Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kian Terpinggirkan Nasib BPR

Posisi BPR tergerus oleh kehadiran bank umum dan fintech yang sama-sama menyasar segmen mikro dan ultra-mikro. Bagaimana siasat mereka bertahan?

7 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pertumbuhan penyaluran kredit BPR dibayangi tingkat kredit macet di kisaran 10 persen.

  • Persaingan memperebutkan dana pihak ketiga di industri perbankan kian ketat.

  • Suku bunga BPR dianggap masih lebih kompetitif dibanding fintech lending.

JAKARTA – Persaingan industri jasa keuangan yang semakin ketat menggerus eksistensi bank perekonomian rakyat/bank perekonomian rakyat syariah (BPR/BPRS). Ketua Umum Perhimpunan Bank Perekonomian Rakyat Indonesia (Perbarindo) Tedy Alamsyah menuturkan kompetisi itu terjadi pada segmen kredit mikro dan ultra-mikro yang selama ini dikuasai. Kini segmen tersebut juga menjadi target bank umum skala menengah hingga besar serta layanan teknologi finansial (fintech) atau pinjaman online.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Untuk dapat bersaing, BPR/BPRS harus melakukan transformasi digital demi menjaga eksistensi dan loyalitas nasabah. "Kami berupaya untuk terus memperkuat bisnis BPR di tengah kondisi perekonomian yang berangsur pulih dengan mendorong digitalisasi, baik pada produk layanan maupun jasa lainnya," ujar Tedy kepada Tempo, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu layanan digital yang dimiliki dan telah diluncurkan industri adalah BPR e-cash, yakni uang elektronik berbasis telepon seluler yang memungkinkan pengguna melakukan transaksi pembayaran, pembelian, dan pengiriman uang. Masalahnya, di industri ini, literasi digital para nasabahnya masih rendah.

Menurut Tedy, kebanyakan nasabah BPR adalah generasi pre-baby boomer dengan usia di atas 55 tahun serta generasi baby boomer dengan usia 40-55 tahun. "Mereka lebih suka transaksi fisik dan tunai." Namun perkembangan teknologi informasi mau tak mau harus diadopsi demi memperluas pangsa pasar. Pelaku industri BPR pun berupaya memanfaatkan teknologi digital. "Harapannya, akan ada pula generasi milenial dan generasi Z yang bergabung."

Nasabah bank perkreditan rakyat di Bogor, Jawa Barat. Dok. TEMPO/Arie Basuki

Meski begitu, BPR tetap melakukan layanan personal dan jemput bola untuk menjaga loyalitas nasabah yang selama ini dilayani BPR/BPRS. Kolaborasi juga coba dilakukan BPR/BPRS dengan berbagai lembaga jasa keuangan, termasuk perbankan dan fintech.

Merujuk pada Statistik Perbankan Indonesia, penyaluran kredit BPR per September 2023 tercatat sebesar Rp 137,97 triliun atau tumbuh 9,45 persen secara tahunan. Adapun perolehan dana pihak ketiga (DPK) sebesar Rp 134,67 triliun. Kualitas penyaluran kredit industri itu pun cenderung rendah, dengan tingkat rasio kredit macet atau non-performing loan (NPL) mencapai 10,05 persen menjadi Rp 13,86 triliun, naik dari posisi September 2022 yang sebesar 8,12 persen.

Tedy mengatakan penurunan kinerja BPR tak terlepas dari kondisi pandemi Covid-19 beberapa waktu lalu. "Meski ada perlambatan, kami mampu bertahan, mampu beradaptasi, hingga pada akhirnya dapat menjaga kinerja. Kami yakin ekonomi akan berangsur pulih sehingga menjadi pendorong pertumbuhan bisnis BPR ke depan," ucapnya.

Posisi BPR Terancam

Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira Adhinegara memperhatikan bahwa perebutan likuiditas di industri BPR beberapa waktu terakhir juga terpantau kian ketat sehingga tak lagi kondusif untuk bertumbuh. Per September 2023, rasio pinjaman terhadap simpanan atau loan to deposit ratio industri ini mencapai 76,88 persen. "BPR biasanya punya deposan yang loyal, tapi beberapa bulan terakhir mereka mulai bergeser ke investasi lain, seperti surat berharga negara (SBN) ritel yang imbal hasilnya jauh lebih menarik dengan risiko yang lebih rendah."

Di BPR, komposisi DPK terbesar memang ditempati deposito, yaitu mendominasi hingga 70 persen dari keseluruhan dana atau mencapai Rp 94,18 triliun. Sedangkan 30 persen sisanya atau sekitar Rp 40,48 triliun berupa tabungan. Suku bunga rata-rata BPR/BPRS untuk deposito berjangka per September 2023 sebesar 5,89 persen, sedikit lebih rendah di bawah SBN ritel pemerintah yang menawarkan imbal hasil di kisaran 6 persen.

Sementara itu, bank umum kategori permodalan skala menengah-besar, yaitu BUKU 3 dan 4, juga terpantau kian marak melakukan penetrasi langsung ke segmen mikro dan ultra-mikro. Namun tanpa melalui kerja sama dengan BPR/BPRS. Hal itu mungkin dilakukan dengan perkembangan teknologi informasi dan layanan yang dimiliki. "Di tengah rata-rata pertumbuhan kredit nasional yang lesu, penyaluran kredit yang masih kuat memang ada di segmen mikro. Sedangkan untuk korporasi kecil, menengah, dan besar, masih terkontraksi," ucap Bhima. 

Aktivitas perbankan di bank perkreditan rakyat (BPR), Bogor, Jawa Barat. Dok. TEMPO/Arie Basuki

Berdasarkan laporan Bank Indonesia soal uang beredar, penyaluran kredit perbankan per Oktober 2023 tercatat sebesar Rp 6.863 triliun atau tumbuh 8,7 persen. Kondisi ini cenderung stagnan dibanding pertumbuhan pada bulan sebelumnya yang berada di level yang sama. Kredit korporasi menyumbang penyaluran terbesar, yaitu Rp 3.518,5 triliun atau tumbuh 8 persen. Sedangkan penyaluran kredit kepada UMKM tumbuh 8,3 persen, dengan kredit UMKM skala mikro mencatatkan pertumbuhan terbesar, yaitu 25,3 persen. 

Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede mengimbuhkan, selama ini BPR juga kerap terjebak pada kompetisi yang tak sehat dan berisiko. Perebutan penghimpunan DPK kian ketat karena saling menawarkan imbal hasil yang terlalu tinggi. Walhasil, hal ini justru akan membebani kinerja BPR di tengah kondisi ekonomi global dan domestik yang penuh ketidakpastian. "Tapi peluang industri BPR untuk tumbuh ke depan cukup besar karena saat ini masih banyak sekali masyarakat dan pelaku usaha mikro yang terjerat rentenir dan pinjol (pinjaman online) ilegal. Segmen ini seharusnya bisa digarap BPR." 

Pengamat perbankan dan praktisi sistem pembayaran, Arianto Muditomo, berujar, secara umum, BPR memiliki keuntungan dibanding bank umum dan fintech. "Mereka cenderung lebih akrab dengan nasabah lokal dan dapat memberikan layanan personal. Proses pengajuan kredit juga biasanya lebih mudah dan cepat." 

Tingkat bunga pinjaman yang diberikan pun biasanya lebih kompetitif, terutama untuk segmen pasar mikro dan kecil. Suku bunga rata-rata kredit BPR untuk jenis kredit modal kerja per September 2023 adalah 21,54 persen per tahun. Sedangkan bunga pinjaman fintech lending jauh lebih mencekik, maksimum 0,4 persen per hari atau mencapai 146 persen per tahun. Namun fintech menawarkan proses asesmen kredit yang mudah dan cepat, serta tanpa agunan. "Fintech memberikan tekanan tambahan melalui inovasi teknologi yang cepat. BPR perlu memperhatikan manajemen risiko dengan cermat."

GHOIDA RAHMAH

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Ghoida Rahmah

Ghoida Rahmah

Bergabung dengan Tempo sejak Agustus 2015, lulusan Geografi Universitas Indonesia ini merupakan penerima fellowship Banking Journalist Academy batch IV tahun 2016 dan Banking Editor Masterclass batch I tahun 2019. Pernah menjadi juara Harapan 1 Lomba Karya Jurnalistik BPJS Kesehatan di 2016 dan juara 1 Lomba Karya Jurnalistik Kategori Media Cetak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2021. Menjadi Staf Redaksi di Koran Tempo sejak 2020.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus