Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Cara Menghitung Harga Karbon

Masyarakat dan perusahaan sudah berdagang karbon di pasar sukarela. Belum ada penetapan standar harga.

3 September 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Warga Bujang Raba meraup dana Rp 1 miliar per tahun dari perdagangan karbon.

  • GoTo sudah menawarkan perdagangan karbon untuk pengguna Gojek.

  • Pembentukan harga masih didasari negosiasi.

KEGIATAN jasa lingkungan di hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur atau Bujang Raba di Kabupaten Bungo, Jambi, terhenti sejak 2021. Namun sampai sekarang warga Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo, masih mendapatkan keuntungan dana hasil penjualan karbon di hutan itu. “Dana untuk masyarakat turun berkala," kata Emmy Primadona, Koordinator Program Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, pada Selasa, 29 Agustus lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bujang Raba yang dikelola oleh masyarakat dan KKI Warsi ikut dalam pasar karbon sukarela sejak 2018. Karbon yang tersimpan di hutan Bujang Raba, menurut Emmy, dibeli sebuah perusahaan jasa perjalanan di Stockholm, Swedia. Perusahaan itu membeli karbon melalui firma penjualan dan penyeimbang karbon, Zerromission. Dana dari penjualan karbon mengalir sejak 2019, saat itu mencapai Rp 400 juta. Setahun berikutnya, hasil yang diterima masyarakat melesat sampai Rp 1 miliar. Dana itu digunakan untuk rehabilitasi hutan, pemasangan tanda batas hutan, patroli, hingga pembangunan fasilitas desa dan program sosial.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penasihat KKI Warsi Rudi Syaf mengatakan dana yang diperoleh dari jasa lingkungan masuk skema perdagangan karbon sukarela. Artinya, orang atau perusahaan membeli kredit karbon secara sukarela sebagai kompensasi atas emisi karbon yang dibuang dari aktivitas mereka. Penetapan harga karbon, Rudi menjelaskan, didasari negosiasi pembeli dengan pemilik kredit karbon. Nilainya dihitung oleh Yayasan Plan Vivo, yang sekaligus menerbitkan sertifikat serta offset kredit.

Di hutan Bujang Raba, ada lima desa yang terlibat dalam pengelolaan hutan sosial seluas 7.000 hektare. Rudi mengatakan, dengan basis luas kawasan itu, penerbit offset menghitung stok karbon. Dari hitungan itu, Bujang Raba memiliki 400 ribu ton karbon yang sudah disertifikasi untuk 10 tahun. “Jadi rata-rata ada 40 ribu ton per tahun,” ujarnya. Karena Bujang Raba memakai skema imbal jasa lingkungan, Rudi menambahkan, harga karbonnya hanya US$ 6 per ton. “Bergantung pada lembaga yang akan mendukung, mereka mampu bayar berapa," tuturnya. Karena itu, jika bursa karbon sudah beroperasi, Rudi berharap harganya bisa lebih tinggi.

Penghitungan jejak karbon juga dilakukan oleh PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk atau GoTo. Operator aplikasi jasa transportasi Gojek ini menyediakan layanan serapan jejak karbon melalui GoGreener Tree Collective sejak April tahun lalu. Menurut Tanah Sullivan, Head of Sustainability GoTo Group, layanan ini bukan bagian dari strategi korporasi untuk mencapai nol emisi, melainkan pilihan kepada konsumen yang mau melakukan offset jejak karbon dari transaksi mereka di Gojek. “Minat masyarakat mulai meningkat,” ucapnya pada Kamis, 31 Agustus lalu.

Hingga Agustus lalu, sudah ada 880 ribu pengguna Gojek yang memakai GoGreener Tree Collective dengan biaya tambahan 7-10 persen. Tanah mengatakan, pada Agustus lalu, dana yang terkumpul dipakai untuk menanam 235 ribu pohon dan menyerap 2.700 ton jejak karbon. Jumlahnya dua kali lipat dana pada Januari lalu. Setiap pohon yang ditanam, Tanah mengungkapkan, terdaftar di Sistem Registri Nasional.

GoTo menghitung jejak karbon dari setiap transaksi berdasarkan jenis layanan yang digunakan. Misalnya, nilai kredit karbon pemakai ojek online berbeda dengan mereka yang memesan makanan via GoFood. Untuk menghitung nilai tersebut, GoTo bekerja sama dengan Jejak.in, yang memiliki metode kalkulasi jejak karbon berdasarkan standar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Sebelum bursa karbon beroperasi, penghitungan kredit dan offset karbon masih mengikuti mekanisme pasar sukarela yang memakai dasar kesepakatan kedua belah pihak. Menurut Chief Executive Officer Landscape Indonesia Agus P. Sari, penjualan karbon melalui bursa bisa membuat transaksi lebih transparan. Bursa karbon juga bisa membentuk harga sesuai dengan mekanisme pasar.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Nego Harga di Pasar Sukarela"

Aisha Shaidra

Aisha Shaidra

Bergabung di Tempo sejak April 2013. Menulis gaya hidup dan tokoh untuk Koran Tempo dan Tempo.co. Kini, meliput isu ekonomi dan bisnis di majalah Tempo. Bagian dari tim penulis liputan “Jalan Pedang Dai Kampung” yang meraih penghargaan Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020. Lulusan Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus