Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengapa Penjualan Pakaian Bekas Impor Tetap Marak

Meski sudah dilarang, penjualan pakaian bekas impor masih meningkat saat Lebaran. Penindakan masih belum ketat.

13 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sepanjang 2023, Kementerian Perdagangan telah memusnahkan pakaian impor bekas senilai Rp 174,8 miliar.

  • Penjualan pakaian bekas impor masih bisa ditemui di berbagai kota besar.

  • Pemerintah mengubah mekanisme pengawasan impor dari semula post border menjadi border.

PAKAIAN bekas beraneka jenis dan warna berjejer di badan jalan Pasar Senen, Jakarta, Ahad, 7 April lalu. Tiga hari menjelang perayaan Idul Fitri, kawasan tersebut dipadati warga yang hendak berbelanja. Saat Tempo berkunjung ke sana pada pukul 23.06, pembeli masih tampak berdesakan memilih pakaian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Parulian, salah seorang pedagang, menjual sehelai kemeja bekas berbahan flanel dengan harga Rp 85 ribu. “Masih bisa ditawar,” kata dia. Parulian mengaku mematok harga demikian karena jenis baju tersebut merupakan pakaian bekas impor yang sudah dipilih. Ada pula pakaian bekas impor yang dijual lebih murah karena kualitasnya jelek atau terdapat cacat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut dia, peminat pakaian bekas impor masih tinggi. “Biasanya meningkat saat Lebaran,” kata Parulian. Pakaian bekas banyak dicari karena harganya murah. Selain itu, ia menambahkan, kualitasnya bisa menyamai produk baru buatan dalam negeri. Tingginya permintaan terlihat dari antusiasme pembeli di Pasar Senen yang terus ramai menjelang dinihari.

Jual-beli sepatu di sepanjang Jalan Senen Raya, Pasar Senen, Jakarta, 7 April 2024. TEMPO/Febri Angga Palguna

Peredaran pakaian bekas impor merugikan industri dalam negeri. Karena itu, masuknya pakaian bekas ke Indonesia dilarang sejak lama. Pada 2015, Kementerian Perdagangan mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tahun 2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas.

Selanjutnya, pada 2022, Kementerian Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022. Peraturan itu melarang impor pakaian bekas dan barang bekas lainnya. Meski sudah dilarang, peredaran pakaian impor ternyata tetap tinggi. Buktinya, sepanjang 2023 Kementerian Perdagangan telah memusnahkan pakaian bekas impor senilai Rp 174,8 miliar.

Tahun Ini Pengawasan Lebih Longgar

Parulian mengaku mengetahui larangan perdagangan pakaian bekas impor. Tahun lalu, ucap dia, bahkan ada penindakan terhadap penjual pakaian bekas di Pasar Senen. “Tapi, pada Lebaran tahun ini pengawasannya sedikit lebih longgar, jadi masih bisa berjualan,” katanya.

Pedagang yang berjualan baju bekas sejak 2004 ini mengakui peredaran pakaian bekas impor tetap tinggi lantaran kendurnya pengawasan pasokan dari luar negeri. Dia berharap pemerintah tidak lagi menindak pedagang. “Kalau pedagang tidak bisa dilarang karena ini urusan perut,” ujarnya.  

Larangan impor pakaian bekas membuat pedagang baju bekas atau yang dikenal dengan istilah monza di Kota Medan, Sumatera Utara, kekurangan pasokan. Meski demikian, penjualannya masih menjamur di sejumlah pasar.

Di Pajak Sambu, yang merupakan pasar tradisional tua di Medan, deretan penjual monza tak sulit ditemukan. Gorden, kemeja, tunik, celana panjang dan pendek, hingga pakaian dalam bekas impor digantung di area pasar. Harganya Rp 50-150 ribu per potong. Jika pandai menawar, pembeli bisa mendapat pengurangan harga meski tidak banyak.

Di bawah pakaian yang digantung biasanya ada tumpukan pakaian yang lebih murah. Harganya bahkan bisa hanya Rp 5.000 per potong. Pakaian murah itu kualitasnya tidak sebaik pakaian yang digantung. Ada pakaian yang robek di bagian ketiak, ternoda, atau kualitas jahitannya buruk.

"Pakaian sisa sortiran biasanya diborong orang bengkel,” kata Rudi, pedagang di Pajak Sambu, Kamis, 28 Maret lalu. Ia membenarkan permintaan baju bekas selalu meningkat setiap Ramadan dan Lebaran. Menurut Rudi, pasokan pakaian bekas mayoritas berasal dari Singapura.

Pedagang monza menggelar dagangannya di Pajak Sambu, Kota Medan, 28 Maret 2024. TEMPO/Mei Leandha

Sementara itu, Boru Munthe, pedagang monza di Pasar Singa, Kabanjahe, Sumatera Utara, mengatakan mendapat pasokan dari Pasar Simalingkar, Medan. Pasar itu dijadikan gudang besar penyimpanan pakaian bekas impor oleh para tauke dari Tanjungbalai dan Belawan. Pada hari-hari tertentu, pedagang dari berbagai daerah datang ke Simalingkar untuk membeli ballpress alias pakaian bekas dengan harga Rp 3-7 juta per karung.

Banyak Razia di Laut

Setelah muncul larangan impor, Boru Munthe merasa pasokan kian berkurang dan tak banyak pilihan. Dari tengkulak, Munthe mendapat kabar banyak razia di laut sehingga monza dari Singapura susah masuk ke pelabuhan.

M. Iqbal Nasution, pedagang pakaian bekas lainnya, mengakui saat ini pasokan dan pilihan jenis ballpress makin minim. Meski demikian, ia tidak menyia-nyiakan kesempatan berjualan menjelang Idul Fitri karena selalu ramai peminat. “Dari luar kota juga datang ke Medan untuk membeli monza,” kata dia. Iqbal mengatakan barang-barang bekas tersebut datang dari Singapura, Thailand, Malaysia, Cina, Korea Selatan, dan Australia melalui Batam.

Barang bekas dari luar negeri, menurut Iqbal, mendatangkan keuntungan bagi masyarakat yang membutuhkan pekerjaan. Karena harganya murah, pakaian bekas impor dapat dijual kembali. Ia berharap pemerintah meninjau kembali larangan impor pakaian bekas. "Kalau tidak dilegalkan, artinya kami yang mencari makan dari menjual monza sama seperti menjual barang haram atau narkoba.” 

Penindakan impor pakaian bekas terus dilakukan oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Sumatera Utara dengan memperketat pengawasan di pelabuhan ataupun bandar udara. Mengenai keluhan pedagang, Kepala Humas Kantor Wilayah Bea dan Cukai Sumatera Utara Fatima Ritha Uli Hutabarat mengatakan larangan impor pakaian bekas dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan. "Bea dan Cukai hanya menjalankan," kata Fatima, Ahad, 31 Maret 2024.

Di Surabaya, Jawa Timur, fenomena thrifting atau berbelanja pakaian bekas membuat peredaran barang tersebut tetap ada. Hal itu terlihat saat Tempo mengunjungi Festival Big Bang di Grand City Convex, Surabaya, Rabu, 27 Maret lalu. Ada 15 stan thrifting yang dipadati pengunjung. Salah satu stan bernama Cantolan Kastok tampak menjual busana hingga aksesori bekas pria ataupun wanita. Pemiliknya, Arif Suwandi, mengatakan pakaian dan aksesori itu dijual dari harga Rp 30 ribu hingga Rp 500 ribu.

Mengenai larangan impor barang, Arif mengaku tak terpengaruh. Sebab, dirinya mengambil stok pakaian bekas dari lapak di Surabaya. “Kami tangan kedua. Hanya, ke depan, kami ingin mengambil langsung dari impor,” ujar dia. Arif menuturkan permintaan pakaian dan aksesori bekas meningkat 50-100 persen tiap menjelang Lebaran.

Ketua Umum Asosiasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Indonesia Hermawati Setyoriny mengatakan di tengah penurunan daya beli masyarakat, keberadaan pakaian bekas ataupun baru impor yang lebih murah ketimbang produk dalam negeri kerap menjadi pilihan.   

Menurut dia, pemerintah perlu menunjukkan keberpihakan kepada pelaku usaha tekstil dalam negeri dengan menindak tegas importir baju bekas. "Meski sudah dilarang bertahun-tahun, peredarannya masih ada karena implementasi aturan belum ketat," kata dia saat dihubungi pada Senin, 8 April lalu. 

Hermawati menambahkan, saat ini dukungan yang paling dibutuhkan oleh industri tekstil dalam negeri adalah pembatasan impor, baik pakaian bekas maupun baru. Ia juga menyarankan pemerintah berfokus memperketat pengawasan di perbatasan ketimbang di tingkat pedagang. 

Industri Tekstil Lokal Tertekan Produk Impor

Banjir pakaian impor membuat pertumbuhan industri tekstil terus tertekan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pertumbuhan produk domestik bruto industri tekstil dan pakaian jadi pada 2023 minus 1,98 persen.  Hermawati berujar, hal yang bisa dilakukan industri dalam negeri untuk bertahan hanyalah dengan menjaga kualitas.

Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Jemmy Kartiwa mengatakan masalah pada industri tekstil dan produk tekstil Indonesia terjadi sejak akhir 2022. Saat itu, utilisasi pabrik turun hingga di bawah 50 persen. Akibatnya, banyak karyawan perusahaan tekstil yang dirumahkan. "Hal ini terjadi gara-gara banjirnya produk impor yang berkompetisi secara tidak sehat di pasar domestik."

Jemmy menuturkan kinerja industri tekstil harus dijaga karena perannya sebagai industri padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja. Ia pun mendesak pemerintah supaya tegas mengimplementasikan dua aturan baru yang diterbitkan oleh Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan. 

Pada 2023, Kementerian Perdagangan mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 yang kemudian direvisi oleh Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Aturan ini mengubah mekanisme pengawasan barang impor dari semula post border atau setelah barang beredar di pasar menjadi border atau sebelum barang keluar dari kawasan pabean.

Kementerian Perindustrian juga mengeluarkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 5 Tahun 2024 tentang Tata Cara Penerbitan Pertimbangan Teknis Impor Tekstil dan Produk Tekstil. Tujuannya adalah memperketat impor barang jadi yang dapat mengganggu industri dalam negeri.

Asosiasi Pertekstilan optimistis implementasi dua peraturan ini adalah kombinasi yang tepat untuk menunjukkan perhatian pemerintah terhadap industri padat karya. “Kalau kedua peraturan itu diterapkan, penguatan industri padat karya di Indonesia bisa benar-benar terwujud dalam waktu cepat,” ujarnya.

Adapun Ketua Umum Asosiasi Serat dan Benang Filamen Indonesia Redma Gita Wirawasta menyatakan dua aturan yang dikeluarkan pemerintah mulai meningkatkan kinerja industri tekstil dan produk tekstil. Meskipun belum secara signifikan, trennya mulai positif. 

Redma memproyeksikan, dengan pengetatan aturan impor, peningkatan kinerja di sektor tengah atau antara akan makin terlihat dalam dua hingga tiga bulan ke depan. Sedangkan peningkatan kinerja di sektor hulu terlihat dalam tiga hingga empat bulan ke depan. Ia menambahkan, peredaran pakaian bekas impor cukup mengganggu industri tekstil. “Namun keberadaan pakaian baru dan kain impor yang masuk secara ilegal lebih mengganggu lagi,” ujarnya.

Ditanya perihal peredaran pakaian bekas impor yang masih menjamur, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Budi Santoso mengakui pengawasan di lapangan perlu diperketat. Menurut dia, keberadaan peraturan baru akan mampu memperketat penindakan impor pakaian bekas. Ia menegaskan, meski pakaian bekas impor masih beredar di pasaran, jumlahnya kini sudah banyak berkurang.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Mei Leandha dari Medan dan Hana Septiana dari Surabaya berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus