Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tekanan yang terus melemahkan rupiah mencerminkan dampak negatif pertumbuhan dua ekonomi terbesar dunia terhadap mata uang kita. Tren ke depaan, tak terlihat adanya perbaikan di kedua negara itu, sehingga perlu dipikirkan langkah-langkah yang dapat kita kendalikan.
Ekonomi Amerika Serikat adalah satu-satunya ekonomi global yang menunjukkan tanda-tanda pertumbuhan positif. Namun inflasi yang mengikutinya berpotensi menaikkan suku bunga dan daya tarik dolar Amerika, yang ujungnya akan melemahkan lagi mata uang dunia lainnya. Kenaikan suku bunga Amerika tinggal tunggu waktu saja, apakah pertengahan atau akhir tahun ini.
Sebaliknya, ekonomi terbesar kedua, Cina, sudah melambat beberapa tahun terakhir. Ini akibat usaha pemerintah Cina mengubah pemicu perekonomiannya, yang selama ini didorong oleh tingkat investasi dan produksi yang tinggi, ke ekonomi yang lebih mengandalkan konsumsi dalam negeri. Pertumbuhan ekonomi Cina turun cukup tajam dari 12 persen ke tingkat 7 persen saat ini.
Karena Cina merupakan tujuan utama, tingkat ekspor Indonesia akhirnya ikut turun cukup drastis. Angka transaksi berjalan yang tadinya positif berubah menjadi negatif. Ini membuat rupiah lebih rentan terhadap arus modal yang sering berbalik arah.
Jadi apa pilihannya? Dengan lemahnya rupiah dan inflasi yang masih relatif tinggi, sulit mengandalkan penurunan tingkat bunga Sertifikat Bank Indonesia dari 7,5 persen saat ini untuk mendorong konsumsi dan pertumbuhan selanjutnya. Data terakhir menunjukkan konsumsi kuartal pertama 2015 hanya tumbuh 5 persen dari tahun sebelumnya—tingkat terendah dalam tiga tahun terakhir. Sementara itu, pemerintah belum mengeluarkan kebijakan yang cukup menarik untuk meningkatkan investasi. Dan, dengan perlambatan ekonomi global, ekspor pun susah dijadikan tumpuan.
Hanya peningkatan belanja pemerintah yang dapat memicu ekonomi di sisa tahun ini. Walaupun target pajak tak tercapai, masih ada penghematan anggaran cukup besar dari pengurangan subsidi bahan bakar minyak. Pengeluaran pemerintah pada kuartal pertama ini ternyata hanya tumbuh 2,2 persen dibanding periode yang sama tahun lalu—terendah dalam empat tahun terakhir dan jauh di bawah target anggaran 2015. Sebagian disebabkan langkah efisiensi pemerintah yang mengurangi biaya transportasi dan pertemuan di hotel. Pada kuartal lalu, pemerintah juga sibuk merombak tatanan dengan pengelompokan kementerian yang baru. Sekarang seharusnya lebih ada ruang untuk meningkatkan belanja, khususnya menyangkut proyek infrastruktur, seperti jalan tol dan pembangkit listrik.
Sektor lain yang bisa membantu rupiah dan sekaligus menyerap tenaga kerja adalah pariwisata. Kebijakan bebas visa untuk beberapa negara yang diumumkan pemerintah pada awal tahun ini tak terdengar lagi kelanjutannya. Pariwisata memiliki dampak ekonomi cukup luas karena menyentuh berbagai sektor jasa padat karya: perhotelan; transportasi udara, laut, dan darat; restoran; operator tur; produsen kerajinan; dan lain-lain. Sudah waktunya pemerintah lebih berfokus pada implementasi kebijakan. Seperti dijanjikan Presiden Joko Widodo selama kampanye pemilihan tahun lalu: kerja, kerja, kerja....
Manggi Habir (Ekonom, sekarang komisaris Bank Danamon)
KURS Rp per US$
Pekan lalu 13.177
13.070 Penutupan 13 Mei 2015
IHSG
Pekan lalu 5.182
5.246 Penutupan 13 Mei 2015
INFLASI
Bulan lalu 6.4%
6,8% April 2015 YoY
BI RATE
Bulan lalu 7,5%
7,5%
CADANGAN DEVISA
31 Maret 2015 US$111,6 M
US$ miliar
110,9 30 April 2015
Pertumbuhan PDB
2014 5,0%
5,7% Target APBN 2015
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo