Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Nilai tukar petani sektor tanaman pangan terus meningkat.
Petani baru bisa sejahtera jika harga tetap tinggi saat panen raya.
Pendapatan dari usaha tanaman pangan hanya memenuhi 20 persen kebutuhan hidup petani.
JAKARTA – Di tengah melonjaknya harga komoditas pangan, nilai tukar petani sektor tanaman pangan (NTPP) juga meningkat. Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi mengatakan kenaikan NTPP saat ini merupakan yang tertinggi. Menurut dia, peningkatan NTPP menandakan terjadinya peningkatan kesejahteraan petani.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pertumbuhan NTPP seperti ini berarti petani tanaman pangan makin sejahtera,” katanya saat dihubungi Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dikutip dari laman Badan Pusat Statistik (BPS), nilai tukar petani (NTP) merupakan perbandingan antara indeks harga yang diterima petani dan indeks harga yang dibayar petani. NTP juga merupakan salah satu pengukur tingkat kesejahteraan petani.
BPS mencatat NTP nasional Januari 2024 sebesar 118,27 poin atau naik 0,43 persen dibanding NTP bulan sebelumnya. Sementara itu, NTPP saat ini sebesar 116,16 poin atau naik 1,66 persen dibanding bulan sebelumnya.
Petani Tidak Sempat Mencicipi Untung Besar
Petani menebar pupuk di area sawah Desa Brondong, Indramayu, Jawa Barat, 18 Januari 2024. ANTARA/Dedhez Anggara
Namun, di lapangan, kenaikan NTP ini tidak selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan petani. Hal itu dirasakan oleh Suganda, petani padi asal Desa Pegagan Kidul, Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat Ia mengaku belum menikmati keuntungan yang besar dari naiknya harga pangan saat ini.
Menurut dia, harga gabah di tingkat petani memang sempat tinggi. Meski demikian, jumlah produksinya sedikit sehingga keuntungan pun tidak begitu besar. “Saya sekarang sudah tidak memiliki stok gabah. Untuk kebutuhan makan, saya juga membeli dari pasar. Harga beras sekarang juga tinggi,” ujarnya, kemarin.
Suganda mengaku menjual stok gabah terakhir yang dimilikinya sekitar dua bulan lalu dengan harga Rp 8.200 per kilogram. Harga ini lebih tinggi dibanding harga pembelian pemerintah untuk gabah kering giling (GKG) yang ditetapkan senilai Rp 6.200 per kg dan Rp 6.300 per kg di gudang Bulog. “Saat dijual, untung. Tapi sekarang sudah kehabisan dan harus beli beras,” katanya.
Ia mengatakan memiliki dua titik sawah masing-masing seluas sekitar 1 hektare. Sayangnya, pada musim panen lalu, salah satu sawahnya hanya menghasilkan 2 ton GKG per hektare. Sementara itu, sawahnya lainnya menghasilkan 4,5 ton GKG per hektare. Minimnya produktivitas gabah disebabkan oleh sulitnya pasokan air dan serangan organisme pengganggu tanaman.
NTP Tanaman Pangan Meningkat Saat Paceklik
Seorang petani berjalan di antara tanaman padi yang mengalami kekeringan di Aceh Besar, Aceh, 14 Januari 2024. ANTARA/Ampelsa
Guru besar IPB University, Dwi Andreas Santosa, menyebutkan NTP, khususnya tanaman pangan, memang selalu meningkat saat paceklik. “Saat ini masih paceklik. Wajar NTP tinggi. Biasanya cenderung menurun saat panen raya,” katanya saat dihubungi kemarin.
Tingginya NTPP pada masa paceklik atau saat produksi sedikit membuat petani tidak merasakan untung yang besar. Dia menjelaskan, kesejahteraan petani baru bisa tercapai jika NTP terjaga tetap tinggi ketika panen raya.
Pada musim panen raya, ia mengimbuhkan, penurunan harga di tingkat usaha tani bisa jauh lebih besar daripada penurunan harga di tingkat konsumen. Dia berpendapat, pemerintah perlu mengintervensi harga saat panen raya. “Mempertahankan harga yang baik saat panen raya sangat penting. Itu yang memiliki nilai yang sangat besar terhadap kesejahteraan petani.”
Selain itu, Andreas mengimbuhkan, NTP di atas 100 poin berarti kenaikan harga produk yang dihasilkan petani lebih tinggi ketimbang kenaikan harga produk yang dikonsumsi petani, baik berupa sarana produksi maupun konsumsi.
Selama sepuluh tahun terakhir, NTP, khususnya subsektor tanaman pangan, beberapa kali berada di bawah 100. Hal itu berarti petani pangan merugi. Menurut catatan BPS, pada 2021 dan 2022, NTPP berada di kisaran 98 poin. “Rata-rata NTP tanaman pangan pada sepuluh tahun terakhir hanya 101. Itu teramat kecil untuk memantik kesejahteraan petani.”
Jumlah Petani Gurem Meningkat
NTP juga bukan satu-satunya indikator kesejahteraan petani. Andreas berujar, indikator yang perlu dilihat saat ini adalah luas lahan yang dikelola. Berdasarkan data sensus pertanian BPS 2023, jumlah petani dengan penguasaan lahan pertanian kurang dari 0,5 hektare atau jumlah petani gurem bertambah. Pada 2013, jumlah petani gurem sebanyak 14,25 juta orang, sedangkan pada 2023 meningkat menjadi 17,24 juta orang.
Pengamat pertanian dari Center of Reform on Economics (CORE), Eliza Mardian, juga mengatakan peningkatan NTP belum bisa menjadi indikator kesejahteraan. “Kalau benar petani makin sejahtera, tidak mungkin jumlah petani lahan sempit meningkat karena nilai tambah sektor pertanian rendah, keuntungan tipis. Bahkan NTP 2021-2022 di bawah 100. Artinya merugi,” katanya.
Ia menambahkan, petani belum sejahtera meski harga pangan naik. Penyebabnya adalah kenaikan harga pangan juga dipicu oleh panjangnya rantai pasok distribusi. Distribusi, ucap Eliza, menentukan harga jual di tingkat konsumen lantaran yang menyalurkan produk pertanian adalah perantara.
“Struktur pasar komoditas pertanian cenderung oligopsoni di tingkat petani dan oligopoli di tahapan selanjutnya. Kondisi inilah yang berpotensi menyebabkan asimetris informasi, termasuk harga,” ujarnya. Ia menduga perantara yang memegang kendali stok sebelum mencapai tingkat retail mendapat keuntungan yang juga besar.
Eliza mengatakan petani saat ini belum sejahtera karena banyak dari mereka tidak bergantung pada sektor pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. “Mereka harus memiliki tambahan pendapatan lain karena pendapatan dari pertanian tidak cukup," ia mengungkapkan.
Hal serupa disampaikan oleh Kepala Pusat Pengkajian dan Penerapan Agroekologi Serikat Petani Indonesia Muhammad Qomarun Najmi. “Banyak petani yang memenuhi kebutuhan hidupnya dari pekerjaan dan kegiatan-kegiatan lain, seperti buruh serabutan dan buruh bangunan,” ujarnya, kemarin.
Ia menuturkan program peningkatan kesejahteraan petani saat ini belum menjangkau hal-hal mendasar yang menjadi hak-hak petani, terutama akses lahan.
Dia menilai peningkatan pendapatan petani relatif sedikit karena skala kepemilikan lahan atau pengerjaan lahan petani sempit. Secara umum, pendapatan petani dari usaha pertanian tanaman pangan hanya mampu memenuhi 20 persen kebutuhan petani.
Qomarun mengatakan, untuk meningkatkan kesejahteraan, salah satu upaya yang bisa dilakukan pemerintah adalah memberikan jaminan harga dan jaminan pasar. Selama ini, pemerintah masih melihat harga dari sisi kepentingan konsumen. “Sehingga yang sering terjadi, harga ditetapkan di bawah biaya produksi petani dan keuntungan petani turun.”
Untuk menjaga stabilitas harga di tingkat petani, ucap Arief Prasetyo Adi, pemerintah sudah melakukan berbagai upaya. “Seperti mempersiapkan offtaker (pembeli) untuk produk pertanian dengan harga yang terbaik,” ujarnya.
Tempo sudah menanyakan perihal NTP dan program peningkatan kesejahteraan petani kepada Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Informasi Publik Kementerian Pertanian Kuntoro Boga Andri. Namun, hingga berita ini ditulis, Kuntoro belum merespons.
ILONA ESTERINA | IVANSYAH (CIREBON)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo