Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Perbanas Imbau Perbankan Tingkatkan Manajemen Risiko

Pemerintah mewaspadai potensi penurunan kepercayaan investor setelah mencuatnya kasus gagal bayar Jiwasraya.

10 Januari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA - Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) mengingatkan industri perbankan untuk meningkatkan manajemen risiko dan kehati-hatian setelah terjadinya kasus gagal bayar produk bancassurance JS Saving Plan milik PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Apalagi setelah kasus tersebut ikut menyeret tujuh bank karena berperan sebagai agen distribusi penjualan produk JS Saving Plan, yang terbit mulai 2012 dengan imbal hasil 9-13 persen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Bank wajib melakukan assessment terkait produk yang akan dijual oleh mereka. Harus dideteksi dalam manajemen risiko apakah perusahaan mitra itu layak dan memiliki kinerja yang baik," ujar Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perbanas, Aviliani, kepada Tempo, kemarin. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aviliani menuturkan perlindungan konsumen harus menjadi prioritas utama. Sebab, bisnis jasa keuangan sangat bergantung pada kepercayaan konsumen atau nasabah. "Karena kalau diabaikan dapat menimbulkan risiko reputasi atau menurunnya kepercayaan konsumen kepada bank tersebut," kata dia.

Bank juga diimbau untuk mensosialisasi peran serta tanggung jawabnya secara jelas kepada nasabah ketika berperan sebagai agen distribusi penjualan. "Karena seperti dalam kasus Jiwasraya ini, bank sebenarnya tidak bertanggung jawab langsung seperti mengganti dana nasabah ketika terjadi permasalahan dalam kemampuan membayar klaim," ucap Aviliani. Hal itu, kata dia, sepenuhnya menjadi tanggung jawab Jiwasraya.

Dalam menjual JS Saving Plan, Jiwasraya menggandeng tujuh bank. Mereka adalah Bank Rakyat Indonesia (BRI), Standard Chartered Bank, Bank Tabungan Negara (BTN), Bank KEB Hana, Bank QNB Indonesia, Bank ANZ Indonesia, dan Bank Victoria. Sejak Jiwasraya mengumumkan gagal bayar klaim senilai Rp 802 miliar pada Oktober 2018, nasabah hingga saat ini belum mendapatkan kepastian tentang waktu pencairan dana yang diinvestasikan.

Menurut Aviliani, di tengah kondisi ketidakpastian ihwal waktu pencairan dana nasabah, bank selaku agen tetap harus memberikan pendampingan. "Bank harus sampaikan posisi mereka. Sebisa mungkin tidak lepas tangan untuk membantu dan berempati menjadi perpanjangan tangan nasabah pemegang polis ke Jiwasraya," kata dia.

Sementara itu, pemerintah mulai mewaspadai potensi penurunan kepercayaan investor selepas munculnya kasus gagal bayar Jiwasraya. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengungkapkan salah satu indikasinya tecermin dari melemahnya kinerja indeks harga saham gabungan (IHSG) sebesar 0,85 persen pada Rabu lalu. Pelemahan itu terjadi setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan adanya dugaan penyimpangan dalam penerbitan produk JS Saving Plan dan tata kelola investasi oleh manajemen Jiwasraya. "Bursa melemah karena orang tidak percaya dan akhirnya investor lari ke negara lain," ucap dia.

Erick menuturkan, untuk menjaga iklim investasi tetap kondusif, Kementerian BUMN akan mendorong percepatan solusi penyehatan Jiwasraya. "Mulai dari pembentukan anak usaha yang nantinya akan menghasilkan dana yang dapat digunakan untuk mencicil pembayaran nasabah pemegang polis," kata dia.

Sebelumnya, Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengatakan skandal Jiwasraya menyimpan risiko sistemik yang patut diwaspadai. "Karena kasus ini cukup besar skalanya. Bahkan, saya katakan ini gigantic," ujar dia. Saat ini, perusahaan asuransi pelat merah itu memiliki 17 ribu investor dan 7 juta nasabah. Kerugian negara yang ditimbulkan atas dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan keuangan dan investasi itu diperkirakan mencapai Rp 13,7 triliun.

Meski berskala gigantic, anggota Komite Investasi Bidang Komunikasi dan Informasi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Rizal Calvary Marimbo, meyakini kasus Jiwasraya tak akan banyak berdampak pada iklim investasi dalam negeri, khususnya di sektor riil. "Untuk bisa dianggap mengganggu, Jiwasraya harus punya daya ganggu sistemik baik ke sektor moneter, keuangan, maupun pengelolaan ekonomi nasional," kata Rizal.

FAJAR PEBRIANTO | GHOIDA RAHMAH

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus