Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
BPK menilai perencanaan bansos PKH dan bahan pokok belum melibatkan pemerintah daerah.
Pemerintah daerah hanya diminta mengusulkan calon keluarga penerima manfaat.
Sinergi pusat dan daerah menjadi kunci bansos tepat sasaran.
JAKARTA – Badan Pemeriksa Keuangan menemukan bahwa perencanaan Program Keluarga Harapan (PKH) dan bantuan sosial (bansos) bahan pokok masih belum memadai. Salah satu sebabnya adalah penetapan kuota, jumlah keluarga penerima manfaat (KPM), dan lokasi, serta anggarannya belum melibatkan dinas sosial di daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dinukil dari laporan hasil pemeriksaan kepatuhan atas pengelolaan dan pertanggungjawaban belanja bantuan sosial penanganan Covid-19 lanjutan tahun 2022 sampai triwulan III 2022, auditor negara mendapati dinas sosial di tingkat provinsi, kota, serta kabupaten tidak memiliki peran serta fungsi dalam menentukan kuota, jumlah KPM, dan lokasi bansos. Hal ini terjadi lantaran dinas di daerah tidak dilibatkan Kementerian Sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tapi dalam hal koordinasi perencanaan dan pengelolaan DTKS atau Data Terpadu Kesejahteraan Sosial, (dinas sosial) tetap terlibat. Yakni dalam proses usulan data serta verifikasi dan validasi, pengendalian/penjaminan kualitas, penetapan, dan penggunaan," demikian termaktub dalam laporan tersebut, yang dikutip kemarin.
Dinas sosial di tingkat daerah sejatinya dapat menyampaikan usulan calon KPM melalui Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial Next Generation (SIKS-NG). Namun hal tersebut hanya sebatas pengajuan calon KPM, tidak sampai pada usulan kota dan sebaran daerah lokasi penerima bansos. Adapun penentuan kuota, jumlah KPM, lokasi, serta anggaran dianggap belum didukung hitungan yang akuntabel.
Penyerahan bantuan Asistensi Rehabilitasi Sosial (Atensi) Kementerian Sosial di Pekalongan, Jawa Tengah, 5 Juli 2023. ANTARA/Harviyan Perdana Putra
Temuan BPK tersebut dibenarkan Kepala Dinas Sosial Kota Semarang, Heroe Soekendar. Ia mengatakan instansinya hanya memperbarui serta mengusulkan penerima bantuan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selanjutnya, penerima bantuan diputuskan Kementerian Sosial.
"Ihwal dana bansos dari APBN (Kementerian Sosial), tugas dinas sosial hanya melakukan update data dan pengusulan penerima bansos di DTKS melalui aplikasi SIKS-NG. Kami juga melakukan monitoring penyaluran bansos, khususnya PKH dan bahan pokok," ujar Heroe kepada Tempo, kemarin. Dalam hal penentuan kuota, nama-nama penerima bansos, anggaran, dan lain-lain, keputusannya tetap ada di Kementerian Sosial. Dinas Sosial Semarang baru dilibatkan lagi pada tahap dalam penyaluran bansos.
Kepala Bidang Penanganan Fakir Miskin Kota Semarang, Primasari Yuswardhani Suryaningtyas, menuturkan dampak dari hal tersebut adalah adanya laporan keberatan dari warga. Dinas Sosial Semarang kerap menerima laporan dari warga yang tidak mendapat bantuan pada periode tersebut, padahal sebelumnya dapat. "Aduan yang paling sering kami terima adalah masyarakat yang ingin mengajukan bansos atau masyarakat yang sebelumnya penerima bansos, baik PKH maupun BPNT (bantuan pangan non-tunai), yang bansosnya tidak keluar lagi."
Setali tiga uang, Kepala Dinas Sosial Jawa Barat, Dodo Suhendar, mengatakan Kementerian Sosial tidak melibatkan dinas sosial setempat dalam penyaluran bansos. "Pemerintah daerah hanya menyampaikan usulan calon KPM PKH yang telah divalidasi atau hasil verifikasi dan pemutakhiran data melalui SIKS-NG," kata dia kepada Tempo, Sabtu, 8 Juli lalu.
Dodo berujar data yang disodorkan pemerintah daerah sebatas usulan. Keputusan akhir ada pada Kementerian Sosial sesuai dengan Peraturan Menteri Sosial Nomor 1 Tahun 2018. Ia menuturkan warga bisa mengusulkan diri menjadi calon penerima bansos dengan mendaftar di kantor desa atau kelurahan, atau melalui usulan rukun tetangga atau rukun warga.
Ia mengimbuhkan, tidak dilibatkannya pemerintah daerah dalam penyaluran bansos juga menyulitkan petugas menindaklanjuti keluhan warga. "Ketika ada keluhan, kami tidak bisa tindak lanjuti karena data BNBA (by name by address) sasaran di Pusdatin Kemensos tidak bisa kami akses. Biasanya keluhan diteruskan ke Pusdatin," kata dia.
Kepala Dinas Sosial Sumatera Utara, Sri Suriani Purnawati, juga mengatakan pemerintah provinsinya tidak pernah dilibatkan oleh pemerintah pusat dalam program bansos, dari tingkat perencanaan, penetapan, hingga pengawasan. "Kalau ada warga mengeluhkan bansos, agar dapat diusulkan melalui kabupaten kota ke Kementerian Sosial," ujarnya.
Kuota Disesuaikan dengan Anggaran
Pelibatan pemerintah daerah hanya salah satu persoalan yang menyebabkan BPK menilai proses penentuan kuota, jumlah KPM, lokasi, serta anggaran PKH dan bansos bahan pokok 2022 belum memadai. Persoalan tersebut menyebabkan penambahan dan perhitungan anggaran PKH tidak mempertimbangkan data sebaran tingkat kemiskinan di daerah. Penambahan dan perhitungan kuota KPM PKH pun dianggap tidak disusun dengan mempertimbangkan kebutuhan yang sebenarnya.
Alokasi KPM program bahan secara nasional pun dinilai tidak memiliki dasar penetapan. BKP menilai perhitungan kuota dan penentuan lokasi KPM program bantuan bahan pokok tidak transparan serta tidak akuntabel, sehingga tujuan dan manfaatnya tidak dapat tercapai dengan baik.
Menanggapi hasil pemeriksaan BPK tersebut, Staf Khusus Menteri Sosial Bidang Komunikasi dan Media Massa, Don Rozano Sigit Prakoeswa, menyebutkan pemerintah daerah senantiasa dilibatkan dalam upaya perbaikan DTKS. Sebagai contoh, sejak April 2021 hingga Juni 2023, sebanyak 65.228.196 data dibersihkan, dengan data yang dikoreksi bersama sebanyak 40.255.866 data.
"Memang pemerintah daerah hanya mengusulkan siapa yang masuk DTKS. Sedangkan kuota disesuaikan dengan anggaran dan RPJMN (rencana pembangunan jangka menengah nasional)," ucap Don kepada Tempo. Ia menambahkan, usulan yang masuk kemudian diproses kembali oleh Kementerian Sosial. "Untuk yang tidak bisa diproses, akan keluar alasannya, misalnya apakah karena KTP nonaktif, tidak layak, data tidak lengkap, atau telah menerima bansos lain."
Don mengungkapkan, dalam proses penentuan kuota, Kementerian Sosial juga menyesuaikannya dengan proporsi angka kemiskinan dari Badan Pusat Statistik, pemerataan atau distribusi berdasarkan jumlah penduduk miskin di tiap daerah, serta status penerima bansos existing. DTKS pun, kata dia, senantiasa menjadi acuan basis data.
"Ihwal adanya temuan penerima bansos yang tidak layak, seharusnya daerah yang menentukan, melakukan update kepada kami, serta mengusulkan mana yang masuk dan mana yang dihapus," tuturnya. Tugas pemerintah daerah juga termasuk mengusulkan penghapusan data penerima bansos yang sudah menjadi aparat negara. Sebab, ujar dia, pemadanan data DTKS dengan data Badan Kepegawaian Negara tidak dilakukan setiap hari.
Warga antre dalam verifikasi bantuan sosial bahan pangan di halaman Monumen Perjuangan Rakyat di Bandung, Jawa Barat, 10 Mei 2023. TEMPO/Prima Mulia
Temuan BPK Sudah Ditindaklanjuti
Secara umum, Don mengatakan, Kementerian Sosial sudah menindaklanjuti berbagai temuan dalam laporan hasil audit BPK. Misalnya, soal penyaluran bansos senilai Rp 185,23 miliar yang terindikasi tidak tepat sasaran. Dalam laporannya, BPK menemukan penetapan dan penyaluran kepada sejumlah pihak yang tidak berhak, seperti aparatur sipil negara, pendamping sosial, tenaga kerja dengan upah di atas UMR, hingga orang yang sudah meninggal.
"Kami sudah melakukan pemadanan dengan dinas kependudukan dan pencatatan sipil sebelum penyaluran. BPK juga melakukan pengecekan setelah penyaluran." Namun, kata Don, karena status penerima manfaat bersifat dinamis, sangat mungkin terjadi perbedaan. "Sekarang sudah dilakukan tindak lanjut dan hasilnya dikirim ke BPK untuk mendapat penetapan dari BPK."
Sementara itu, temuan program kartu keluarga sejahtera yang tidak terdistribusi atau KPM tidak bertransaksi senilai Rp 165 miliar, kata Don, terjadi karena BPK melakukan pengecekan ketika program masih dalam tahap penyaluran. Saat ini, dia melanjutkan, semua sudah disalurkan. Sedangkan yang tidak berhasil disalurkan sudah dikembalikan seluruhnya ke kas negara.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia, Mohammad Faisal, mengatakan temuan BPK tersebut, khususnya soal pelibatan daerah, harus menjadi catatan bagi pemerintah. Musababnya, ia yakin pemerintah daerah lebih mengetahui kondisi masyarakat di wilayahnya masing-masing sehingga penyaluran bantuan bisa lebih tepat sasaran.
Di samping itu, pelibatan pemerintah daerah dapat meningkatkan rasa kepemilikan atas program penghapusan kemiskinan dan pelindungan sosial tersebut. Apalagi selama ini program tersebut masih kerap salah sasaran, dari masalah pendataan, penentuan KPM, lokasi, hingga kuota. "Kalau tidak tepat, bisa jadi ada orang miskin yang tidak dapat atau mereka yang seharusnya tidak menerima malah dapat."
Adapun menurut Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies, Yusuf Wibisono, berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011, kewenangan mengusulkan penambahan dan pengurangan KPM bansos dalam DTKS ada pada pemerintah daerah bersama pemerintah lingkup terkecil, yaitu pemerintah desa atau kelurahan. Karena itu, ia merasa desain kebijakannya sebenarnya sudah melibatkan pemerintah daerah secara aktif dalam penetapan DTKS.
Namun, ia melanjutkan, banyak pemerintah daerah merasa usulan mereka sering tidak dipenuhi Kementerian Sosial. "Kami melihat koordinasi dan sinergi pusat-daerah ini lemah, bahkan sering kali saling menyalahkan ketika masalah DTKS terus terungkap setiap tahun dalam audit BPK," kata Yusuf.
CAESAR AKBAR | GHOIDA RAHMAH | AHMAD FIKRI (BANDUNG) | JAMAL A. NASR (SEMARANG) | MEI LEANDHA (MEDAN)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo