Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Platform digital mengambil keuntungan lewat cuplikan berita dari media massa.
Aturan publisher rights memungkinkan perusahaan media meminta bayaran dari platform yang menayangkan cuplikan berita.
Sepanjang memberitakan fakta ke publik, industri pers pasti akan bertahan.
JAKARTA – Bisnis media massa di Indonesia masih mengandalkan iklan sebagai sumber pendapatan utama. Namun, sejak masifnya perkembangan teknologi digital, terjadi peralihan belanja iklan. Hal itu diungkapkan Ketua Umum Pengurus Pusat Serikat Perusahaan Pers (SPS) Januar Primadi Ruswita. Menurut dia, pesatnya perkembangan teknologi digital mempengaruhi pendapatan media massa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Hal ini terlihat dari belanja iklan produk komersial yang jauh berkurang," katanya kepada Tempo, Rabu, 21 Februari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Januar berujar, kondisi industri pers saat ini sedang tidak baik-baik saja. Belanja iklan yang menjadi sumber pendapatan utama sekarang sudah jauh berkurang nilainya. "Sudah sulit menutupi biaya produksi, biaya operasional, dan biaya distribusi yang terus meningkat," ujarnya.
Menurut dia, sejak hadirnya platform digital, belanja iklan banyak bergeser ke sana. Platform-platform tersebut juga mengambil keuntungan lewat cuplikan berita dari media massa, sementara perusahaan pers tidak mendapat kompensasinya. Salah satu langkah yang ditempuh untuk menjawab masalah ini adalah menghadirkan aturan mengenai hak cipta penerbitan.
Bersama berbagai organisasi pers, SPS kemudian terlibat dalam pembahasan tentang bagaimana bisnis media tetap sehat dan berkelanjutan. Salah satu upayanya adalah mendorong terbitnya regulasi ihwal publisher rights atau hak penerbit.
Hal itu akhirnya terwujud. Pada 20 Februari 2024, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas. Aturan ini mengizinkan para penerbit atau perusahaan media meminta bayaran dari platform yang menayangkan cuplikan berita mereka.
Januar berpendapat, aturan yang mulai berlaku enam bulan ke depan ini merupakan bagian dari pelindungan dan penghargaan atas pemanfaatan produk jurnalistik media oleh perusahaan platfom digital. "Dengan aturan ini, bisa ada negosiasi dengan perusahaan platform digital untuk memastikan content sharing dan mendapat benefit sharing yang adil nilai ekonomisnya," ujarnya.
Komersialisasi Produk Jurnalistik Tidak Transparan
Januar mengatakan selama ini mekanisme komersialisasi produk-produk jurnalistik oleh perusahaan platform digital tidak transparan. Perusahaan pers, kata dia, tidak bisa mengetahui algoritma yang dipakai platform. Sementara itu, menurut hitungannya, potensi nilai ekonomis yang diterima platform dari komersialisasi itu sebesar 75-80 persen.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Usman Kansong menuturkan tujuan diterbitkannya perpres tersebut adalah menciptakan ekosistem bisnis media yang lebih baik. "Supaya bisnisnya lebih adil antara platform digital dan perusahaan media," ujarnya, kemarin.
Menurut Usman, selain mendukung produksi jurnalisme berkualitas, perusahaan media akan mendapat keuntungan materi setelah penerapan aturan publisher rights. Ia menambahkan, keuntungan pendapatan dapat dilihat lewat penerapan aturan di beberapa negara, seperti Australia.
Mengutip Reuters, Australia menjadi negara pertama yang memberlakukan aturan publisher rights, yakni pada 2021. Setelah ketentuan itu diberlakukan, Meta dan Google telah membayar sekitar US$ 134 juta per tahun (Rp 2,09 triliun) kepada perusahaan pers.
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito Madrim mengatakan aturan ini telah lama diperjuangkan oleh beberapa organisasi media. AJI meminta penerapan aturan publisher rights nantinya dilakukan transparan. "Aturan ini diharapkan memberi manfaat tidak hanya bagi industri, tapi juga pekerja pers."
Berdasarkan riset AJI di beberapa wilayah, hampir 50 persen pekerja media mendapat gaji di bawah upah minimum. Dia juga berharap ada aturan yang lebih spesifik agar jurnalis juga mendapat manfaat dari publisher rights. "Jadi yang mendapat manfaat bukan hanya pemodal. Semoga dengan adanya regulasi ini, bisnis lebih baik dan kesejahteraan jurnalis diperhatikan."
Sejumlah jurnalis saat meliput hasil pemeriksaan pelanggaran etik yang dilaksanakan Dewan Pengawas KPK di gedung ACLC Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Desember 2023. TEMPO/Imam Sukamto
Iklan Media Konvensional Menyusut
Pesatnya perkembangan platform digital saat ini dianggap makin menggerus pasar media massa konvensional. Januar Primadi Ruswita mengatakan kini jumlah pembaca media cetak, pendengar media radio, dan penonton televisi terus merosot. Berdasarkan data SPS, tersisa 538 media cetak koran dan majalah.
"Jauh berkurang dibanding sebelum 2020. Ketika itu jumlahnya masih tercatat lebih dari 600 media. Jumlah tiras sirkulasinya juga terus menurun menjadi sekitar 4 juta eksemplar saja," tuturnya
Guru besar ilmu komunikasi Universitas Airlangga, Surabaya, Rachma Ida, menyebutkan, sebelum mengalami disrupsi digital, industri pers mengandalkan dua sumber pendapatan utama, yakni sirkulasi dan iklan.
Ida mengungkapkan, keberadaan platform digital membuat penghasilan media konvensional berkurang akibat beralihnya pengiklan. "Mereka memilih memasang iklan di platform karena lebih mudah dan murah, terlebih sejak kemunculan pop up ads yang harganya lebih murah dibanding iklan di media cetak," ujarnya.
Sebelumnya, Ida menambahkan, media-media cetak hanya bersaing satu sama lain, misalnya majalah dengan koran. Namun, sejak adanya platform digital, persaingan iklan menjadi lebih sengit. Pemasang iklan juga banyak yang lebih memilih platform digital karena lebih cepat dan banyak diakses. "Itulah yang menyebabkan penurunan karena sumber pendapatannya mengalami distorsi."
Melalui keterangan tertulis, Google menyatakan masih mempelajari detail aturan baru tentang hak penerbit. Google mengklaim selama ini sudah bekerja sama dengan penerbit berita dan pemerintah untuk mendukung ekosistem berita yang berkelanjutan di Indonesia. Google menilai pentingnya produk mereka untuk mendapat berita serta perspektif yang bervariasi tanpa prasangka dan bias.
"Kami selalu menekankan perlunya memastikan masyarakat memiliki akses ke sumber berita yang beragam dan mengupayakan ekosistem berita yang seimbang, yaitu ekosistem yang dapat menghasilkan berita berkualitas sekaligus memungkinkan semua penerbit berita untuk berkembang," ujar perwakilan Google.
Adapun Meta, yang menjadi perusahaan induk Facebook, hingga berita ini diturunkan belum memberikan tanggapan soal aturan tentang hak penerbit.
Industri Pers Sudah Beradaptasi
Rachma Ida menyatakan industri media massa sebetulnya sudah punya strategi menghadapi gempuran teknologi digital. Media konvensional juga banyak menggunakan teknologi digital, seperti memperkuat platform daring serta memanfaatkan media sosial dan aplikasi daring untuk mempromosikan beritanya.
"Industri media selama ini sudah memanfaatkan teknologi digital, meskipun pada akhirnya ada yang bertahan dan ada yang gulung tikar," ujarnya.
Beberapa perusahaan media juga sudah mengubah format medianya. Ia mencontohkan industri radio yang masuk ke platform live streaming, aplikasi, hingga radio Internet. Walhasil, konsep radio sebagai media audio berbasis frekuensi mulai ditinggalkan. Ia meminta perusahaan media terus berinovasi dengan tetap mempertahankan kualitas produk jurnalistik.
Sasmito Madrim yakin media massa akan selalu beradaptasi dan menemukan jalan untuk maju. Dia mengakui ada beberapa media yang tidak mampu bertahan karena belum menemukan model bisnis yang ideal. "Mungkin ada perubahan di era digital. Tapi, sepanjang mereka memberitakan fakta ke publik, pasti akan tetap bertahan."
ILONA ESTERINA | VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo