Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah berencana menambah sektor industri penerima gas harga khusus.
SKK Migas mendukung kebijakan perluasan gas harga khusus.
Penerapan perluasan gas harga khusus bakal menurunkan penerimaan negara.
JAKARTA — Wacana untuk memperluas penerima harga gas bumi tertentu (HGBT) kembali mencuat. Kementerian Perindustrian menyatakan siap mengusulkan sektor industri baru penerima kebijakan tersebut. Juru bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri, menyatakan kementeriannya rutin mengusulkan tambahan penerima HGBT sejak program berjalan pada 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tahun lalu, enam sektor industri baru diajukan, menyusul tujuh sektor industri yang saat ini sudah berhak mendapat gas murah. Kali ini Kementerian Perindustrian berharap semua industri bisa menikmati harga gas terjangkau. "Prinsip kami, tidak ada satu pun industri pengguna gas bumi, baik untuk bahan baku, bahan penolong, maupun energi, yang tidak mendapatkan gas khusus," kata dia kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika disinggung soal sektor industri prioritas penerima stimulus, Febri masih enggan menyebutkan rinciannya. Dia menunggu rapat antara kementerian dan lembaga digelar untuk membahas usulan itu lebih dulu. Rapat tersebut merupakan tindak lanjut dari rapat terbatas di Istana Presiden pada Senin, 31 Juli lalu.
Dalam forum tersebut, Presiden Joko Widodo meminta evaluasi program gas industri yang serapannya tak kunjung optimal. Kementerian Energi mencatat realisasi penyaluran gas bumi berharga khusus buat industri tak menyentuh 90 persen dalam tiga tahun terakhir. Untuk memanfaatkan seluruh kuota yang sudah dialokasikan, Kementerian Energi membuka peluang memberi stimulus pada industri lainnya.
"Mungkin kami perluas ke industri sejenis yang belum bisa mendapat gas murah sehingga serapannya bisa mentok ke 100 persen," kata Menteri Energi Arifin Tasrif. Namun implementasi rencana ini membutuhkan koordinasi juga dengan Kementerian Keuangan mengingat ada potensi pengurangan penerimaan negara.
Dengan memberi potongan harga gas, pemerintah harus menombok biaya produksi serta penyaluran gas sampai ke pengguna. Pemerintah mengurangi bagian negara dalam perjanjian bagi hasil dengan produsen gas. Umumnya, pemerintah mendapat bagian 40 persen. Porsi itulah yang bakal berkurang saat mewujudkan HGBT.
Petugas memeriksa tekanan gas di Stasiun Offtake (penerimaan) Perusahaan Gas Negara (PGN) di Kalisogo, Sidoarjo, Jawa Timur. Dok TEMPO/Fully Syafi
Merespons rencana perluasan penerima HGBT, Deputi Keuangan dan Komersialisasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Kurnia Chairi, menyatakan lembaganya akan mendukung kebijakan itu agar terjadi keseimbangan harga antara di industri hulu dan hilir. "Sehingga industri semakin kompetitif, hulu migas terus sustain, dan penerimaan negara optimal," kata dia.
Saat ini sebanyak 44 persen lebih alokasi volume gas pipa sudah disediakan untuk program tersebut. Selain itu, terdapat 72 persen gas alam cair domestik yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan gas berharga khusus. "Total, pemanfaatan gas bumi domestik saat ini mencapai lebih dari 67 persen," Kurnia menjelaskan.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, justru menilai pemerintah perlu berhati-hati dalam memutuskan perluasan program HGBT. Dia mengakui ada manfaat ekonomi buat industri. "Tapi biaya implementasi untuk kebijakan harga gas bumi murah cukup besar," ujar dia.
Dari hasil studi Reforminer Institute, biaya penerapan kebijakan ini akan lebih besar dibanding penerimaan negara. Komaidi mencatat pemerintah mengurangi porsi penerimaan dari kegiatan operasi migas kontrak kerja sama sebesar US$ 2,2 per million metric British thermal unit (MMBTU). Dampaknya, ada penurunan bagian negara pada 2020 untuk program HGBT sebesar US$ 454 juta dan US$ 1,15 miliar pada 2021.
Selain itu, dia mengingatkan bahwa stimulus lewat harga gas murah tidak otomatis menurunkan biaya produksi dan meningkatkan daya saing industri. Pasalnya, ada faktor lain yang ikut mempengaruhi, seperti penciptaan nilai tambah yang belum optimal, bahan baku yang masih didominasi impor, serta masalah lahan dan perizinan. Komaidi juga menyatakan program ini memberi sinyal negatif buat investasi di industri hulu migas.
VINDRY FLORENTIN | ANT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo