Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pengalaman dari Cikarang Barat

Coca-Cola Amatil Indonesia bertekad menambah porsi penggunaan energi bersih di fasilitas produksi mereka di berbagai daerah. 

9 Maret 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Coca-Cola Amatil menggelontorkan investasi senilai Rp 87 miliar untuk pengadaan panel surya.

  • Industri mengeluhkan rumitnya birokrasi perizinan pemanfaatan panel surya.

  • Kementerian Energi mempertimbangkan pemberian insentif bagi pengguna energi bersih.

JAKARTA – Coca-Cola Amatil Indonesia tak gentar akan berbagai kendala dalam pemanfaatan energi baru dan terbarukan untuk kegiatan operasinya. Perusahaan pembotolan dan distribusi minuman siap saji ini malah bertekad menambah porsi penggunaan energi bersih di fasilitas produksi mereka di berbagai daerah. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Komunikasi Coca-Cola Amatil Indonesia, Lucia Karina, mengatakan perusahaan ingin berperan aktif dalam membatasi peningkatan suhu global agar tak lebih dari 1,5 derajat Celsius. Dalam rencana kerjanya, perusahaan Coca-Cola Amatil menargetkan pengurangan emisi karbon hingga mencapai nol karbon pada 2040. "Kami menargetkan setidaknya 60 persen dari kebutuhan energi kami bersumber dari energi terbarukan dan rendah karbon," kata dia saat diskusi pada 2 Maret lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dirintis pada 2017, porsi energi bersih di Coca-Cola Amatil telah mencapai 53,3 persen pada 2019. Salah satu penyumbangnya adalah pemanfaatan panel surya di atas pabrik mereka di Cikarang Barat sejak 2019. Dengan luas panel 72 ribu meter persegi, listrik yang dihasilkan per tahun mencapai 9,6 juta kWh. Pemanfaatan energi surya di fasilitas manufaktur terbesar se-Asia Tenggara ini setara dengan pengurangan 8,9 juta kilogram emisi karbon per tahun.

Capaian tersebut tak diperoleh dengan mudah. Perusahaan menggelontorkan investasi senilai Rp 87 miliar untuk pengadaan panel surya. "Biaya investasinya lumayan mahal dan titik impasnya cukup lama, 10 tahun lebih," ujar Lucia. Biaya kapasitas dan ekspor energi ke PT PLN (Persero) dipatok mahal. Di sisi lain, perusahaan masih harus menanggung biaya perawatan yang tinggi. Pasalnya, Coca-Cola Amatil menggunakan teknologi teranyar dari luar negeri yang lebih efisien.

Pengecekan arus listrik yang dihasilkan oleh panel surya di pabrik Coca-Cola Amatil Indonesia, Cibitung, Bekasi, Jawa Barat, 2 Desember 2020. Tempo/Tony Hartawan

Kendala lain yang dihadapi adalah birokrasi perizinan pemanfaatan panel surya yang rumit. Lucia mencatat, butuh waktu hingga enam bulan untuk mendapatkan izin operasi dan sertifikat laik operasi. Dia meminta pemerintah menyederhanakan perizinan untuk menarik minat lebih banyak perusahaan berpindah ke energi bersih.

Lucia juga berharap pemerintah memberikan insentif kepada pengguna energi baru terbarukan mengingat biaya investasinya yang tinggi. Dia mencontohkan, pemerintah Jerman yang memberikan insentif keuangan bagi pengusaha yang membangun pembangkit listrik tenaga surya untuk industrinya. Sementara itu, di Cina, pemerintahnya mengatur batas atas harga listrik dari panel surya atap sehingga bisa dijangkau oleh masyarakat dan industri.

Dengan berbagai tantangan tersebut, Coca-Cola Amatil masih akan melakukan ekspansi pemanfaatan energi bersih. Saat ini, perusahaan sedang melakukan studi kelayakan untuk memasang panel surya di pabrik di Pasuruan, Jawa Timur. Pada 2022, ekspansi akan dilakukan di fasilitas perusahaan di Semarang, Jawa Tengah. Ke depan, fasilitas produksi di Medan serta Surabaya pun akan dipasok dengan energi bersih.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif menyatakan pemerintah terus berupaya mendorong penggunaan energi baru terbarukan. Salah satu opsi yang sedang dipertimbangkan adalah pemberian insentif bagi pengguna energi bersih. "Sedang kami kaji, bagaimana jika nanti industri yang menggunakan energi bersih diberikan insentif khusus," tuturnya.

Selain insentif, Arifin mengimbuhkan, beberapa negara menerapkan sistem hukuman berupa denda bagi penghasil emisi karbon tinggi. Namun, menurut dia, Indonesia belum akan menerapkan skema serupa untuk mendorong energi baru terbarukan. Pemerintah, Menteri berujar, sedang menggodok peraturan presiden tentang tarif energi baru terbarukan. “Peraturan itu akan mengatur tarif yang menarik bagi investor. Bersama DPR, pemerintah juga sedang membahas RUU energi baru terbarukan,” kata dia.

VINDRY FLORENTIN
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus