Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang melibatkan empat perusahaan media milik keluarga Aburizal Bakrie dengan 12 kreditur atas utang Rp 8,79 triliun telah menemui titik terang. Empat perusahaan media milik keluarga Bakrie itu meliputi PT Visi Media Asia Tbk (VIVA), PT Intermedia Capital Tbk (MDIA), PT Cakrawala Andalas Televisi (ANTV), dan PT Lativi Mediakarya (tvOne).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam rapat di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, seluruh kreditur menerima proposal perdamaian dari VIVA. "100 persen setuju," kata salah satu pengurus dalam perkara ini saat membacakan hasil voting pada kreditur pada Senin, 4 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kuasa hukum dari 12 kreditur, Marx Adriyan, mengatakan VIVA mengajukan proposal perdamaian atas perkara ini dengan pembayaran tiga termin. Namun, usai voting ini dibacakan, Marx menyebut VIVA akan membayar masing-masing 10 persen dari Rp Rp 3,71 triliun utang pokok para kreditur dalam waktu 1x24 jam.
Dari jumlah itu, VIVA akan membayar Rp 317 miliar secara tunai pada termin pertama. "Akhirnya ketemu formulanya," kata Marx saat ditemui usai sidang.
Marx mengatakan proposal itu telah diajukan sekaligus direvisi beberapa kali oleh VIVA. Meski demikian, dia tetap menghargai semua pihak yang telah bekerja sama dengan baik dalam perkara ini.
"Suka duka kemarin harus jadi pelajaran, kalau mau restrukturisasi jangan kaya gitu," kata Marx.
Selanjutnya: Kinerja Keuangan VIVA....
Kinerja Keuangan VIVA
VIVA dan beberapa anak usahanya terancam pailit. Sebanyak 12 kreditur menagih utang sebesar Rp 8,79 triliun kepada empat perusahaan itu. Jika tenggat penyelesaian utang melalui PKPU terlampaui, VIVA bakal dipailitkan. Majelis Hakim di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan waktu hingga 4 November kepada VIVA untuk bernegosiasi dengan para kreditur.
Dalam laporan keuangan konsolidasian interim VIVA terakhir pada 30 September 2023, perusahaan ini mencatatkan pendapatan sebesar Rp 906 miliar alias turun dari periode sebelumnya, yaitu Rp 1,32 triliun. Dari Rp 906 miliar itu, beban usaha perusahaan pun lebih tinggi, yaitu Rp 1,14 triliun. Beban usaha terbesar VIVA berasal dari operasional perusahaan yang meliputi gaji karyawan, jasa profesional, transportasi, air, listrik, dan sejenisnya sebesar Rp 630,2 miliar. Walhasil, pada triwulan III atau 30 September 2024, VIVA mencatatkan rugi Rp 239 miliar.
Kondisi serupa terjadi pada 2022. Pada periode tersebut, VIVA malah membukukan rugi sebesar Rp 1,71 triliun. Jumlah ini membengkak sekitar 93,19 persen secara tahunan dari 2021 sebesar Rp 883,12 miliar. Pada periode ini, VIVA juga mencatatkan defisiensi ekuitas sebesar Rp 1,58 triliun atau meningkat dari total Rp 617,33 miliar di 2021.
Pendapatan VIVA pun juga menurun 6,26 persen pada 2022. Pada 2022, VIVA mencatatkan pendapatan usaha Rp 1,69 triliun, sedangkan di 2021 sebesar Rp 1,81 triliun. Penyebabnya ialah pendapatan dari sektor iklan yang turun 7,63 persen. Pada 2022, VIVA hanya mendapat Rp 1,65 triliun, sementara di 2021 sebesar Rp 1,79 triliun.
Padahal, beban usaha pada periode 2022 turun 0,44 persen atau Rp 1,65 triliun dari 2021 sebesar Rp 1,66 triliun. Beban usaha ini dihasilkan dari dua segmen, yaitu program dan penyiaran sebesar Rp 724,3 miliar dan operasional umum perusahaan Rp 933,7 miliar. Karena itu, VIVA pun akhirnya hanya bisa mencatatkan laba usaha Rp 40,48 miliar pada 2022. Angka ini anjlok 72,38 persen atau 146,6 miliar.