Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sistem baru yang digunakan pada Boeing 737 Max 8 diduga berkontribusi pada jatuhnya pesawat Lion Air PQ-LQP dengan nomor penerbangan JT 610. Pesawat jatuh di perairan Karawang, Jawa Barat pada 29 Oktober 2018 dan menewaskan 182 penumpang dan 7 kru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dugaan itu dilansir dalam laporan Aviation Week, sebuah media khusus penerbangan di Amerika. Aviation Week menyebutkan bahwa sejumlah pilot diketahui menemukan masalah ketika melakukan uji terbang pesawat Boeing 737 Max 8. "Mereka menemukan masalah dimana pesawat sulit dikendalikan ketika kecepatannya menurun," tulis laporan tersebut, dikutip dari laman berita The Daily Beast, Senin, 26 November 2018.
Masalah yang ditemukan oleh pilot-pilot ini merupakan indikasi bahaya yang bisa memicu terjadinya aerodynamic stall, sebuah kondisi dimana pesawat melewati titik kritis dari Angle of Attack atau AOA. Sedangkan AOA merupakan sudut antara arah laju pesawat dan arah laju udara. Akibat terjadinya hal ini, maka pesawat tidak lagi memiliki kemampuan untuk terbang lebih tinggi atau melaju dengan kecepatan normal.
Sistem baru tersebut bernama MCAS atau Maneuvering Characteristics Augmentation System. Sistem ini sebenarnya bertujuan baik yaitu untuk mencegah pesawat dari kondisi aerodynamic stall tersebut. Masalahnya, sejumlah pilot tidak menyadari bahwa MCAS ini telah dipasang di Boeing 737. Bahkan, mereka mengaku tidak pernah mendapat instruksi bagaimana menggunakan sistem baru ini.
Pilot-pilot yang dimaksud adalah pilot yang telah memiliki jam terbang lebih dari 200 jam pada penerbangan lintas kontinental. Di dalamnya, termasuk pilot-pilot dari Lion Air. "Mereka juga tidak menyadari mengapa Boeing memutuskan untuk menambahkan sistem MCAS ini," tulis laporan tersebut.
Perkara dugaan kerusakan pada pesawat ini sebenarnya juga telah ditemukan oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi atau KNKT. Pasca kejadian, KNKT menyelidiki penyebab kerusakan pada air speed indicator atau petunjuk kecepatan pesawat. Petunjuk ini ditenggarai rusak dalam empat perjalanan terakhir Lion sebelum jatuh di perairan Karawang.
Teknisi dari Lion Air sebenarnya sempat mengganti salah satu komponen yang berhubungan dengan petunjuk kecepatan ini yaitu AOA sensor. Sensor ini adalah sebuah alat ukur yang ditempatkan di bagian depan pesawat yang mengukur sudut pesawat terhadap aliran udara. Teknisi mengganti AOA saat pesawat mendarat di Bali, sehari sebelumnya jatuhnya pesawat.
Akan tetapi, penggantian AOA ini ternyata tidak membuat petunjuk kecepatan pesawat membaik. Pada penerbangan Lion Air dari Bali ke Jakarta, 28 Oktober 2018, ternyata diketahui adanya 20 derajat antara AOA di sisi pilot dan co-pilot. Informasi itu diperoleh investigator setelah memeriksa Flight Data Recorder atau FDR yang tertanam di tubuh pesawat.
Menurut Kepala Sub Komite Kecelakaan Penerbangan KNKT Nurcahyo Utomo, pilot dan copilot pun akhirnya tidak mengetahui indikator siapakah yang benar akibat perbedaan 20 derajat ini. Untuk itulah sebenarnya, KNKT sangat membutuh satu data lagi yaitu Cockpit Voice Recorder atau CVR. "Jadi kami tahu apa keputusan mereka akibat perbedaan ini," kata dia.
Tak sampai di situ, KNKT sedang mendalami keterangan dari teknisi Lion Air mengapa petunjuk kecepatan tetap rusak kendati AOA telah ditukar dengan yang baru. "Kami akan cek, apakah teknisi ini bisa atau enggak, apakah terjadi kesalahan pemasangan atau enggak," kata Kepala Sub Komite Kecelakaan Penerbangan KNKT Nurcahyo Utomo.
Malah, KNKT juga menduga masalah di pesawat semakin bertambah, hingga setelah mendarat dengan selamat di Jakarta, sebelum bertolak ke Pangkalpinang. "Kalau perlu bongkar ya kami bongkar AOA ini, kami lihat apa masalahnya dan kerusakan apa yang ada," kata Ketua KNKT, Soerjanto Tjahjono di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu, 7 November 2018.
Baca berita tentang Boeing lainnya di Tempo.co.