahdi Septiawan.
Ketua Departemen Advokasi Serikat Petani Kelapa Sawit, Marselinus Andry, turut menyoroti persoalan tersebut. Ia mengatakan strategi penyelesaian kebun sawit dalam kawasan hutan melalui UU Cipta Kerja hanya menguntungkan perusahaan. "Ini tidak operasional dengan sawit rakyat, seharusnya dibedakan," kata dia.
Dengan aturan yang ada saat ini, para pekebun rakyat dengan lahan di atas 5 hektare juga dikenai sanksi administratif untuk bisa dilegalkan. Padahal, sebelum rezim aturan tersebut, penyelesaian untuk pekebun rakyat dibedakan. Di samping itu, ia mengimbuhkan, aturan yang berlaku saat ini, seperti pelaporan mandiri, sulit diterapkan pada sawit rakyat karena petani memiliki keterbatasan kemampuan dibanding perusahaan.
"Data itu enggak ada dan siapa yang akan memfasilitasi ini pun enggak ada hingga di tingkat kabupaten," ujar Andry. Menurut dia, kelembagaan penyelesaian terpusat di tingkat nasional. Sedangkan di tingkat daerah, belum ada tim yang memetakan, memverifikasi, dan menginventarisasi kebun-kebun sawit rakyat.
Lagi pula, Andry melanjutkan, belum ada petunjuk teknis untuk menyiapkan infrastruktur penghubung penyelesaian dari masyarakat yang belum terpetakan ke tim satgas. Ia juga menyoroti proses penyelesaian sawit di kawasan hutan yang sangat tertutup. Publik juga masih belum mengetahui petunjuk teknis untuk sawit rakyat dan data peta indikatif yang digunakan pemerintah. "Peta ini penting agar bisa dikawal oleh masyarakat sipil. Saat ini prosesnya cenderung tidak transparan."
Tidak Sebanding dengan Kerugian yang Ditimbulkan
Ketua Departemen Bidang Advokasi Kebijakan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Roni Septian Maulana, menilai pengampunan sawit di kawasan hutan melalui alasan ketelanjuran tidak lebih sebagai cara pemutihan alias land laundering atas ratusan kasus dugaan pidana agraria. "KPA menemukan praktiknya sangat tertutup dan tanpa kontrol publik di dalamnya, padahal keduanya merupakan dua prinsip penegakan hukum atas korupsi agraria," ujarnya.
Roni mengatakan pemerintah seharusnya menindaklanjuti temuan pelanggaran hukum atas lahan dengan mencabut izin atau hak atas tanah untuk diredistribusikan kepada petani, nelayan, masyarakat adat, dan perempuan di perdesaan, bukan diperbolehkan melanjutkan bisnisnya. Pasalnya, menurut dia, sanksi denda yang dipenuhi pengusaha sama sekali tidak sebanding dengan kerugian masyarakat dan negara.
Asumsinya, Roni melanjutkan, kalau ada 3,3 juta hektare bisnis ilegal pengusaha, lalu, misalnya, di dalamnya terdapat 1.000 desa, berarti lebih-kurang ada 2,5 juta keluarga. Apabila satu keluarga berpenghasilan Rp 5 juta per bulan, jika dikalikan 2,5 juta keluarga, artinya penghasilan masyarakat yang hilang bisa mencapai Rp 12,5 triliun. "Mengacu pada SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 196 Tahun 2023 yang menetapkan 890 pelanggar, misalnya satu pelanggar membayar denda Rp 5 miliar, artinya pemerintah hanya mendapat Rp 4,4 triliun," kata dia.
Atas persoalan itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono, membantah anggapan adanya pemutihan atau pengampunan perkebunan sawit di kawasan hutan. Musababnya, perusahaan yang telah memiliki hak guna usaha (HGU) dan petani yang sudah memiliki sertifikat hak milik (SHM) pun ada yang masuk di kawasan hutan. "Pemerintah sendiri sudah mengakui ini adalah penyelesaian ketelanjuran. Hal ini karena ketidaksinkronan antara tata ruang daerah dan pusat, terutama sebelum terbitnya UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang," tuturnya.
Ditanyai soal pengenaan denda dan pembayaran penerimaan negara bukan pajak, Eddy mengatakan organisasinya masih menunggu langkah konkret pemerintah atas kondisi tersebut. Musababnya, pelaku usaha dan petani yang sudah mengantongi HGU dan SHM seharusnya sudah jelas penyelesaiannya. "Harus dilihat sejarahnya."
Tempo telah meminta konfirmasi kembali persoalan ini kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup, Bambang Hendroyono. Namun, hingga laporan ini ditulis, pertanyaan Tempo hanya dibaca dan tak kunjung dibalas.
CAESAR AKBAR | RIANI SANUSI | ANTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo