Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Center of Reform on Economics Indonesia, Mohammad Faisal, mengingatkan pemerintah dan DPR tidak gegabah menambah anggaran Kementerian Pertanian untuk proyek food estate. Menurut Faisal, kegagalan program food estate di masa Presiden Joko Widodo harus dijadikan pelajaran oleh pemerintahan berikutnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Faisal mengatakan anggaran food estate yang bersumber dari APBN tidak tepat. Harusnya, pemerintah fokus pada pemberian intensif kepada petani dan memaksimalkan produksi di lahan produktif yang ada saat ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Program food estate seperti pembukaan lahan seluas satu juta hektar tidak hanya menguras APBN, tetapi juga berpotensi merusak lingkungan. Kegagalan food estate sebelumnya harus dijadikan pelajaran," ujar Faisal kepada Tempo, Rabu 26 Juni 2024.
Dalam kerja bersama Komisi IV DPR RI, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengusulkan tambahan anggaran sebesar Rp 25 triliun. Uang itu akan digunakan untuk mendukung program Presiden terpilih, Prabowo Subianto, untuk membuka sawah satu juta hektar.
Menurut Faisal meningkatkan produksi pangan tidak mesti dengan memperluas lahan pertanian. Justru yang terpenting adalah meningkatkan produktivitas lahan pertanian yang ada saat ini. "Ekstensifikasi memang salah satu cara untuk meningkatkan hasil produksi. Tapi ada intensifikasi. Ini yang harus diupayakan," katanya.
Faisal melanjutkan, Indonesia akan mengalami krisis pangan bila kebijakan di sektor pertanian tidak diperbaiki. Sejumlah tantangan, seperti krisis iklim, minimnya petani usia produktif dan alih fungsi lahan pertanian masih terus terjadi. "Tantangan dalam intensifikasi justru yang sering terjadi lahan pertanian yang sudah ada sering kali dialihfungsikan ke fungsi-fungsi non-pertanian. Seperti untuk permukiman dan industri," ujarnya.
Berdasarkan data dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang tahun 2022, lahan sawah di Indonesia menyusut seluas 100.000-150.000 hektar tiap tahunnya. Jika dikonversikan, artinya ada sawah yang hilang seluas 207 lapangan sepak bola perharinya. Kemudian berdasarkan data Kementerian Pertanian pada tahun 2020, luas lahan sawah dalam rentang 2015-2019 berkurang seluas 600.000 hektar.
Maka dari itu, Faisal mendorong adanya regulasi yang lebih ketat agar lahan pertanian produktif tidak makin tergerus. "Ini yang membuat produksi itu juga berkurang karena lahan pertaniannya semakin lama semakin sedikit. Padahal di banyak negara lain lahan-lahan yang subur untuk pertanian itu dijaga. Tidak boleh tata guna lahan itu diubah dengan mudah," katanya.
Pilihan editor: Walhi Prediksi Deforestasi Meningkat di Pemerintahan Prabowo-Gibran, Ini Indikatornya
NANDITO PUTRA