Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Komoditas dan Mata Uang DCFX Futures, Lukman Leong, menyebutkan faktor utama pelemahan rupiah adalah dari eksternal, yaitu kebijakan Federal Reserve atau The Fed.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sikap Ketua The Fed Jerome Powell yang masih hawkish menyebabkan penguatan pada dolar AS dan perlemahan rupiah. Walau demikian, data-data ekonomi AS, terutama inflasi, telah menunjukkan tekanan harga sudah mulai mendingin atau cooldown," kata Lukman kepada Tempo melalui aplikasi perpesanan pada Senin, 17 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Data ekonomi AS itulah yang membuat Lukman menyimpulkan ada harapan bahwa pelemahan yang tajam terhadap mata uang rupiah bisa berakhir. "Namun, jangan terlalu berharap, karena data ekonomi bisa terus berubah dari waktu ke waktu. Seperti biasanya, BI (Bank Indonesia) akan terus memantau volatilitas nilai tukar dan mencegahnya dengan intervensi," tuturnya.
Sementara faktor internal yang berpengaruh terhadap pelemahan rupiah adalah masih lemahnya permintaan regional dan Cina, sehingga kinerja ekspor menurun. "Begitu pula permintaan domestik yang lemah, membuat penjualan ritel dan impor juga menurun."
Lukman menyebut, Bank Indonesia atau BI mungkin saja akan menaikkan kembali suku bunga (BI rate). "Walaupun ekonomi atau inflasi tidak mencerminkan tingkat suku bunga yang tinggi sekarang, namun BI senantiasa mengatakan kebijakan mereka bertujuan untuk menjaga stabilitas nilai tukar, sehingga kemungkinan untuk kenaikan suku bunga masih sangat terbuka," katanya.
Menurut Lukman, nilai tukar rupiah bisa menembus Rp 17 ribu jika BI kurang agresif dalam melakukan intervensi. "Namun, saya yakin BI telah mengantisipasi hal ini."
Lukman menambahkan, pelemahan mata uang rupiah ini pasti akan berakhir. Namun, kata dia, bukan berarti bisa diharapkan akan berakhir dengan cepat. "Semua ini pasti berakhir, cuman masalah waktu saja, tapi jangan terlalu berharap untuk cepat berakhir," katanya.