Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Indonesia diharap bisa belajar dari Pemerintah Ukraina dalam menangani persoalan korupsi, terutama korupsi di pengadaan barang dan jasa. Hal tersebut terungkap dalam diskusi bertajuk “Bedah RUU Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ), Studi Kasus Negara Lain” yang diadakan oleh Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran atau Seknas FITRA di Jakarta pada Jumat, 21 Juli 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Manajer Kampanye dan Advokasi Seknas FITRA Ervyn Kaffah mengatakan RUU Pengadaan Barang dan Jasa Publik adalah rancangan yang penting dalam upaya pemberantasan korupsi. Rancangan undang-undang ini ditargetkan akan disahkan sebelum 2024. Saat ini sistem pengadaan barang dan jasa baru diatur melalui peraturan presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Kami berharap RUU PBJ ini dirancang dengan kerangka yang strategis dan menjadikan upaya pemberantasan korupsi sebagai prioritas karena kasus korupsi terbesar terdapat di pengadaan barang dan jasa,” ujar Ervyn.
Program Development Manager Hivos SEA Ilham Saenong mengatakan Pemerintah Indonesia bisa berkaca ke pengalaman Ukraina dalam mereformasi pengadaan barang dan jasa publik. Saat ini pengadaan publik di Ukraina secara utama didorong oleh sistem elektronik pengadaan independen bernama ProZorro.
“Mengapa Ukraina? karena latar belakangnya mirip dengan Indonesia. Ukraina adalah negara yang berulang kali mengalami revolusi, donor dependant pada negara lain, seperti Rusia atau UNI Eropa, dan adanya oligarki di pemerintahan yang menyuburkan korupsi sistemik,” ujar Ilham.
ProZorro adalah sistem pengadaan publik yang terlahir dari hasil kemitraan antara pemerintah, sektor bisnis, dan masyarakat Ukraina. Sistem pengadaan publik ini sangat inovatif dalam memberikan layanan, transparan, adil, dan berbiaya rendah.
“Sistem ini dibentuk oleh organisasi anti-korupsi, masyarakat, pebisnis, pemerintah dan lain-lain. Mereka memiliki agenda politik yang kuat dan komitmen yang tinggi, sehingga motif mereka jelas. Reformasi pengadaan barang dan jasa yang yang bersifat legal, institusional, dan organisasional,” ujar Ilham.
Karena itu ProZorro sanggup menyatukan komunitas masyarakat sipil, pebisnis, dan pemerintah untuk mencegah rasuah. Dampaknya, kasus korupsi di Ukraina turun sebesar 25 persen. Sistem ini pun berhasil mengembalikan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Bahkan di saat situasi perang, ProZorro masih tetap berjalan.
“Target utama mereka menyelamatkan potensi dana yang dikorupsi sebanyak US$10 juta dari total US$30 miliar anggaran pengadaan baran dan jasa per hari. Solusi mereka adalah sistem pengadaan elektronik yang memberikan transparansi,” ujar Ilham.
Setiap tender pengadaan barang dan jasa diumumkan secara terbuka dan selanjutnya perwakilan bisnis akan bersaing untuk mendapatkan kesempatan menjadi pemasok negara. Penawar dipilih dari tawaran terendah.
“Misal ada yang butuh beli X dengan budget sekian, harga sudah dipatok dan terbuka untuk semua. Sistem terintegrasi untuk memilih ke harga yang paling bawah, asalkan yang menjual barang dengan harga paling murah itu sudah memenuhi syarat kualifikasi dan requirements, ya transaksi terjadi,” jelas Ilham.
Selain itu, sistem pengadaan melalui ProZorro dilakukan dengan sangat cepat, sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya kecurangan. “Korupsi adalah kegiatan harga tinggi. Strategi mereka simpel tapi revolusioner, karena menyempitkan ruang korupsi, tidak seperti pengadaan elektronik lainnya.” lanjut Ilham.
Menurut Ilham, Indonesia bisa meniru kesuksesan Ukraina menerapkan ProZorro. Implementasi di Indonesia bisa dimulai dengan grand design yang fokus pada solusi untuk mengatasi korupsi. Setelah itu baru dirancang seluruh perangkat teknisnya. “Semua tender harus transaksi secara elektronik, dan harus memulai inovasi seperti low bidding, yang intinya, mengubah ekosistem oligarkis menjadi sistem terbuka. Dan ini harus didasari komitmen politik yang tinggi,” ujar Ilham.
LAYLA AISYAH
Pilihan Editor: Alasan Luhut Sebut OTT KPK Kampungan