Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Harga minyak goreng curah masih jauh dari HET.
Pedagang mengaku kesulitan menjual minyak goreng sesuai dengan HET.
Kementerian Perindustrian mengancam perusahaan yang belum menyalurkan minyak goreng curah bersubsidi.
JAKARTA — Sudah sebulan diberi subsidi, harga minyak goreng curah masih belum menyentuh harga eceran tertinggi (HET) yang dipatok Rp 15.500 per kilogram. Merujuk pada data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, kemarin, rata-rata nasional harga komoditas ini mencapai Rp 20 ribu per kilogram.
Data tersebut diverifikasi oleh Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar se-Indonesia, Abdullah Mansuri. “Sekarang harga di pedagang masih Rp 19-21 ribu per kilogram,” tutur dia saat dihubungi, kemarin.
Dia menyatakan sulit buat pedagang menjual barangnya sesuai dengan HET. Harga jual di agen sudah melampaui batas HET, sekitar Rp 18 ribu per kilogram. Ditambah dengan biaya transportasi, pembungkusan produk, serta keuntungan, dia menyebutkan wajar harga minyak goreng curah di pasar kini sekitar Rp 20 ribu per kilogram.
Abdullah mengatakan tingginya harga di agen dipicu oleh jalur distribusi yang panjang. Sebelum sampai di agen, minyak goreng lazimnya disalurkan melewati minimal dua distributor. Dia berharap pemerintah menugaskan badan usaha milik negara atau entitas pemerintah lainnya untuk mengambil alih distribusi dan mempersingkat jalurnya. Barulah dengan skema tersebut, dia menilai harga bisa sesuai dengan HET di pasaran.
Ketua Umum Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia, Sudaryono, berharap pengawasan hingga tingkat pengecer diperketat untuk memastikan minyak goreng curah bisa dijual sesuai dengan HET. “Kami juga tidak mau di kemudian hari ada anggota kami atau pedagang yang terjerat hukum (karena menjual minyak di atas HET),” katanya.
Distribusi minyak goreng HET di Pasar Senen Blok III, Jakarta, 17 Maret 2022. TEMPO/Tony Hartawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebijakan HET ini merupakan langkah teranyar pemerintah merespons kenaikan harga serta kelangkaan minyak goreng yang terjadi sejak akhir tahun lalu. Sebelumnya, pemerintah mencoba mengendalikan pasar lewat kebijakan satu harga. Tak berhasil mengubah keadaan, pemerintah mengganti kebijakan itu dengan penerapan HET minyak goreng curah, kemasan sederhana, dan kemasan premium. Strategi yang dibarengi dengan domestic market obligation dan domestic price obligation itu pun tidak mengubah situasi.
Mulai bulan lalu, pemerintah mewajibkan produsen minyak goreng memasok minyak curah seharga Rp 14 ribu per liter atau Rp 15.500 per kilogram selama enam bulan. Selisih biaya produksi dengan HET ditalangi pemerintah menggunakan dana kelolaan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Volume yang akan disubsidi sebanyak 1,2 juta liter dengan biaya mencapai Rp 7,28 triliun. Angka tersebut dihitung dari harga keekonomian produksi yang ditetapkan Rp 20.398 per liter dikurangi HET Rp 14 ribu per liter.
Tempo berupaya menghubungi Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika, serta juru bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri, mengenai penyaluran minyak goreng curah bersubsidi. Namun tak ada jawaban dari keduanya.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menuturkan pemerintah terus mengupayakan penyediaan minyak goreng curah sesuai dengan HET. Kementerian Perindustrian, ucap dia, memantau realisasi penyaluran dari para produsen, distributor, serta pengecer lewat aplikasi SIMIRAH secara langsung. “Kami akan memberikan sanksi kepada perusahaan yang belum merealisasi penyaluran minyak goreng curah bersubsidi atau yang realisasinya di bawah target,” ujarnya. Sanksi yang diberikan bisa berupa teguran tertulis, denda, hingga pembekuan izin berusaha.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, menuturkan HET minyak goreng curah yang ditetapkan saat ini terlalu jauh dari keekonomian. “Harga CPO saja sekarang Rp 15-16 ribu per liter,” katanya. Tingginya harga CPO dan rantai distribusi yang kompleks, menurut Tauhid, dapat memicu kelangkaan pasokan di kemudian hari.
VINDRY FLORENTIN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo